Guru Muhammadiyah Berkarakter Ulul Albab dengan Tiga Ciri Ini; Liputan Mahfudz Efendi, Kontributor PWMU.CO Gresik.
PWMU.CO – Guru dan karyawan SD Alam Muhammadiyah Kedanyang (SD Almadany), Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, mendapat pesan agar menjadi guru Muhammadiyah yang berkarakter ulul albab.
Pesan itu disampaikan Wakil Ketua Lembaga Informasi dan Komunikasi (LIK) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Mohammad Nurfatoni, saat menjadi penceramah dalam Pembinaan Guru dan Karyawan SD Almadany. Acara diadakan oleh Majelis Dikdasmen Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Kedanyang, Sabtu (26/11/2022).
Menjelaskan karakter ulul albab, Fatoni, sapaan akrabnya, merujuk pada al-Quran Surat Ali Imran 190-191. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.’”
Berdasarkan ayat tersebut, alumnus Pondok Pesantren Muhammadiyah Babat Lamongan itu menjelaskan, ulul albab memiliki tiga ciri utama. Pertama, orang yang senantiasa berdzikir kepada Allah dalam segala aktivitasnya. “Itu disimbolkan dengan berdzikir sambil berdiri, duduk, dan berbaring,” katanya.
Oleh karena itu, banyak sekali anjuran berdzikir yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, yang ringan bacaannya tapi berat dampaknya. Seperti mengucakkan subhanallah wabihamdihi subhanallahiladzim atau subhanallah walhamdulillah walailahaillallah wallahu akbar.
Dzikir-dzikir ringan seperti itu bisa dilakukan di sela kegiatan mengajar atau aktivitas lainnya. “Ini yang disebut sebagai salah satu ciri ulul albab yang selalu berdzikir mengingat Allah,” ujarnya.
Dia melanjutkan, aktivitas berdzikir juga dicontohkan oleh Nabi SAW dengan berbagai bacaan doa. “Mau makan ada doanya. Habis makan juga ada doanya. Mau ke toilet ada doanya. Demikian juga keluar dari toilet. Mau tidur dan bangun tidur juga ada doanya, dan sebagainya,” urainya.
Menurutnya sambung-menyambung antara dzikir lisan, berdoa di setiap aktivitas, shalat, dan membaca al-Quran, adalah bagian dari hidup yang tak lepas dari mengingat Allah alias berdzikir tersebut.
Tapi dia mengingatkan, makna dzikir bukan hanya membasahi lisan dengan kalimat-kalimat thayyibah, berdoa, membaca al-Quran, atau mambaca asmaul husnah, melainkan juga dalam kesadaran—hati dan pikirannya—selalu mengingat kepada Allah dalam seluruh aktivitasnya.
Dengan selalu ingat kepada Allah itulah, kata dia, akan lahir kesadaran selalu dalam pengawasan Allah sehingga membuat seseorang berhati-hati jika berniat melanggar aturan. “Saat akan berbuat curang, mau korupsi, mengurangi timbangan, atau lainnya, tidak akan dilakukan karena selalu mengingat Allah,” ujarnya.
Oleh karena itu untuk mengasah ciri ulul albab pertama ini Fatoni memberi saran agar guru-guru Muhammadiyah, khususnya di SD Almadany, memiliki tradisi dzikir bersama yang tentu sesuai sunnah. “Jadi jangan hanya siswa yang punya kebiasaan doa membaca al-Quran bersama. Guru-guru pun harus punya,” pesannya. Dia khawatir jika tidak ditradisikan, dzikir secara pribadi mudah terabaikan.
Ciri Kedua Bertafakur
Ciri ulul albab yang kedua adalah berpikir (tafakur) tentang penciptaan langit dan bumi alias alam semesta. Membahas ciri kedua ini Fatoni menyampaikan berbagai dalil al-Quran yang menyatakan bahwa alam semesta diciptakan oleh Allah dengan benar (az-Zumar 5), tidak dengan main-main (al-Anbiya 16).
Oleh karena itu tidak ada ciptaan Allah yang cacat (al-Mulk ayat 3-4) atau tidak ada gunanya. Bahkan nyamuk atau makhluk yang lebih kecil dari itu pun mengandung hikmah (al-Baqarah 26).
Yang juga sangat menakjubkan, alam semesta itu senantiasa tunduk kepada Allah (Ali Imran 83) dan bertasbih kepada-Nya (al-Isra 44). Seperti burung dengan mengepakkan sayapnya (an-Nur 41) atau guruh dengan gelegar suaranya (ar-Rad 13).
Alumnus Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP Surabaya—kini Universitas Negeri Surabaya (Unesa)—itu menerangkan keindahan dan keteraturan alam itu terjadi karena Allah telah memberi petunjuk pada alam semesta (Thaha 50) dan memberi ukuran (qadar, kadar) alam semesta ini atau yang biasa disebut sunnatullah. “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (al-Qamar 49).
Oleh karena itu alam bersifat, pasti. Dia mencontohkan api itu membakar atau air akan mendidih pada suhu 100 derajat celsius dalam tekanan 1 atmosfär.
