Menggerakkan Penggembira Muktamar ke Musywil Ponorogo oleh Abu Nasir, Ketua PDM Kota Pasuruan
PWMU.CO– Sehari menjelang keberangkatan penggembira Muktamar Muhammadiyah ke Solo, ada seorang pimpinan majelis bertanya.
”Pak, muktamar kapan?”
Saya gamang menjawab pertanyaan itu. Kalau pertanyaan setingkat pimpinan itu diukur menurut Taksonomi Bloom yang punya level C1 hingga C6 maka level paling rendah, C1, saja tidak masuk. Level C1 itu mengetahui atau mengingat. Lha dia pimpinan Muhammadiyah yang tidak tahu sama sekali.
Saya pikir pertanyaan itu tidak serius. Maka saya jawab sekenanya: ”Entah, ya. Saya lupa.”
Sungguh tidak mudah menggerakkan masyarakat kelas perkotaan. Mereka kelompok melek nalar dan sadar sosial. Sementara urusan partisipasi persoalan spirit dan gairah. Ini ranah kalbu. Tetapi gerakan adalah soal kekuatan ideologi.
Seringkih apapun keadaan jika ideologi telah mengakar kuat dia akan menggerakkan hati, pikiran, dan badan, bahkan uang!
Di sisi lain menjadi penggembira muktamar ternyata juga masih menjadi barang mahal di sejumlah daerah. Kita bisa berdiskusi tentang hal ini untuk berbagai alasan. Ending-nya satu: tidak berangkat dan menerima semua keadaan dengan penuh kesadaran.
Karena itu kalau ada level pimpinan yang mengaku berkemajuan tetapi sama sekali tidak ada kepedulian terhadap event besar muktamar, sungguh terlalu. Sekelas pimpinan masih bertanya seperti itu.
Menjadi muslim berkemajuan memang tidak mudah. Butuh banyak kekuatan: pikiran, hati, jiwa, badan dan kecukupan amwal. Namun yang patut disyukuri adalah dalam lima tahun terakhir sudah mulai kita rasakan pimpinan dan warga persyarikatan rela dan tulus bergerak mengikuti getaran Muhammadiyah Aisyiyah seluruh Indonesia bahkan dunia.
Katakanlah, di daerah yang terkepung oleh saudara muda bongsor kita berani mendongakkan kepala untuk duduk dan berdiri sejajar dengan mereka, meskipun sampai hari ini belum ada satupun papan nama kecuali di pusat dakwah kita.
Momentum
Denyut muktamar kali ini benar-benar terasa kuat. Momentumnya bersamaan dengan pelandaian pandemi Covid dan penantian selama 7 tahun periode kepemimpinan 2015-2022.
Selain itu juga kita sedang menuju tahun politik 2024. Di saat sama Muhammadiyah sudah dan sedang mengepakkan sayapnya di berbagai negara dalam bentuk PCIM (Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah).
Itu sebabnya muktamar kali ini benar-benar mampu mengaduk-aduk hati dan pikiran warga dan masyarakat Indonesia. Akan aneh jika di hari begini ada pimpinan yang masih bertanya seperti itu.
Ada lagi pernyataan yang berupa ucapan dari teman ormas lain. Mereka mengirimkannya melalui chat:
”SELAMAT DAN SUKSES MUKTAMAR MUHAMMADIYAH KE 48 BULAN NOVEMBER DI JAKARTA”
Membaca itu saya jadi tergelitik. Kelihatan mekso sekali dia membuat ucapan ternyata tidak paham. Tapi paling tidak, itu sudah menunjukkan perhatian dia kepada kita.
Namun jika ada pimpinan dan warga persyarikatan, apalagi pekerja di amal usaha, kader Angkatan Muda yang masih gelagapan tentang muktamar atau malah tidak tahu sama sekali, sementara berhari-hari berita muktamar, statemen, seminar, talk show, heroisme penggembira yang rela bersepeda berhari hari tidak membuat pimpinan dan warga nyadar betapa branded-nya Muhammadiyah sekarang, tentu perlu direkatkan intensitasnya makhluk-makhluk jenis ini kepada Muhammadiyah.
Penggembira
Jumlah penggembira yang hadir di muktamar sedikit banyak bisa dijadikan tolok ukur sederhana pergerakan dan semangat bermuhammadiyah.
Di daerah masih banyak PR yang perlu dituntaskan oleh gerakan Islam berkemajuan ini. Komitmen manhaj berkemajuan, spirit, dan gairah bermuhammadiyah, rasa percaya diri dan memiliki.
Entah beban psikologis macam apa yang menghinggapi kita sehingga sulit beranjak dari zona minder waardeg complex ini.
Dibutuhkan virus heroisme bersama melalui jutaan penggembira ataupun bersepeda ribuan kilometer untuk itu. Di luar itu memperhatikan dan peduli kebutuhan persyarikatan saja misalnya, akan terasa sekali bagi Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) adanya support dan spirit yang sama terhadap berbagai gelaran besar.
Menggerakkan penggembira ke Musywil (Musyawarah Wilayah) Muhammadiyah Jatim di Ponorogo bisa menaikkan gengsi persyarikatan, rasa percaya diri, dan bangga.
Juga akan membuat Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Pemkab Ponorogo merasa sangat terbantu dan beruntung karena akan terjadi mobilisasi massa yang menghidupkan ekonomi rakyat terutama UMKM.
Di sisi lain juga membantu program pemerintah selama pelandaian pandemi ini karena memiliki efek pemulihan lebih cepat dan bangkit lebih kuat.
Namun demikian perlu pemikiran pula apakah jika ada penggembira warga persyarikatan masih terbawa euforia muktamar sehingga timbul gairah untuk bernostgia ataukah malah sebaliknya?
Sudah merasa jenuh? Sehingga tidak tertarik ke Musywil? Atau justru ini momentum memanfaatkan euforia itu?
Harus ada tawaran yang menarik bagi penggembira untuk datang ke Ponorogo dengan publikasi yang terus menerus dan meluas.
Harus pula seimbang antara tingkat provinsi dengan jumlah kehadiran. Jika perlu diwajibkan masing- masing daerah untuk memenuhi kapasitas lokasi pembukaan.
Jika tidak, Musywil akan terasa hambar. Ibarat nasi, terasa sepo alias tidak berisi dan tidak pula bergizi. Upaya menggerakkan penggembira harus serius dan dirancang dengan baik. Tidak setengah-setengah. Atau malah tidak sama sekali.
Editor Sugeng Purwanto