Ulama dan Tentara dalam Kepemimpinan NKRI oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS dan Pendiri Rosyid College of Arts.
PWMU.CO– Kita mendengar kabar suksesi kepemimpinan TNI beberapa hari ini. Kepemimpinan Panglima Jenderal Andhika Perkasa akan dilanjutkan oleh Laksamana Yudo Margono, KSAL saat ini.
Menjelang tahun politik 2024, umat Islam sebagai stake holders terbesar bangsa ini perlu mencermati agenda politik nasional ini.
Panglima Yudo telah berjanji akan bersikap netral dalam Pemilu 2024. Sementara Presiden Jokowi tampaknya tidak netral. Sementara tudingan politik identitas dialamatkan ke umat Islam, terutama setelah pencapresan Anies Baswedan oleh Partai Nasdem.
Sulit untuk tidak melihat kesan bahwa rezim Jokowi telah menempatkan umat Islam dalam posisi yang sulit, jika bukan bermusuhan. Hujan di hulu belum teduh, luka Pilgub DKI Anies vs Ahok dulu belum sembuh.
Tentara memang harus taat pada komando, bukan komandan. Yaitu taat pada konstitusi, seperti umat Islam berimam pada al-Quran, bukan khalifah.
Namun ini telah menimbulkan problematika karena UUD 2002 telah mengganti UUD 1945. Akibatnya national misgovernance kita saat ini telah melahirkan banyak deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara karena telah memunculkan banyak free riders dalam penyediaan polity as public goods, sehingga pasar politik kita, menurut Mulyadi, dimonopoli oleh para bandit, bandar, dan badut politik. Akibatnya Pemilu hampir selalu berujung pada kepiluan publik.
Tata kelola pemerintahan saat ini telah menyebabkan Polri langsung di bawah presdien gagal mengemban misi melindungi dan mengayomi masyarakat. Bahkan makin brutal dan mematikan bagi masyarakat.
Kasus Satgassus Merah Putih yang dipimpin Ferdi Sambo saat ini menyisakan pertanyaan reformasi Polri. Mestinya Polri seperti TNI, berada di bawah kepemimpinan sipil seorang menteri.
Mungkin bukan Mendagri, tapi Menteri Keamanan Dalam Negeri, seperti TNI di bawah Menhankam. Polri makin mudah diperalat oleh kekuasaan untuk kepentingan politik jangka pendek oleh para free riders politik itu.
Suksesi
Suksesi kepemimpinan nasional saat ini memiliki dua dimensi agar NKRI bisa lolos menjadi kekuatan baru di Asia. Kekuatan ekonomi, politik, maupun militer di tengah pergeseran pusat ekonomi dan politik dunia, ancaman stagflasi, dan kehancuran ekosistem global.
Dimensi pertama adalah pergantian komandan, yaitu presiden. Dimensi kedua adalah pergantian komando, yaitu konstitusi. Pergantian komando tanpa pergantian komandan hanya akan melahirkan presiden boneka para bandit, bandar, dan badut politik. Kita membutuhkan TNI yang lebih setia pada UUD 45 daripada pada UUD 2002.
Banyak pihak telah mencoba mengkerdilkan peran ulama dalam pembentukan NKRI. Padahal ulama telah terbukti memiliki peran instrumental dalam penyiapan komando proklamasi, yaitu UUD 45. Juga penyiapan Badan Keamanan Rakyat sebagai embrio ABRI lalu TNI.
Laskar Sabilillah dan Hizbullah binaan para ulama berbasis pesantren adalah komponen utama BKR di samping PETA binaan Jepang dan KNIL binaan Belanda.
Sabilillah dan Hizbullah diinspirasi oleh peran Pangeran Diponegoro sebagai ulama dalam melawan penjajah Belanda. Laskar Pangeran Diponegoro adalah tentara terlatih oleh Janisari Turki yang pernah ada di zaman pra-kemerdekaan.
Laskar Diponegoro ini telah mengagetkan Jenderal de Kock karena telah mengadopsi struktur, simbol, dan strategi tentara Kekhalifahan Ustmani di Turki.
Hampir semua laskar dan angkatan perang di dunia selalu meminta dukungan spiritualitas dari langit melalui doa para tokoh agama. Mereka ingin gugur syahid, bukan mati sangit.
Oleh karena itu siapapun Panglima TNI perlu menyadari fakta sejarah ini. Di bawah Panglima Yudo Margono, mungkin kepiawaian berkuda dan memanah laskar Diponegoro perlu diperkuat dengan kepiawaian pelaut Majapahit di bawah asuhan Patih Gajah Mada untuk menjaga negara kepulauan ini.
Kita berharap Panglima Yudo menyatakan kesetiaannya pada komando warisan para ulama negarawan pendiri bangsa agar pergantian komandan yang akan datang ini akan melahirkan seorang mandataris MPR untuk mewujudkan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.
Yaitu sebuah bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur yang diberkati Allah swt. Bukan petugas partai, apalagi boneka oligarki para bandit, bandar, dan badut politik.
Bandung, 4 Desember 2022
Editor Sugeng Purwanto