“Matahari selalu terbit dari timur; kalau ingin buah mangga ya tanam pohon mangga jangan tanam jambu; kalau pingin anak ya menikah; dan lain sebagainya,” dia menambahkan contoh.
Sifat alam yang kedua adalah objektif. Untuk menerangkan hal ini Fatoni membuat dua skesta di papan tulis. Yakni gambar masjid dan gereja. “Kedua bangunan ini tingginya sama, tapi yang gereja ada penangkal petirnya sedangkan masjid tidak ada,” jelasnya.
Kemudian dia bertanya, “Jika ada petir mana yang akan kesambar?”
Hampir serentak, peserta menjawab, “Masjid!”
Fatoni membenarkan jawaban itu. Dia pun menjelaskan, itulah yang dimaksud dengan keobjektifan alam semesta. Alam semesta akan memberi perlakukan yang sama (objektif) pada manusia, apakah dia Muslim atau kafir.
“Virus Corona akan menyerang siapa saja, tak peduli agamanya apa. Tak peduli di masjid atau di pasar,” jelasnya.
Sifat alam yang ketiga adalah konstan alias tidak berubah. “Dari dulu benda di atas akan jatuh ke bawah karena gaya gravitasi bumi,” katanya.
Dia melanjutkan, dengan sifat-sifat seperti itu sebenarnya alam semesta adalah buku dan laboratorium raksasa tempat lahirkanya ilmu pengetahuan. “Dengan kepastian, keobjektifan, dan kekonstanan alam semesta itulah manusia bisa menemukan ilmu pengetahuan,” ujarnya.
Dia memberi contoh Isaac Newton yang menemukan hukum grafitasi bumi. “Bukan berarti sebelum ada penemuan Newton itu, apel tidak jatuh ke bawah,” kata dia. Fatoni melanjutkan, Newton menemukan hukum grafitasi bumi karena keteraturan alam semesta yang hukum-hukumnya telah dikadarkan oleh Allah—-yang kemudian menjadi hamparan untuk dipelajari dan diteliti oleh para ilmuan, salah satunya Newton.
Menegaskan tentang hukum alam yang tidak berubah, Fatoni menanyakan bagaimana dengan pesawat terbang yang tidak jatuh? Apakah tidak berlaku hukum grafitasi bumi? Dengan tegas dia mengatakan tidak jatuhnya pesawat itu karena ada hukum alam lain yang berlaku.
Syarat-syarat yang menyebabkan pesawat tidak jatuh karena menggunakan gaya angkat yang lebih besar dibandingkan gaya gravitasi. Ditambah gaya dorong dari mesin pesawat yang membuat pesawat melaju dengan kecepatan tertentu.
Menggalakkan Riset
Berpikir tentang penciptaan alam semesta seperti yang dilakukan oleh Newton itulah yang disebut sebagai ciri kedua ulul albab. Menurut Fatoni, inilah salah satu yang hilang dari kebanyakan umat Islam. Oleh karena itu dia mengajak guru-guru SD Almadany untuk memiliki karakter seperti ini: berpikir tentang alam semesta dengan riset atau meneliti, sekecil apapun bidangnya.
Fatoni lalu bertanya, kenapa tidak semua orang ketika melihat apel jatuh memikirkan dan menelitinya? Menurutnya, itulah yang disebut insting. Dan Newton memilikinya. Dalam konteks ciri ulul albab pertama, dia menjelaskan, sebenarnya dzikir adalah salah satu metode umat Islam mendapatkan insting atau semacam ilham.
“Dengan dekat pada Allah, insyaallah, kita akan mendapatkan sesuatu dari-Nya, termasuk ilmu pengetahuan,” kata dia. Maka, tambahnya, sebenarnya potensi umat Islam untuk menemukan ilmu pengetahuan lebih besar karena punya modal dzikir dan tafakur (pikir). Hanya keduanya belum diintegrasikan. “Kalau gak jatuh pada ekstrem dzikir ya ekstrem pikir,” katanya.
Kembali pada ciri ulul albab, Fatoni mengajak para guru Muhammadiyah mengasah dua karakter itu ke dalam dirinya. Lalu memadukannya dengan ciri ketiga ulul albab, yaitu hamba yang tawadhuk dan bersyukur kepada Allah sebagaimana bunyi terakhir ayat 191: “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
Puncak dari dzikir dan tafakur adalah pengakuan tentang kekuasaan Allah yang menciptakan alam semesta ini tidak dengan sia-sia seraya me-Maha Suci-kan Allah dan berdoa agar dijauhkan dari siksa api neraka.
“Dalam khazanah Jawa, itulah yang dismaksud dengan filsafat padi; semakin berisi semakin merunduk,” katanya.
Pemimpin Redaksi PWMU.CO itu menyampaikan, sosok guru ulul albab dengan tiga karakter itu jika mengajar di kelas maka semua ilmu yang dia sampaikan akan bermuara pada nilai spiritualitas.
“Pelajaran fisika, biologi, kimia, matematika, ekonomi, bahkan prakarya, semua ujung-ujungnya adalah pada Allah. Itulah integrasi ilmu dengan spiritualitas. Tidak ada pemisahan antara ilmu dan agama alias sekularisme. Sebaliknya ilmu membawa manusia tunduk pada Allah,” jelasnya. (*)