Pencerahan Iman di Akhir Desember oleh Prof Dr H. Tobroni MSi, Guru Besar Universitas Muhammadiyah Malang
PWMU.CO– Surat al-Baqarah: 62
اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَالَّذِيْنَ هَادُوْا وَالنَّصٰرٰى وَالصَّابِــِٕيْنَ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْۚ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Sabi’in, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.
Ayat di atas apabila dipahami secara tekstual atau pemahaman yang dangkal akan melahirkan sikap menyamakan agama-agama. Tren kini disebut paham pluralisme agama.
Muslim, Yahudi, Nasrani, dan Majusi asalkan beriman kepada Allah dan hari akhir dan berbuat amal saleh sama-sama dijanjikan surga yang di dalamnya mereka hidup aman sentausa tidak ada ketakutan dan tidak pula bersedih hati.
Ayat di atas jika dipahami secara tekstual, sekilas dapat melahirkan dua konsekuensi pemahaman teologis.
Pertama, seseorang akan menjadi agnostik yaitu orang yang meragukan keberadaan Tuhan dan kebenaran agama karena tidak dapat dibuktikan secara nalar ilmiah sehingga acuh terhadap agama dan Tuhan serta cenderung kepada ateisme.
Kedua, menganggap semua agama adalah sama (pluralisme).
Kesalahan pemahaman yang mengakibatkan munculnya sikap agnostisisme dan pluralisme agama dalam surat al-Baqarah: 62 disebabkan: pertama, kata hadu, nashara dan shabi’in dipahami secara tekstual sebagai nama agama, yaitu Yahudi, Nasrani dan Shabi’in (Majusi, Hindu dan Budha dll), padahal dalam konteks ayat sebelum dan sesudahnya menggambarkan sebuah kaum yaitu para pengikut Nabi Musa. Yahudi anak keturunan Yahuda, yang disebut juga Bani Israel.
Kedua, kaum liberalis pluralis menafikan periodesasi kerasulan, bahwa Rasul terakhir adalah Muhammad saw yang berfungsi memperbaiki dan menyempurnakan agama-agama sebelumnya serta meluruskan kesalahan-kesalahan akibat ulah manusia yang mengubah-ubah ajaran fundamental kitab suci.
Ketiga, kaum liberalis pluralis menafikan bahwa kerasulan Muhammad saw adalah khatamul anbiya’ wal mursalin, di mana al-Quran dan Islam adalah puncak revolusi agama samawi.
Keempat, mengatakan semua agama itu sama adalah kesalahan dalam memahami fakta dan realita karena agama-agama itu tidak sama. Dilihat dari akidah, ada yang monoteistik (tauhid) dan ada yang politeistik (syirik). Dilihat dari aspek ajaran, peribadatan jelas berbeda. Demikian juga apabila dilihat dari budaya masing-masing agama jelas berbeda-beda.
Penafsiran liberal pluralis terhadap ayat 62 surat al-Baqarah juga menimbulkan bahaya, yaitu pertama, menganggap semua agama sama akan melahirkan nihilisme kebenaran agama, relativisme agama yang pada gilirannya melahirkan sikap agnostisisme agama dan Tuhan.
Kedua, paham liberalisme dan pluralisme agama akan melahirkan sikap bebas dalam beragama termasuk bebas untuk tidak beragama. Ketiga, agama dan umat beragama hanya akan jadi bahan ejekan dan olok-olok yang akan menimbulkan permusuhan dan konflik.
Lalu bagaimana makna sejatinya dari surat al-Baqarah ayat 62 ini?
Pertama, dalam berbagai kitab tafsir menjelaskan ayat ini diturunkan berkenaan dengan Salman al-Farisi. Ketika ia sedang berbincang-bincang dengan Nabi saw, lalu ia menyebutkan perihal teman-teman seagamanya di masa lalu. Ia menceritakan kepada Nabi berita tentang mereka.
Dia bercerita, “Mereka shalat, puasa, dan beriman kepadamu serta bersaksi bahwa kelak engkau akan diutus sebagai seorang nabi.”
Setelah Salman selesai bicara yang mengandung pujian kepada mereka, maka Nabi saw bersabda kepadanya, “Wahai Salman, mereka termasuk ahli neraka.”
