Piala Dunia Qatar 2022 dan Pergeseran Geopolitik

Piala Dunia
Wasit merampas bendera LGBT dari suporter saat Portugal vs Uruguay.

Piala Dunia Qatar 2022 dan Pergeseran Geopolitik oleh Dina Y. Sulaiman, Analis Geopolitik Timur Tengah.

PWMU.CO– Saya bukan penggemar bola. Tapi karena atmosfer geopolitik di Piala Dunia 2022 Qatar ini sangat kental, saya ikuti berita-beritanya. Lihat foto ini, seorang dengan membawa bendera LGBTQ+ dan berkaos dengan tulisan Save Ukraina dan Hormati Perempuan Iran.

Ia masuk ke lapangan saat pertandingan Portugal vs Uruguay. Wasit segera mengambil bendera dan membuangnya, dan pria itu ditangkap oleh polisi Qatar. Qatar dikecam Israel (dan negara-negara Barat) karena anti-LGBT+.

LGBTQ+, perempuan Iran (yang antihijab), dan Ukraina, apa benang merahnya? Benang merahnya adalah liberalisme. Sebagaimana ditulis oleh Prof Mearsheimer, akademisi Hubungan Internasional dari AS, bahwa AS dan Barat punya ilusi untuk menyebarluaskan nilai-nilai liberalisme ke seluruh dunia.

Strateginya adalah dengan menggulingkan rezim-rezim yang ”tidak demokratis”, karena dengan cara itu, AS (Barat) bisa menyebarkan liberalisme yang mereka yakini dan dapat untung: bisa menginstal rezim yang pro-Barat. ”Killing two birds with one stone,” kata Mearsheimer.

Mearsheimer menulis buku Great Delusion: Liberal Dreams and International Realities menjelaskan, delusi kaum liberal AS untuk menyebarkan liberalisme ke seluruh dunia memunculkan perlawanan. Karena tidak semua negara mau menerima liberalisme ala Barat. Banyak bangsa yang punya nilainya sendiri.

Perhatikan narasi Barat dalam perang Ukraina. Barat sering berkata: Ukraina sedang berperang ”mempertahankan nilai-nilai Eropa”.

Apa nilai yang dimaksud? Tak lain, liberalisme. Rusia pun membawa narasi ”nilai” dalam perang ini yaitu mempertahankan nilai  tradisional, nilai keluarga, dll.

Rusia baru-baru ini mengesahkan UU yang melarang propaganda LGBT dan demonstrasi (pamer di depan umum) atas perilaku LGBTQ. Tindakan atau informasi apa pun yang dianggap mempromosikan homoseksualitas baik di depan umum, online, dalam film, buku, iklan, dikenakan denda yang besar.

Nilai adalah fondasi penting sebuah bangsa. Setiap bangsa seharusnya berhak mempertahankan nilai mereka. AS-Barat tidak berhak memaksakan nilai mereka pada bangsa-bangsa lain.

Dalam kasus Iran, nilai apa yang sebenarnya mereka punyai? Ketika mayoritas pro pada nilai Islam konservatif.

Mengapa Barat dan agen-agennya, ada juga di Indonesia, feminis liberal yang selalu nyinyir mengaku membela perempaun Iran, tapi diam saja melihat penderitaan kaum perempuan di negara-negara yang jadi korban kejahatan AS-Israel memaksakan agar mereka mengubah nilainya dan beralih ke liberalisme?

Pemaksaan nilai ini sedemikian masif, bahkan masuk ke sepak bola. Tekanan dan provokasi media yang diterima oleh tim Iran datang sangat keras. Dalam konferensi pers, mereka ditanyai politik dalam negeri. Kemarin, jurnalis Iran sempat membalas. Kepada pemain sepakbola AS yang juga sok-sokan.

Berkata mendukung aksi protes di Iran, jurnalis Iran bertanya,”Apa kamu merasa baik-baik saja mewakili sebuah negara yang diskriminatif terhadap kulit hitam?”

Si jurnalis Iran jelas menyindir si kapten tim AS, Tyler Adams, yang berkulit hitam. Ada apa lho sok-sokan ngurusin negara lain.

Sebelumnya Federasi Sepak Bola AS mengunggah foto bendera Iran tanpa tulisan Allah di platform media sosial resmi mereka dengan alasan untuk menunjukkan dukungan bagi pengunjuk rasa di Iran. Aksi menghina lambang negara lain ini melanggar aturan FIFA dan seharusnya tim AS dihukum.

Keputusan Qatar melarang aksi kaum LGBTQ+ dan melarang minuman beralkohol dikecam keras oleh kaum liberal. Tapi bukankah itu nilai yang dimiliki oleh Qatar? Kenapa mereka dipaksa untuk membolehkan propaganda kaum LGBTQ+?

Posisi Qatar yang pro-Palestina, juga memunculkan perubahan. Biasanya, aksi pro-Palestina dilarang dalam sepakbola. Tahun 2016, tim Celtic didenda  8.616 pound oleh UEFA gara-gara fansnya mengibarkan bendera Palestina. Tapi aturan tidak boleh berpolitik ala FIFA/UEFA ini dilanggar sendiri setelah ada perang di Ukraina.

