Umar bin Khattab Mercusuar Islam adalah seri kedua tulisan tentang Khulafaur Rasyidun oleh Nur Cholis Huda, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim. Tulisan pertama berjudul Abu Bakar, Tegas dalam Kelembutan. Seri tulisan Khulafaur Rasyidun terbit tiap Jumat. Redaksi.
PWMU.CO – Umar menjadi khatib Jumat. Dia datang sedikit terlambat. Dia berjalan bergegas dengan memakai jubah bertambal. Sedang di dalamnya kemeja yang agak basah karena baru dicuci. Sebelum naik mimbar dia minta maaf kepada hadirin.
“Saya terhalang karena kemeja ini.”
“Saya menunggu keringnya dulu karena tidak punya kemeja lainnya.”
Suatu hari dia mendapat kiriman makanan dari gubernurnya di Azerbeijan. Lalu dia bertanya kepada utusan yang membawa makanan itu:
“Apakah makanan seperti ini merupakan makanan umum orang-orang di sana?”
“Tidak Amirul Mukminin,” jawab utusan itu. “Makanan ini adalah makanan bagi golongan atas,” katanya.
Mendengar jawaban utusan tadi, tubuh Umar bergetar. “Mana untamu? Bawalah makanan ini. Kembalikan kepada pengirimnya. Dan sampaikan kepadanya bahwa Umar melarang mengisi perutnya dengan satu makanan sebelum kaum Muslim lainnya kenyang terlebih dahulu.” Demikian akhlak Umar dalam kehidupan sehari-hari. (Khulafaur Rasul Khalid Muhammad Khalid).
Sebagai Amirul Mukminin, sebagai penguasa dengan wilayah jazirah membentang luas, tidak ada makanan enak di sana. Tidak ada pakaian indah. Tidak ada karpet merah terbentang, tidak ada berang-barang mewah. Hidup Umar bin Khattab sangat sederhana untuk ukuran seorang penguasa. Bahkan sederhana untuk ukuran kehidupan orang-orang biasa.
Malam-malamnya dihabiskan dengan berkeliling dari kampung ke kampung untuk mengetahui apakah seluruh rakyatnya bisa tidur nyenyak. Dia berjalan dengan diam. Tidak ada pengawalan yang heboh. Dia tidak sedang membangun pencitraan. Dia benar-benar ingin melaksanakan amanah yang dipikulnya. “Bagaimana jawabmu wahai Umar jika Rabbmu bertanya tentang amanah kepemimpinanmu?” Itulah pertanyaan yang selalu berbunyi nyaring dalam hatinya.
“Alangkah susahnya menjadi anak Amirul Mukminin Umar bin Khattab. Jika orang lain bebas berusaha, maka langkah usaha Abdullah dibatasi. Umar sangat hati-hati, jangan sampai keluarganya ada yang memanfaatkan jabatannya sebagai Amirul Mukminin untuk kepentingan pribadi. Maka Umar bertindak sangat ketat.”
Suatu hari Umar ke pasar hewan. Dia senang melihat hewan-hewan di pasar itu sehat dan gemuk. Lalu melihat ada sejumlah onta yang lebih sehat dan gemuk. Umar senang, wajahnya tampak gembira.
“Milik siapa unta-unta ini?” tanya Umar dengan wajah tetap gembira.
Seorang menjawab: “Milik Abdullah.”
“Abdullah siapa?”
“Abdullah bin Umar. Putra Anda.”
Seketika wajah Umar berubah. Dengan suara lantang dia berkata: “Panggil dia. Amirul Mukminin ingin bicara dengan dia.” Umar berkata yang memanggil adalah Amirul Mukminin, bukan ayahnya. Abdullah bin Umar datang dengan tergopoh.
“Hai Abdullah, benarkah unta-unta ini milikmu. Bagaimana akamu bisa punya unta sebagus ini?” Tidak ada senyum di wajah Umar.
“Dulu saya membelinya masih kecil dan kurus. Lalu saya titipkan pada pengembala seperti umumnya orang-orang di sini yang melakukan hal itu….”
“Cukup! Dengarkan perintah Amirul Mukminin,” potong Umar. “Karena mereka tahu kamu putra Amirul Mukminin, maka mereka merawat hewanmu lebih baik dibanding merawat hewan milik yang lain. Hewanmu jadi lebih bagus dan lebih gemuk. Sekarang dengarkan perintah Amirul Mukminin. Jual semua hewanmu, lalu ambil modalmu yang dulu. Selebihnya serahkan kepada Baitul Mal”
Alangkah susahnya menjadi anak Amirul Mukminin Umar bin Khattab. Jika orang lain bebas berusaha, maka langkah usaha Abdullah dibatasi. Umar sangat hati-hati, jangan sampai keluarganya ada yang memanfaatkan jabatannya sebagai Amirul Mukminin untuk kepentingan pribadi. Maka Umar bertindak sangat ketat.
Ini lagi. Apabila Umar akan menetapkan satu peraturan, maka dia kumpulkan keluarga besarnya. Lalu Umar memberitahu akan mengeluarkan ketentuan ini dan ini. “Ingat, jika kalian melanggar maka kalian akan mendapat sanksi dua kali lebih berat dari yang lain. Sanksi pertama karena kalian melakukan pelanggaran. Sanksi kedua, karena kalian keluarga dekat saya yang mestinya harus memberi contoh. Tetapi kalian tidak memberi contoh, malah melanggar.”
Pengganti Umar
Seorang pemuda Persia beragama Majusi, Abu Lu’luah (Firuz) sangat dendam kepada Umar karena negerinya bisa ditaklukkan Umar dengan mudah. Maka dia pindah ke Madinah dengan keahlian sebagai tukang kayu dan pandai besi. Dia tahu setiap Subuh Umar menjadi imam shalat. Dia ikut shalat. Kebiasaan Umar meminta makmum meluruskan shaf.
Ketika Umar tengah membaca surat an-Nahl pada rakaat pertama, dia menusuk Umar dari belakang. Lalu lari melewati shaf-shaf dengan mengayunkan pisau bermata dua. Ada 13 jamaah terkena pisau itu. Tujuh orang meninggal. Seorang jamaah lalu melepas kain penutup kepala dan melemparkan ke wajah sang pembunuh agar mudah diringkus. Merasa dia pasti tertangkap, maka pemuda Persia itu bunuh diri.
“Cukup satu kali saja dari keluarga al-Khattab menjadi khalifah. Dan itu sudah aku jalani. Jangan sebut lagi nama Abdullah bin Umar.”
Umar masih hidup, tidak langsung meninggal . Tapi dia merasa hari-harinya sudah dekat. Maka dia mengumpulkan para Sahabat Nabi yang senior untuk menjadi penggantinya. Mereka adalah Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, dan Saad bin Abi Waqas. Dewan ini diminta memilih khalifah dari salah seorang di antara mereka sendiri. Lalu ada yang mengusulkan nama seorang sahabat besar yang disegani kaum Muslimin karena dia santun, sangat dekat Rasulullah, dan ingin selalu mencontoh beliau.
Misalnya ketika orang ini ingin memberhentikan ontanya di bawah sebuah pohon, dia mengitari pohon itu dua kali sebelum turun dari untanya. Ketika ditanya mengapa itu dilakukan? Dia menjawab karena dia melihat Rasulullah mengitari pohon itu dua kali. Dia ingin meniru persis Rasulullah. Siapakah laki-laki dengan ketaatan yang unik ini?
Dia adalah Abdullah bin Umar, anak Umar bin Khattab. Para sahabat senior itu mengusulkan agar anggota dewan yang ditunjuk Umar ditambah satu orang lagi, yaitu Abdullah bin Umar. Mendengar nama anaknya disebut, Umar dengan suara tegas menolak. “Tidak! Cukup satu kali saja dari keluarga al-Khattab menjadi khalifah. Dan itu sudah aku jalani. Jangan sebut lagi nama Abdullah bin Umar.” Lalu diadakan pemilihan. Ali bin Abi Thalib memilih Usman bin Affan dan Usman memilih Ali bin Abi Thalib. Akhirnya Usman terpilih menjadi khalifah menggantikan Umar bin Khattab.
Sikap Kritis Umar
Umar adalah salah satu Sahabat yang bersikap sangat kritis kepada Rasulullah. Itu karena dia cenderung berpikir rasional. Jika sesuatu tidak cocok dengan akal sehathya, maka spontan dia bereaksi. Seperti terjadi pada perdamaian Hudaibayah.
Rasulullah beserta umat Islam datang ke Mekkah untuk umrah. Mereka tidak membawa senjata karena tidak bermaksud berperang. Ketika Rasulullah dan rombongan sampai di lembah datar Hudaibiyah, orang Quraisy mengirim utusan untuk melihat. Setelah tahu rombongan hanya berniat umrah, tidak membawa senjata, maka datang juru runding Suhail bin Amir. Dia mengatakan untuk sekarang orang Quraisy keberatan umat Islam melakukan umrah. Tahun depan baru boleh. Setelah berbincang agar panjang, Rasulullah setuju. Lalu dibuat perjanjian.
Segera Umar melompat ke depan, berbisik kepada Abu Bakar. “Mengapa kita merendahkan diri dalam agama kepada mereka yang musyrik?” kata Umar setelah tahu Rasulullah setuju tidak umrah tahun ini. Lalu Rasulullah menyuruh Ali menulis perjanjian itu:
“Tulislah dan mulailah dengan Bismillahirrahmanirrahim.”
“Stop!” potong Suhail. “Kami hanya memulai dengan “Bismika Allahumma (dengan nama Engkau ya Allah).” Nabi lalu mengatakan, “Turuti Suhail.”
Lalu Nabi menyuruh Ali menulis: Inilah perjanjian antara Muhammad Rasulullah dengan Suhail bin Amir”.
“Stop!” potong Suhail lagi. “Kalau kami mengakui engkau sebagai rasul pasti kami tidak memerangimu. Tulis: ‘Inilah perjanjian antara Muhamamd bin Abdullah dengan Suhail bin Amir’.”
Umar mendekat Rasulullah dan protes mengapa kita merendah kepada orang Musyrik? Nabi dengan pendek menjawab: “Aku adalah hamba Allah dan Rasulnya. Sekali-kali tidak boleh menentang yang ditetapkan Allah. Dan Allah sekali-kali tidak akan mengecawakan aku.“ Mendengar jawaban Nabi, Umar diam.
Isi perjanjian itu antara lain:
- Umat Islam tahun ini tidak boleh umrah dan baru tahun depan boleh ke Mekkah tapi tidak boleh lebih dari tiga hari di Mekkah.
- Kedua belah pihak mengadakan gencatan senjata selama sepuluh tahun. Selama itu kedua belah pihak terjamin keamanannya.
- Siapa saja boleh bersekutu dengan Muhammad. Siapa saja boleh bersekutu dengan Quraisy. Mereka termasuk bagian dari perjanjian itu.
- Jika ada orang Quraisy melarikan diri ke Muhammad tanpa izin orang Quraisy maka dia harus dikembalikan ke pihak Quraisy. Tapi jika ada ada orang Islam yang ke Mekkah maka tidak boleh dikembalikan ke Muhammad.
Masih banyak kisah inspiratif dari Khalifah Umar. Dia seperti mercusuar yang menyinarkan keindahan Islam sepeninggal Nabi Muhammad. Dia memancarkan keadilan Islam pada tiap orang.
Perjanjian ini dianggap bahwa Nabi kalah total, terutama nomor empat. Namun dua tahun kemudian para sahabat baru merasakan keunggulan diplomasi nabi dan kemenangan justru berada di pihak umat Islam.
Dengan adanya perjanjian itu maka kini orang Quraisy mengakui kedudukan yang setara antara umat Islam dan orang Quraisy. Sebelumnya Nabi beserta pengikutnya dianggap orang pelarian yang layak dikejar. Sekarang tidak lagi. Di mata orang Quraisy kedudukan orang Islam sudah setara. Mereka sudah setaraf.
Berikutnya dengan adanya gencatan 10 tahun tidak akan saling mengganggu, maka Nabi sekarang bisa memusatkan gerakan dakwahnya tanpa ada penghalang dari siapa pun. Sepuluh tahun itu waktu yang cukup panjang. Sedangkan menunda umrah tahun depan bukan persoalan yang membawa kerugian. Bukan waktu yang lama. Apalagi ada jaminan bahwa Nabi dan rombongan pada umrah nanti tidak akan ada gangguan.
Adapun nomor empat yang dianggap kekalahan total Nabi yaitu jika ada orang Islam kembali ke Mekkah tidak boleh diambil, maka bagi Nabi orang itu tidak ada gunanya dalam perjuangan Islam. Biarkan dia kembali pada keyakinan semula. Sedangkan orang Mekkah ke Madinah masuk Islam boleh diambil orang Quraisy dan mereka harus menjemput ke Madinah.
Maka itulah kesempatan bagi Nabi menunjukkan betapa kemajuan Madinah setelah berada dalam naungan Islam. Mereka bisa melihat langsung. Tidak hanya mendengar cerita dari orang. Ini bentuk lain promosi keberhasilan Madinah dengan gratis. Dengan demikian perjanjian itu sepenuhnya kemenangan di tangan nabi.
Masih banyak kisah inspiratif dari Khalifah Umar. Dia seperti mercusuar yang menyinarkan keindahan Islam sepeninggal Nabi Muhammad. Dia memancarkan keadilan Islam pada tiap orang. Memancarkan penguasa dengan kasih sayang dan perhatian luar biasa kepada orang miskin dan lemah. Memancarkan kehidupan penguasa yang sangat sederhana. Apalagi di tengah para raja dinasti lain yang cenderung sebaliknya. Khalifah Umar menjadi sangat menonjol berbeda jauh dengan para raja itu.
Umar bin Khattab mercusuar yang memancarkan keindahan Islam. Islam yang rahmatan lil alamin. (*)
Umar bin Khattab Mercusuar Islam; Editor Mohammad Nurfatoni