Spirit Memimpin Muhammadiyah oleh Hazim Hamid, Ketua PCIM Hongaria
PWMU.CO– Perhelatan Muktamar Muhammadiyah ke-48 telah usai. Segera disusul permusyawaratan pada level di bawahnya. Musyawarah Wilayah, Daerah, Cabang, dan Ranting. Salah satu agenda utamanya adalah penentuan estafet kepemimpinan.
Menariknya, meskipun pimpinan di persyarikatan bersifat pengabdian dan tanpa digaji, tapi selalu memikat. Semakin tinggi level kepemimpinan, semakin banyak yang mengincarnya.
Inilah yang mengundang tanda tanya, kepentingan apa yang sesungguhnya diharapkan dari posisinya di Muhammadiyah?
Menjawab pertanyaan ini, saya mencoba melihat melalui dua pendekatan. Altruisme dan modal sosial (social capital).
Pertama, antusiasme kader persyarikatan meramaikan bursa pencalonan dimungkinkan terdorong oleh semangat altruistik dalam dirinya. Altruistik dapat dipahami sebagai keinginan untuk terlibat dalam kegiatan sosial secara tulus, tanpa mengharap imbalan (manfaat) yang bersifat personal.
Ada banyak kemungkinan alasan yang melatarbelakangi pribadi altruistik. Religiusitas, kaderisasi, dan keteladanan (modelling) bisa menjadi variabel melekatnya jiwa altruistik dalam diri kader Muhammadiyah.
Hubungan positif antara agama dan perilaku altruistik sangat bisa dipahami karena banyak nilai-nilai agama, terutama Islam, yang memang mengajarkan untuk senantiasa berbuat baik pada orang lain secara ikhlas.
Al-Maun
Banyak pesan ayat suci yang menyerukan keseimbangan antara perilaku agama dengan kepedulian sosial. Di antaranya adalah yang terkandung dalam al-Quran surat al-Ma’un, yang kemudian dikenal dengan Teologi al-Ma’un.
Dalam surat ini, Allah swt menyejajarkan perilaku orang yang tidak peduli dengan kaum mustadafin sebagai perbuatan yang mendustakan agama.
Landasan teologis ini bisa menjadi pendorong sebagian kader Muhammadiyah tulus menjadi pilar penting keutuhan dan kelangsungan organisasi.
Secara empiris juga sudah banyak riset yang membuktikan, semakin tinggi tingkat religiusitas seseorang, semakin tinggi pula tingkat perilaku altruistiknya.
Selain itu, proses penanaman militansi kader bisa terbentuk melalui kaderisasi formal maupun informal. Muatan-muatan kaderisasi sangat kaya akan doktrin keikhlasan, kedermawanan, kebermanfaatan, pengabdian.
Pesan-pesan prososial tersebut seakan menjadi menu harian kader. Baik yang tersampaikan melalui forum-forum perkaderan, maupun yang tertanam secara tidak langsung melalui tempaan selama berproses di Ortom.
Keteladanan dari para pendahulu Muhammadiyah adalah faktor lain yang memperkuat internalisasi nilai-nilai pro-sosial dalam diri kader.
Dalam hal role models, Muhammadiyah kaya kisah. Contoh yang heroik adalah yang dilakukan oleh KH Ahmad Dahlan melelang semua aset di rumahnya, termasuk pakaiannya, hanya untuk membayar gaji pada para guru Sekolah Muhammadiyah kala itu. Cerita yang kurang lebih sama juga sering terdengar hingga saat ini dengan level dan kasus yang berbeda.
Mental altruistik menjadikan kader mampu secara totalitas mengabdikan diri di Muhammadiyah. Mereka seakan sangat menjiwai pesan Kiai Dahlan,”Hidup hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah”.
Tidak sedikit pimpinan yang menghibahkan nyaris sepenuh waktu, harta, dan jiwanya untuk kelangsungan dan kemajuan persyarikatan.
