LGBT, Hukumnya Menurut Tarjih

LGBT

PWMU.CO – LGBT adalah singkatan dari lesbian, gay, biseksual, dan transgender. Lesbian (L) adalah wanita yang mencintai atau merasakan rangsangan seksual sesama jenis kelaminnya (wanita), dalam fikih perbuatan lesbin disebut sihaq.

Gay (G) adalah laki-laki yang mencintai atau merasakan rangsangan seksual sesama jenis kelaminnya (laki-laki), yang dalam pandangan fikih disebut liwath. 

Istilah liwath ini dikaitkan kepada nama seorang nabi yaitu Luth as, karena perilaku itu muncul pertama kali pada masa Nabi Luth as.

Istilah lain dari liwath disebut sodomi. Hal ini dinisbatkan kepada kota tempat kaum Nabi Luth as tinggal, yaitu Sodom atau Sodum. Terletak di sebelah selatan Laut Mati (al-Bahr al-Mayyit), yang kemudian dikenal juga dengan nama Danau Luth (Buhairah Luth).

Di dunia kedokteran kecenderungan ketertarikan secara seksual kepada jenis kelamin yang sama, yang meliputi Gay (G) dan Lesbian (L) disebut pula dengan homoseksual.

Biseksual (B) artinya seseorang mempunyai sifat dan kecenderungan dua jenis kelamin, baik laki-laki dan perempuan, atau tertarik secara seksual kepada dua jenis kelamin, laki-laki maupun perempuan.

Dalam istilah medis, Biseksual (B) artinya kecenderungan memiliki ketertarikan secara seksual kepada kedua jenis kelamin. Jika dilihat dari segi pengertian dan perilaku Lesbian (L), Gay (G) maupun Biseksual (B) memiliki kesamaan termasuk dalam katagori homoseksual sehingga tidak ada perbedaan di antara ketiganya.

Transgender (T) adalah orang yang memiliki identitas gender atau ekspresi gender yang berbeda dengan seksnya yang ditunjukkan saat lahir. Misalnya seseorang lahir dengan alat kelamin laki-laki yang lengkap, namun dalam penampilan dan perilaku sehari-hari terlihat sebagai seorang wanita. Dalam bahasa sehari-hari disebut sebagai banci. Dalam bahasa fikih disebut mukhannats.

Demikian pula sebaliknya, ada seseorang yang lahir dengan alat kelamin perempuan secara sempurna namun dalam penampilan dan perilaku sehari-hari terlihat sebagai seorang laki-laki. Dalam bahasa fikih disebut sebagai mutarajjilah.

Transgender berbeda dengan hermaprodit. Hermaprodit memiliki arti kelamin ganda. Secara kodrati ada orang yang ditakdirkan Allah dengan kelainan jenis kelamin dari keumuman kelahiran normal, misalnya seseorang yang dilahirkan memiliki alat kelamin laki-laki dan perempuan yang dua-duanya tumbuh.

Orang tersebut terlihat memiliki organ penis dan vagina, secara bersamaan. Secara medis/kedokteran hal ini dikenal dengan istilah hermaphrodite atau disebut juga interseks.

Dalam perkembangannya kecenderungan gender dapat muncul, misalkan cenderung ke laki-laki ataupun ke perempuan, namun ada pula yang tidak didapatkan kecenderungan kepada salah satu gender.

Dalam bahasa fikih, keadaan kelamin ganda ini disebut khuntsa, sedangkan bila tidak didapatkan kecenderungan disebut khuntsa musykil.

Pandangan Hukum Islam terhadap LGBT

Beberapa dalil yang berkaitan dengan pandangan hukum Islam terhadap LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual) dan T (Transgender) ini dapat diuraikan sebagai berikut.

