Ketika Haedar Nashir Bernostalgia tentang Lumbung Padi, liputan kontributor PWMU.CO Sugiran dari Bandung.
PWMU.CO – Momen penyerahan bantuan 50.000 kaleng sarden dan 2.000 dus air Lazismu Jatim kepada Lazismu Jabar untuk penyintas gempa Cianjur, Jumat (2/12/2022) terasa istimewa.
Selain disaksikan langsung oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat PP Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir MSi, penyerahan ini juga dilakukan di kediamannya, kampung Ciparay, Kabupaten Bandung ,Jawa Barat.
Menurut informasi Sekretaris PWM Jatim Ir Tamhid Masyhudi, Ciparay terkenal dengan lumbung padi. Maka usai prosesi penyerahan dan makan siang, PWMU.CO berkesempatan untuk wawancara.
Menurut Haedar Nashir, dulu waktu kecil di kampung ini ada lumbung padi dalam tiga level. Tiap keluarga yang punya lahan atau sawah itu mempunyai lumbung di samping rumah yang sengaja dibangun.
“Lalu nanti ada lumbung padi yang punya kampung. Jadi mereka semua yang punya sawah nitip padi. Dulu padi itu kan diikat rapi di bagian jeraminya. Di lumbung itulah padi-padi yang sudah terikat tadi ditumpuk,” ujarnya.
“Satu lagi lumbung padi di kelurahan atau di desa. Dulu di kelurahan ada lumbung besar. Itu jaman saya kecil, tetapi sekarang sudah tidak ada,” imbuhnya.
Mungkin di beberapa tempat di kawasan yang jauh masih ada. Tapi dengan konsep lumbung itu lalu ada satu kesadaran tentang kesiapan menghadapi paceklik dan semangat untuk berbagi.
“Jadi orang menggunakan dari lumbung itu untuk keperluan tertentu. Nanti dia mengganti lagi dengan mengisi padi lagi. Jadi ada nilai kesiapan hadapi paceklik dan nilai taawun serta gotong royong,” ungkapnya.
Sebenarnya, lanjutnya, hal itu bisa dimanifestasikan sekarang dalam bentuk apa saja. Tidak harus dalam bentuk lumbung, tetapi bisa dalam bentuk investasi bersama. Dulu konsepnya adalah koperasi.
“Ketika Pak Hatta bersama kawan-kawannya menggagas koperasi, itu maksudnya ingin membangun bahwa koperasi menjadi soko guru menghidupkan ekonomi gotong royong tadi,” ungkapnya.
Problem Lumbung Pangan
Saat ini, sambungnya, justru kita ada problem lumbung pangan. Pertama, sawah-sawah semakin menyempit karena kalah oleh pembangunan-pembangunan. Tetapi memang di setiap negara modern begitu.
“Hanya bedanya di negara, misalnya Belanda, atau beberapa negara lain, tingkat pertumbuhan penduduknya rendah. Sementara di Indonesia proses industrialisasi itu juga tidak bisa mengerem jumlah penduduk. Sehingga kekurangan lahan,” jelasnya.
Kedua, ada disparitas di mana petani gurem semakin menjadi petani gurem, karena memang tiada lahan. Di saat seperti ini sebenarnya, apa yang disebut dengan ketahanan pangan, kedaulatan pangan dan swasembada harus dihidupkan.
“Tetapi jangan terlalu kuat di wacana. Harus seperti zaman Pak Harto (Presiden RI kedua Soeharto). Dulu misalnya swasembada padi, swasembada beras, sehingga Indonesia tangguh waktu itu. Saya pikir saatnya sekarang, karena masih banyak kawasan-kawasan yang menjadi sumber sentra beras. Misalnya Karawang Jabar, Sragen Jateng dan hampir semua daerah punya basis sawah,” terangnya.
“Tetapi selalu problemnya, beras-beras dari pusat beras itu ketika dijual keluar harganya murah, akhirnya petani merasa rugi karena bermunculan tengkulak. Maka harus ada kebijakan nasional yang lebih progresif,” imbuhnya.
Gerakan Pangan Muhammadiyah
Bersamaan dengan itu, gerakan Muhammadiyah dan Aisyiyah untuk lumbung pangan itu bagus. Setiap jengkal di mana kita punya lahan, bahkan halaman sempit pun kita tanami cabe atau apa yang bisa kita petik. Itu sangat berguna dan merupakan semangat yang bagus.
“Bahkan sekarang banyak yang pakai polybag. Hanya memang sekarang kita punya problem mentalitas. Orang Indonesia itu masih punya sifat tidak mau kerja keras. Kalau kerja itu inginnya yang kelihatan, fisik itu dianggap rendahan. Lalu etosnya seperti gampang menyerah,” terangnya.
Maka kita harus memperbaiki mentalitas tadi. Boleh jadi di sebagian generasi milenial mulai tumbuh kesadaran untuk menjadi wirausahawan. Tapi milenial juga banyak yang rebahan artinya budaya malas itu juga masih ada. Jadi dia tidak sungguh-sungguh. Dan ini akan berpengaruh juga ketika kita mengurus negara.
“Masak kita tidak bisa mengumpulkan para ahli pertanian, ahli peternakan, ahli kenelayanan, lalu memobilisasi potensi darat dan laut yang kita miliki untuk swasembada dan kedaulatan pangan. Kalau kita jadi negara kuat maka kedaulatan pangan juga harus kuat,” tegasnya.
Muhammadiyah lima tahun ke depan, menurutnya, bidang ekonomi itu menjadi sebuah keniscayaan. Itu karena kita punya modal amal usaha dan modal rintisan-rintisan ekonomi.
“Tetapi kemudian harus disinergikan dengan membangkitkan kembali ketahanan pangan. Karena banyak masyarakat kita di bawah, soal pangan masih menjadi problem besar,” paparnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni