SD Mugeb Rawat Komitmen Terapkan Kultur Sekolah Ramah Anak; Liputan Kontributor PWMU.CO Gresik Sayyidah Nuriyah. Editor Mohammad Nurfatoni.
PWMU.CO – SD Muhammadiyah 1 GKB (SD Mugeb) Gresik, Jawa Timur, menghadirkan Bekti Prastyani SPd, Fasilitator Nasional (Fasnas) Sekolah Ramah Anak, di tengah mereka, Selasa (20/12/2022).
Sang Kepala SD Mugeb Mochammad Nor Qomari SSi menyatakan, ini bagian dari upaya SD Mugeb merawat komitmen sebagai Sekolah Ramah Anak (SRA). “Harapannya Sekolah Ramah Anak (SRA) benar-benar menjadi kultur. Kita harus bekerja keras agar kultur itu konsisten menginternalisasi,” ungkapnya di Ruang Meeting pagi itu.
Ari, sapaannya juga bersyukur Fasnas Inspiratif SRA 2020 itu masih mendampingi SD Mugeb dalam membudayakan SRA. “Bu Bekti memang pejuang agar sekolah dan madrasah benar-benar ramah anak. Akreditasi Nasional hanya sekadar hadiah,” imbuhnya.
Dalam pertemuan terbatas itu, Ari pun mengenalkan satu per satu sosok yang hadir. Pertama, Wakil Kepala Sekolah Bidang Pengembangan Pendidikan Rizka Navilah Sari SPd. Dialah yang memastikan kurikulum di SD Mugeb mengedepankan student centered (berpusat pada siswa).
Selain itu, ada dua tim marketing, Nugra Heny Apriliah SPdI dan Ayu SPd. “Merekalah yang selama ini belajar menolak dengan halus ketika menghadapi tingginya permintaan anak sekolah di sini tapi kapasitas daya tampung kami terbatas,” terang Ari.
Ada pula Agus Suprayitno SPd yang berperan mengoordinasi terpenuhinya infrastruktur layanan keamanan dan kesehatan. “Menjadi support system sekolah sehingga SRA berjalan sesuai yang kita rumuskan,” ungkapnya.
Ada pula Nur Hamidah SPd, Wakil Kepala Bidang Pembinaan dan Pembiasaan Karakter. “Beliau yang memastikan bagaimana harapan wali siswa anaknya jadi shaleh terpenuhi,” jelasnya. Terakhir, ada Sayyidah Nuriyah SPsi, konselor dan calon psikolog di sana. Dia mewakili Erna Achmad MPd, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan yang sehari-harinya memastikan segala hal terkait pemenuhan hak siswa, termasuk bagaiaman potensi siswa tersalurkan.
Dalam sambutannya, Bekti menyatakan, “Saya yakin pulang dari SD Mugeb dapat banyak ilmu. Satuan pendidikan ini mampu memberikan pemenuhan hak anak dan mampu memberikan perlindungan khusus bagia anak, termasuk mekanisme pengajuan untuk kepentingan terbaik anak.”
Penuhi Hak Anak Berpendapat
Usai mengecek pemahaman peserta terkait empat hak dasar anak yang wajib terpenuhi–yakni hak hidup, tumbuh kembang, perlindungan, dan berpendapat–dia menekankan betapa pentingnya pemenuhan hak berpendapat. Sebab, bahkan pada anak yang masih dalam kandungan pun, kata Bekti, anak sudah mampu mengemukakan pendapat. Oleh karena itu, ibu perlu berlatih membaca situasi agar dapat memahami pendapat anaknya.
Ibu empat anak ini mencontohkan, “Saat pikiran ibu sedang kacau atau sedang lapar, anak akan menendang-nendang perut. Anak bicara kepada kita tapi melalui sebuah gerakan. Dari gerakan itu anak menyampaikan pesan, Ibu makanlah!”
Begitu pula ketika sang ibu sedang kalut ketika menyusui. “Anak rewel. Biarpun anak baru lahir, berusia tiga hari, dia sudah mampu berbicara, Ibu tenanglah, tatap mataku, lekati aku! Dia mampu mengungkap yang dia butuhkan,” jelas dia.
Begitu pula saat Nabi Ibrahim hendak menyembelih putranya. “Tidak langsung mengeksekusi. Tanya dulu, berdiskusi, apa yang harus aku lakukan?,” ungkapnya menekankan adanya pendapat anak, melibatkan anak di saat mengambil kebijakan.
Komunikasi Bertanya
Dia juga mengajarkan untuk lebih banyak berkomunikasi dengan anak menggunakan kalimat tanya, bukan pernyataan. Fasilitator SRA dengan cakupan daerah terbanyak 2019 itu mencontohkan, “Anak-anak, kalau turun tangga baiknya gimana, ya?”
Dia memahami bagaimana anak biasanya merespon. “Aku ingin segera main ke san!” ujarnya mencontohkan pemikiran anak.
Di sinilah menurutnya peran guru, menyampaikan pendidikan karakter. “Kalau lari akibatnya apa? Nah, kalau kena teman, temannya jatuh,.apa yang terjadi? Ya, temannya sedih. Kalau temannya sedih, kita ikut sedih nggak?” imbuhnya. Kata Bekti, pertanyaan terakhir itu untuk validasi perasaan, sehingga empati anak akan meningkat.
Dengan pendidikan karakter yang memberi ruang anak berpendapat inilah dia yakin pada akhirnya nanti anak-anak mampu menjadi seseorang, bukan robot. “Mereka punya pendapat sehingga bagi mereka, artinya keberadaannya dianggap oleh gurunya,” terang Bekti.
Bekti lantas mengungkap kaitannya dengan karakter anak zaman sekarang. “Anak Generasi Y perjuangan lebih keras dari anak zaman milenial dan generasi Z. Anak kita generasi gadget. Kalau tidak dipenuhi dengan cepat, emosinya labil. Anak sekarang butuh pengakuan keberadaannya,” jelasnya.
Karena itulah, Bekti kembali menekankan, SRA bukan sekadar pemenuhan dokumen dan standar sarpras. “Tapi lebih ke bagaimana pemenuhan hak dasar,” imbuh ibu empat anak itu.
Di ujung pembicaraan mereka, Ari pun langsung mempraktikkan apa yang telah Bekti sampaikan. Kepada satu per satu guru yang hadir di sana, dia menanyakan pendapat masing-masing guru, apakah mereka siap terus berkomitmen memperjuangkan internalisasi kultur SRA di SD Mugeb. Dia bersyukur dan tersenyum lega usai seluruh guru yang hadir menyatakan siap terus mengawal berjalannya kultur SRA itu. (*)