Pribadi altruistik biasanya memiliki satu mindset ”selesai” dengan urusannya sendiri. Selesai bukan berarti hanya bagi mereka yang sudah melimpah harta, atau yang telah menyandang status guru besar.
Tapi adalah mereka yang sudah mampu menempatkan kepentingan agama dan organisasi melebihi dirinya. Sehingga mereka aktif memberi tapi sepi ing pamrih, hanya berharap ridho dan imbalan ilahi.
Modal Sosial
Kedua, ketertarikan menjadi pimpinan persyarikatan bisa jadi juga karena terdorong oleh spirit memperkuat modal sosial (social capital). Yaitu suatu kumpulan sumber daya, baik yang bersifat aktual maupun virtual, yang terus bertambah pada diri individu atau kelompok karena kepemilikan jaringan yang sudah terlembagakan dalam kurun waktu yang cukup lama.
Dalam konteks ini, semua pihak mengakui bahwa Muhammadiyah memiliki modal sosial yang sangat kuat dan strategis. Modal sosial yang dimaksud setidaknya bisa dilihat dari kekuatan networks, dan aset yang dimiliki.
Secara jaringan, struktur organisasinya tersebar dari tingkat desa hingga pusat. Berdiri di seluruh provinsi di Indonesia. Bahkan telah memiliki sekitar 30 perwakilan di luar negeri.
Sementara aset, berupa amal usaha maupun aset material, tak tertandingi oleh lembaga sosial manapun. Secara statistik, organisasi ini memiliki lebih dari 10 ribu lembaga pendidikan, mulai dari TK hingga perguruan tinggi. Sekitar 500 lembaga kesehatan, ratusan pelayanan sosial seperti panti asuhan dan panti jompo.
Tidak mengherankan, dengan kebesaran Muhammadiyah, banyak pengamat internasional menyebutnya sebagai organisasi Islam raksasa terkaya di dunia.
Dengan kegagahan ini, Muhammadiyah menjadi modal sosial potensial yang memiliki nilai tawar strategis yang dapat terkonversi untuk berbagai kepentingan politik, ekonomi, sosial maupun lainnya.
Kekuatan social capital yang dimiliki berimplikasi pada siapa pun yang menjadi nakhoda di Muhammadiyah, secara otomatis akan memiliki posisi tawar dirinya yang kuat karena terdongkrak dari kebesaran organisasinya.
Pada saat modal sosial yang dimiliki semakin meningkat, akan memudahkan bagi pimpinan persyarikatan membuka kemungkinan untuk mengonversi social capital yang dimiliki ke dalam berbagai kepentingan.
Misalnya, memperkuat pengaruh politik, melebarkan jaringan bisnis, akselerasi peningkatkan karir profesional—baik di internal maupun eksternal, serta peningkatan status sosial lainnya.
Incumbent
Logika yang sama, incumbent biasanya akan enggan meninggalkan posisinya untuk melanggengkan kekuatan (power) sosialnya. Mereka tentu menyadari kemungkinan merosotnya popularitas bila meninggalkan baju kebesaran Muhammadiyah.
Inilah kemungkinan lain yang membuat eskalasi politik di internal Muhammadiyah meningkat di setiap momentum permusyawaratan untuk peralihan kepemimpinan.
Suatu spirit yang berupaya mengambil bagian sebagai pemegang kendali persyarikatan dengan segala kemungkinan benefit sosial yang dapat dimanfaatkan.
Di samping dua pendekatan di atas, tentu masih terbuka sejumlah kemungkinan alasan lain yang mendorong kader-kader ikut berlomba menjadi tim lokomotif gerbong Muhammadiyah.
Terlepas dari spirit dalam diri kader, setidaknya dinamika dalam permusyawaratan mengindikasikan bahwa organisasi ini tidak mengalami krisis kader.
Mudah-mudahan perhelatan strategis ini selalu menghasilkan pimpinan kolektif yang kredibel serta berkomitmen pada kelangsungan dan tercapainya tujuan persyarikatan.
Editor Sugeng Purwanto