Salman pun merasa penasaran dengan jawaban Rasulullah. Lantas turunlah ayat ini.
Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan yang dimaksud dengan Yahudi di ayat tersebut adalah orang-orang yang mengikuti Taurat dan sunnah Musa alaihissalam hingga datang Isa alaihissalam.
Yang dimaksud Nasrani adalah orang-orang yang mengikuti Injil dan syariat Isa alaihissalam hingga datangnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau juga menjelaskan, pengikut Musa yang tidak mengimani dan mengikuti Isa –setelah kedatangan Isa– akan celaka.
Demikian juga pengikut Isa yang tidak mengikuti Muhammad dan syariat yang dibawanya, juga akan celaka.
Tentang Shabi’in, sebagian ahli tafsir berbeda pendapat. Namun semuanya menunjuk pada satu pemahaman bahwa Shabi’in adalah penganut ajaran-ajaran terdahulu sebelum kedatangan Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Statusnya pun sama persis dengan Yahudi dan Nashrani.
Kedua, maksud dari alladżīna amanū adalah orang-orang yang semasa dengan Nabi Muhammad dan beriman kepadanya. Karena itu mereka dibebani perintah sesuai syariat Nabi. Ini dinamakan taklifiyyah.
Yahudi dan Nasrani adalah nama penisbatan sebuah kaum, bukan agama. Karena itu Nabi Ibrahim sendiri dikatakan bukan seorang Yahudi atau Nasrani, melainkan seorang muslim yang lurus.
مَا كَانَ إِبْرَٰهِيمُ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَٰكِن كَانَ حَنِيفًا مُّسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ
Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik. (Ali Imran ayat 67)
Ketiga, menurut pendapat Qurays Shihab, nama Yahudi itu dinisbatkan (dikaitkan) dengan Yahuda, nama anak tertua Ya’qub. Abu Amr ibnul Ala mengatakan, disebut demikian karena mereka selalu bergerak di kala membaca kitab Taurat.
Ketika Nabi Isa diutus, kaum Bani Israil diwajibkan untuk mengikuti dan menaatinya. Sahabat-sahabat Nabi Isa dan pemeluk agamanya dinamakan Nasrani karena mereka saling menolong di antara sesama mereka.
Mereka disebut pula Anshar, seperti yang dikatakan oleh Nabi Isa as dalam firmanNya: “Siapakah yang akan menjadi penolong untuk (menegakkan agama) Allah? Para Hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab, Kamilah penolong-penolong (agama) Allah.” (Ali Imran: 52)
Ketika Allah mengutus Nabi Muhammad sebagai pemungkas para nabi dan rasul kepada semua anak keturunan Adam , maka diwajibkan bagi mereka percaya kepada apa yang disampaikannya, taat kepada perintahnya, dan mencegah diri dari apa yang dilarangnya.
Mereka adalah orang-orang yang beriman sebenar-benarnya. Umat Nabi Muhammad dinamakan kaum mukmin karena banyaknya keimanan mereka dan keyakinan mereka yang sangat kuat, mengingat mereka beriman kepada semua nabi yang terdahulu dan perkara-perkara gaib yang akan datang.
Keempat, turunnya ayat 62 surat al-Baqarah ini menggambarkan sifat belas kasih serta sifat Maha Pengampun Allah swt. Setelah pada ayat sebelumnya dan juga sesudahnya Allah menyebutkan keadaan Bani Israil yang menentang perintah-perintahNya, melanggar larangan-laranganNya, berbuat kelewat batas melebihi dari apa yang diizinkan, serta berani melakukan perkara-perkara yang diharamkan dan akibat azab yang menimpa mereka, maka Allah mengingatkan melalui ayat ini, bahwa barang siapa dari kalangan Yahudi, Nasrani dan Shabi’in yang bertobat, kemudian beriman kepada kepada Allah sebagaimana yang diimani Muhammad saw, serta beramal saleh maka bagi mereka pahala yang baik.
اِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللّٰهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ اَلَّا تَخَافُوْا وَلَا تَحْزَنُوْا وَاَبْشِرُوْا بِالْجَنَّةِ الَّتِيْ كُنْتُمْ تُوْعَدُوْنَ
Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu. (Fushshilat: 30)
Editor Sugeng Purwanto