Banyak tim yang terang-terangan pakai kaos pro-Ukraina. Bahkan Rusia juga dilarang ikut Piala Dunia, karena FIFA memihak Ukraina.

Kemunafikan FIFA ini ditangkap para pendukung Palestina, sehingga di Qatar mereka secara terbuka menunjukkan dukungn pada Palestina. Misalnya, ada yang bagi-bagi gelang dengan warna bendera Palestina.

Para penonton Piala Dunia yang menunjukkan sikap antipati pada jurnalis Israel. Atau menyanyikan dukungan pada Palestina. Atau mengibarkan bendera Palestina saat pertandingan berlangsung.

Fenomena ini menunjukkan, normalisasi Israel dengan rezim-rezim Arab tidak berarti rakyat di negara-negara itu setuju dengan keputusan rezim mereka.

Para buzzer dan fans Israel di Indonesia, mereka dari geng liberal juga, sama-sama nyinyir soal jilbab, sering berkata Indonesia sebaiknya menormalisasi hubungan dengan Israel juga. Toh orang-orang Arab saja sudah mau tuh berdamai.

Padahal mereka bukannya selama ini anti-Arab ya, sering menghina Arab, lha kok sekarang kita disuruh meniru Arab?

Rezim-rezim monarki Arab itu tidak demokratis, jadi keputusan mereka tidak mewakili aspirasi rakyat.

Balik ke Iran, bahkan ada komentator sepakbola Indonesia yang ikut ngaco. Saat Iran main lawan Wales. Dia malah mengkritik Iran melulu. ”Kan si X main di tim Eropa, harusnya lebih bagus lagi mainnya.” Duh, saya aja yang gak ngikutin bola bisa menangkap keabsurdan komen si komentator itu.

Harusnya yang dia kritisi pemain Wales yang seharusnya main lebih baik dari Iran. Karena rankingnya jauh di atas Iran. Lha kok tim yang lebih lemah yang dikritik. Sudah untung Iran bisa melawan, menang pula. Pas Iran menang, si komentator di SCTV ini komennya singkat dan dingin.

Komentator di BBC, Jurgen Klinsmann, berkomentar rasis saat mengkritik permainan Iran. ”Itulah budaya mereka dan itulah mengapa Carlos Queiroz, dia sangat cocok di tim nasional Iran.” Lalu menyebut latar belakang Queiroz.

Rusia juga ikut memanaskan suasana ala dark humor. Nge-troll ala Rusia. Di Moskow, ada pesan billboard yang mengejek AS dan mendukung Iran.

Di layar bioskop Oktyabr di Moskow, muncul dukungan pada tim sepak bola nasional Iran dalam pertandingan melawan AS di Piala Dunia 2022 di Qatar. Terjemahan: AS selalu kecil. Iran selalu besar. Iran! Hati Rusia bersamamu! (sumber: telegram Press TV)

Yang menarik juga: Press TV (Iran) dalam Piala Dunia ini membela Qatar. Ini geopolitik banget. Mereka yang mengikuti konflik Suriah sejak 2011, tahu pasti bahwa salah satu ‘penjahatnya’ ya Qatar ini.

Qatarlah yang mendanai kelompok jihadis Ikhwanul Muslimin. Gara-gara itu, Saudi ngamuk dan memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar dengan mengajak beberapa negara lain dan memblokade perdagangan.

Siapa yang bantuin Qatar mengekspor bahan pangan dll yang dibutuhkan Qatar? Iran. Padahal di Suriah, Iran membantu dalam perang melawan para jihadis baik Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, maupun ISIS.

Bagi Saudi, Ikhwan adalah teroris. Padahal di saat yang sama, Saudi mensponsori jihadis dari kelompok lain. Jadi ini perseteruan antara dua sponsor ”jihad” dari faksi yang berbeda. Tahun 2021, mereka sudah menormalisasi hubungan diplomatik.

Lalu apa yang mempersatukan Iran dan Qatar di Piala Dunia ini? Jawabannya: Palestina. Seperti dikatakan reporter Press TV: Qatar dan Iran merupakan pendukung Palestina, meski menghadapi ancaman dari AS.

Balik ke tweet awal, ini memang pertarungan antarnilai, antarideologi.Yang sedang terjadi sekarang adalah pergeseran geopolitik global.

Pemaksaan nilai yang dilakukan AS-Barat sudah mendapatkan perlawanan yang serius dari Selatan. Unilateralisme AS sudah bergeser ke multilateralisme.

Rusia, China, Iran, meski tak seragam ideologinya, tapi ada kesamaan nilai. Yaitu anti-liberalisme Barat yang sedang dipaksakan pada mereka.

Mereka tahu bahwa pemaksaan nilai Barat ini sebenarnya bertujuan untuk mendominasi, menundukkan, dan menguasai ekonomi. Negara-negara Selatan termasuk sebagian negara Arab, seperti Qatar menyadari pergeseran ini dan mulai berhitung. (*)

Editor Sugeng Purwanto

*) naskah ini diambil dari Twitter Dina Y. Sulaiman.

Exit mobile version