Orientasi seksual terhadap sesama jenis kelamin seperti Lesbian, Gay dan Biseksual (LGB) adalah menyalahi fitrah penciptaan manusia dan bertentangan dengan syariat Islam, maka hukumnya haram. Hal ini seperti dijelaskan dalam al-Quran:

a. Penciptaan manusia terdiri dua jenis kelamin laki-laki dan perempuan, sebagaimana firman Allah dalam Al-Hujurat (49): 13: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.”

b. Manusia pertama di muka bumi seorang laki-laki dan perempuan, yaitu Adam dan Hawa, kemudian dari keduanya berkembangang biak keturunan yang banyak, sebagaimana firman Allah dalam An-Nisa (4): 1: “Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu (Adam) dan Dia menciptakan darinya pasangannya (Hawa). Dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.”

c. Allah memberikan rasa cinta kepada jenis kelamin yang berbeda, sebagaimana firman Allah dalam Ali Imran (3): 14: “Dijadikan indah bagi manusia kecintaan pada aneka kesenangan yang berupa perempuan, … Itulah kesenangan hidup di dunia.”

Hubungan seksual atau pun perkawinan sejenis yang dilakukan oleh kelompok LGB ini termasuk perbuatan keji (fahisyah) karena perbuatan ini sama seperti zina bahkan lebih keji dari zina.

Perbuatan ini pernah terjadi pada masa Nabi Luth. Perilaku kaum Nabi Luth disebut sebagai perbuatan keji (fahisyah). Al-Quran menyebut dalam beberapa surah seperti al-Ankabut (29): 28-29), Hud (11): 78-79

Pada al-A’raf (7): 80-81, Allah berfirman:

“(Kami juga telah mengutus) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya, mengapa kamu melakukan perbuatan keji yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun sebelum kamu (di dunia ini). Sungguh kamu telah melampiaskan syahwatmu kepada sesama lelaki bukan kepada perempuan, kamu benar-benar kaum yang melampaui batas.”

Perilaku homoseksual ini tidak hanya disebut sebagai perbuatan yang fahisyah (keji) tetapi juga sebagai perbuatan fasid (merusak), abnormal, dan membahayakan.

Beberapa hadits menyebutkan ancaman dan celaan terhadap perbuatan tersebut di antaranya dalam hadis riwayat dari Ibnu Abbas, Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang kamu dapati melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual), maka bunuhlah kedua pelakunya” (HR Abu Dawud).

Dalam riwayat dari Ibnu Abbas lainnya Nabi Muhammad saw. bersabda: “Allah melaknat siapa saja yang melakukan perbuatan kaum Luth, Allah melaknat siapa saja yang melakukan perbuatan kaum Luth, Allah melaknat siapa saja yang melakukan perbuatan kaum Luth” (HR Ahmad).

d. Hubungan seks yang dibenarkan hanya hubungan seks antara suami dan istri, yaitu pasangan laki-laki dan perempuan berdasarkan pernikahan yang sah sesuai dengan syariat agama Islam seperti ditunjukkan dalam surat ar-Rum (30): 21.

Di antara tujuan pernikahan adalah untuk medapatkan keturunan atau menjaga keberlangsungan eksistensi kehidupan manusia, sebagaimana disebutkan dalam Asy-Syura (42): 49-50.

Sementara homoseksual atau hubungan seks sejenis tidak akan dapat memenuhi tujuan pernikahan ini.

Perilaku homoseksual melanggar Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Bab 1 Pasal 1 yang menyebutkan: Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

 LGBT adalah Kelainan Jiwa

Perilaku homoseksual merupakan suatu kelainan seksual (penyakit jiwa), termasuk kategori abnormal karena berhubungan seksual dengan sesama jenis kelamin.

Dampak negatif terhadap kesehatan bagi kaum homoseksual adalah potensi terjangkitnya virus HIV yang menyebabkan penyakit AIDS baik kepada dirinya maupun menular kepada orang lain. Penyakit kelainan seksual seperti ini masih dapat disembuhkan dan dapat kembali normal sesuai fitrahnya.

Kesembuhan ini bisa terjadi tergantung kepada sejauh mana usaha seseorang dalam menyembuhkan sakitnya. Proses penyembuhan dari penyakit homoseksual sehingga kesadaran seseorang kepada fitrah seksual yang sebenarnya kembali dimiliki adalah tanggung jawab semua pihak.

Agama telah mengajarkan setiap penyakit pasti ada obatnya, sebagimana sabda Nabi saw: “Bagi setiap penyakit terdapat penawar (obat), maka apabila ditimpa (sakit) obatilah penyakit itu, maka dengan izin Allah azza wa jalla akan lepas (sembuh)” (H.R. Muslim).

Transgender (T) atau yang populer disebut dengan banci, telah dilarang oleh Nabi Muhammad saw., antara lain melalui hadis sahih berikut: “Dari Ibnu Abbas (diriwayatkan) ia berkata, Nabi saw melaknat para lelaki mukhannats dan para wanita mutarajjilah dan bersabda: Keluarkan mereka dari rumah kalian. Kemudian Nabi saw. mengusir si Fulan, dan Umar pun mengusir si Fulan” (H.R. al-Bukhari, No. 5886).

Dalam riwayat lain disebutkan: “Rasulullâh saw. melaknat para lelaki yang menyerupai wanita, dan para wanita yang menyerupai laki-laki” (H.R. al-Bukhari, No. 5885).

Tentang mukhannats, an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim membuat kategorisasi, yaitu mukhannats min khalqin (given/bawaan) dan mukhannats bi at-takalluf (constructed). 

Senada dengan an-Nawawi, Ibn Hajar membagi mukhannats ke dalam dua bagian: min ashl al-khilqah (tercipta sejak dalam janin) dan bi al-qashdi (lelaki yang dengan sengaja memoles dirinya dan berperilaku seperti perempuan).

Ibnu Hajar dalam kitab syarahnya mengatakan, bahwa laknat dan celaan Rasulullah saw. tersebut khusus ditujukan kepada orang yang sengaja meniru lawan jenisnya.

Bila hal tersebut bersifat bawaan (karakter asli), maka ia cukup diperintah agar berusaha meninggalkannya semaksimal mungkin secara bertahap. Bila ia tidak mau berusaha meninggalkannya, dan membiarkan dirinya seperti itu, barulah ia berdosa, lebih-lebih bila ia menunjukkan sikap rida dengan perangainya tadi.

Sebagian ulama mengatakan bahwa mukhannats alami/bawaan tidak dianggap tercela atau pun berdosa, maksudnya ialah orang yang tidak bisa meninggalkan cara berbicara yang lembut dan gerakan gemulai setelah ia berusaha meninggalkannya.

Sedangkan bila ia masih dapat meninggalkannya walaupun secara bertahap, maka ia dianggap berdosa bila melakukannya tanpa uzur.

Dari keterangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa banci terbagi menjadi dua:
Pertama, banci alami, yaitu orang yang ucapannya lembut dan tubuhnya gemulai secara alami, dan ia tidak dikenal sebagai orang yang suka berbuat keji.

Orang seperti ini tidak dianggap fasik, ia bukan orang yang dimaksud oleh hadis-hadis di atas sebagai objek celaan dan laknat.

Kedua, banci karena sengaja meniru-niru kaum wanita, dengan melembutkan suara ketika berbicara, atau menggerakkan anggota badan dengan lemah gemulai. Perbuatan ini adalah kebiasaan tercela dan maksiat yang menjadikan pelakunya tergolong fasik.

Kategori ini juga berlaku bagi wanita yang menyerupai laki-laki (waria), sebab pada dasarnya kaum wanita juga terkena perintah dan larangan dalam agama sebagaimana laki-laki, selama tidak ada dalil yang mengecualikannya.

Mengenai istilah interseks atau kelamin ganda, secara fisik adalah kelainan atau cacat kelahiran dengan memiliki dua jenis kelamin. Hal ini merupakan takdir dari Allah, bukan keinginan atau pilihan seseorang karena Allah yang berkuasa menciptakan makhluk-Nya sesuai dengan kehendak-Nya, sebagaimana firman Allah dalam Al-Hajj (22): 5:

“Wahai manusia, jika kamu meragukan (hari) kebangkitan, sesungguhnya Kami telah menciptakan (orang tua) kamu (Nabi Adam) dari tanah, kemudian (kamu sebagai keturunannya Kami ciptakan) dari setetes mani, lalu segumpal darah, lalu segumpal daging, baik kejadiannya sempurna maupun tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepadamu (tanda kekuasaan Kami dalam penciptaan).”

Orang yang mempunyai kelainan kelamin ganda sering memiliki keraguan, ada ketidakpuasan dengan gender ganda yang dimiliki, yaitu identitas gender laki-laki, perempuan atau di antaranya (ambiguous). Mereka yang memiliki kelainan gender seperti ini berbeda kasusnya dengan LGBT.

Setiap orang memiliki kromosom tertentu yang merupakan unsur utama dalam penentuan jenis kelamin laki-laki (XY) atau jenis kelamin perempuan (XX). Untuk memutuskan kepastian jenis kelamin seseorang perlu dilihat kromosomnya terlebih dahulu.

Setelah mengetahui dengan pasti kromosom yang lebih dominan pada orang tersebut, kemudian diputuskan sesuai keterangan dokter ahli untuk menyatakan ia berjenis kelamin laki-laki atau perempuan, dengan melihat jenis kromosom pada orang itu misalnya XXY, XXYY atau XXXY yang dalam kondisi normal hanya ada kromosom XY (laki-laki) dan kromosom XX (perempuan).

Dalam penentuan pilihan gender ini bisa didasarkan kepada pertimbangan dokter, keinginan orang tua terhadap anak, atau dilandaskan kepada pertimbangan bersama, sehingga pilihan terakhirnya itulah yang menjadi pegangan dalam menjalani identitas seksual.

Jika pilihannya menjadi laki-laki, maka berlaku baginya semua hukum dan aturan sebagai laki-laki, demikian pula sebaliknya. Kemudian jika dalam perjalanan hidupnya orang itu berpindah haluan setelah ditetapkan jenis kelamin tertentu baginya, maka hukumnya kembali seperti hukum LGBT.

Berdasarkan uraian di atas, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah berpandangan bahwa semua bentuk perilaku dan orientasi seksual, yang menyimpang dari aturan syariat Islam, baik itu lesbian, gay, biseksual maupun Trasgender, hukumnya haram, menyalahi ajaran Islam dan bertentangan dengan undang-undang yang berlaku di Indonesia.

Penanganan LGBT dan Solusinya

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penanganan terhadap bahaya LGBT, di antaranya:

LGBT adalah penyakit jiwa yang dapat disembuhkan, tetapi bisa menular.

Kelompok LGBT tidak boleh dibenci atau dikucilkan dalam pergaulan sosial, karena mereka memiliki hak yang sama sebagai warga negara dan masyarakat.

Pendekatan yang dapat dilakukan dalam menyelesaikan masalah LGBT adalah melalui rehabilitasi sehingga seseorang bisa kembali normal secara seksual. Penanganan ini menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan semua komponen masyarakat.

Bagi kelompok LGBT yang masih ragu atau labil terhadap identitas seksual mereka serta memiliki kecenderungan seks yang menyimpang baik faktor bawaan maupun akibat lingkungan, harus ikut rehabilitasi.

Proses ini harus dilakukan sesuai dengan faktor penyebabnya. Sentuhan ruhani dengan ajaran agama adalah kunci utama untuk mengembalikan mereka kepada fitrahnya. Selain rehabilitasi, harus menjauhkan mereka dari lingkungan pergaulan dan komunitas LGBT.

Bagi masyarakat yang belum atau tidak bersentuhan langsung dengan LGBT perlu dijaga dan dilindungi dengan melakukan tindakan preventif dari perilaku. Bagi anak-anak, pelajar dan generasi muda perlu diberi benteng moral yang kuat agar terhindar dari bahaya LGBT yang mengakibatkan kerusakan agama dan moral di kemudian hari.

Peran orang tua dan keluarga ketika di rumah demikian pula peran guru di sekolah dan semua komponen masyarakat sangat penting untuk memberikan pemahaman yang benar tentang agama dan pergaulan sekaligus mengontrol perilaku anak dalam menjalani aktifitas kesehariannya supaya tidak terjerat kelompok LGBT.

Demikian jawaban ini disampaikan, semoga dapat memberi manfaat dan memberi pencerahan.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah No 18 Tahun 2022

Bisa juga dibaca di muhammadiyah.or.id

Editor Sugeng Purwanto

Exit mobile version