Di Ponorogo, Gus Pur buka-bukaan alasan tidak mengembalikan formulir pencalonan. Liputan Kontributor PWMU.CO Darul Setiawan.
PWMU.CO – Prof Agus Purwanto Dsc atau biasa dipanggil Gus Pur, mengungkapkan alasannya tidak mengembalikan formulir kesediaan dalam Musywil Ke-16 Ponorogo. Guru Besar Fisika Teori di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) mengatakannya, usai mengikuti Kajian Ahad Pagi Al Manar Universitas Muhammadiyah Ponorogo (Umpo), Ahad (25/12/22).
Gus Pur menyampaikan, pertama karena masih belum banyak ilmuwan yang bidang keilmuannya linier.
“Saya adalah ilmuwan, yang untuk menjadi itu saya benar-benar memperjuangkan. Bidang saya linier, S1 lalu S2 dua kali hingga S3 saya di bidang yang linier di Fisika. Sama seperti ilmunya Einstein, Abdus Salam, dan pemenang Nobel lainnya. Dan itu, di dunia apalagi di Indonesia itu tidak banyak. Di Indonesia timur hanya ada dua, saya dan ada satu lagi di Unhas. Nah, ini kalau saya tinggalkan tidak ada penggantinya,” ujarnya.
Siapa nanti, lanjut dia, yang akan melahirkan doktor-doktor Fisika yang diluluskannya pada Selasa kemarin itu.
“Kan tidak bisa diganti oleh siapapun. Jadi kalau dari sisi keilmuan. Nah, kalau saya masuk (jajaran Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur), saya belum memenuhi kriteria itu, dan posisi saya adalah pembantu. Maka saya merasa, saya harus menyempurnakan ilmu saya. Saya tidak mau menjadi katakan yang belum tuntas,” jelasnya.
Tidak Siap Dicalonkan
Gus Pur yang sejak 2008 menjadi Wakil Ketua di Majelis Tarjih dan Tajid PWM Jatim, itu juga menuturkan, jika ada satu hal lagi yang membuatnya tidak siap untuk dicalonkan.
“Dalam sepuluh tahun terakhir ini saya mengurusi Trensains yang ada di Sragen. Itu proyek riil yang saya tangani. Teman-teman yang lain kayaknya kan nggak punya proyek khusus, yang katakan tanggungjawabnya itu ada pada yang bersangkutan,” imbuhnya.
Pada 2014, sambungnya, dia pernah ditawari orang Muhammadiyah yang dekat dengan Presiden Jokowi untuk mengisi posisi staf di salah satu kementerian di Jakarta. Gus Pur lalu bilang, jika dia baru saja nggarap pondok. Orang tersebut mengatakan, kalau pondoknya digarap dari Jakarta saja.
“Lho ndak bisa, pondok ini harus saya tongkrongi. Saya tidak bisa ngasih bisikan begini-begini. Karena semua pondok ini, seluruh idenya dari saya. ABCD-nya, bahkan tata letak formasi gedung-gedung itu juga memperhatikan kesimetrian dan lain-lain. Itu semuanya dari saya, maka saya tidak bisa jika tidak hadir langsung di Pondok,” kata dia saat itu.
“Mengapa saya tidak mengembalikan formulir, orang kan melihat dengan acuannya sendiri. Saya pun juga mempunyai acuan sendiri. Banyak yang tidak paham, yang dianggap seolah-olah itu hanya pembenaran,” terangnya.
Mencari Ilmuwan di Muhammadiyah
Gus Pur mengatakan, jika kader di Muhammadiyah seperti dirinya juga ada di ITB. Mereka dapat Habibie Awards lalu menjadi Outstanding Scientist.
“Mohon maaf, orang melihat pencapaian saya itu luar biasa, tapi saya pribadi melihat capaian saya menangis, jika mengacu pada teman-teman seangkatan saya. Saya sebenarnya bisa lebih, dengan karya-karya saya. Tapi karena saya harus hidup di dua dunia, yakni di dunia ilmuwan dan dakwah akhirnya saya taruh di Trensains, itulah hasil optimal,” jelas penulis buku Ayat-Ayat Semesta tersebut.
Secara retoris dia lalu bertanya, “Siapa sih ilmuwan yang ada di Muhammadiyah? Yang peduli pada ilmu dan kemudian punya karya ilmu, tolong sebutkan? Termasuk pada tokoh yang paling populer di Muhammadiyah. Kita ini di Indonesia hanya menjadi makelar ide. Ide kan dari luar semua,” tuturnya.
Kalaupun kita punya ilmuwan, kata Gus Pur, ya Cak Nur itu (Nurcholish Madjid) yang punya karya monumental. “Lainnya ya nggak punya. Kita punya universitas Muhammadiyah, tapi kan masih belum ada karya monumental apa-apa. Belum serius bicara tentang ilmu,” paparnya.
Kalau kita melihat lembaga-lembaga pendidikan, sambung dia, katakan seperti di Surabaya, itu kan ada anak-anak yang ditampung, difasilitasi bakatnya supaya bisa berkembang. Tapi harus kita pikirkan dalam jangka panjang.
“Kalau misalnya, anak-anak ini sudah diberi jalan sesuai passionnya, nah kalau ini sudah jadi ilmuwan, apakah nanti langsung ditarik menjadi pengurus Persyarikatan? Kan tidak, kalau memang sudah jadi ilmuwan, maka fasilitasi seperti ada laboratoriumnya. Terhadap gerakan ilmu kita belum serius,” pesannya.
Alat Ukur Kemuhammadiyahan
Sekali lagi, ungkap dia, orang-orang di Muhammadiyah, yang punya kontribusi dalam bimbingan mahasiswa S3 dengan syarat lebih ketat, itu tidak banyak.
“Saya orang yang berprinsip, termasuk pilihan saya tidak mengembalikan formulir. Kalau saya bukan Muhammadiyah minded, ngapain saya susah-susah datang ke Musywil. Wong saya bukan kandidat atau peserta. Meskipun saya bukan dari keluarga Muhammadiyah, tetapi karena saya punya ide, lalu diajak ikut kajian dan cocok dengan ide saya waktu ikut kajian IPM saat SMA,” jelas dia.
Gus Pur lalu berpesan, agar jangan mengukur kemuhammadiyahan seseorang itu dari jabatan struktural di Muhammadiyah. Kalau hal tersebut dilakukan, maka itu akan mempersempit dan mempersulit Muhammadiyah.
“Karena betapa banyak ilmuwan-ilmuwan papan atas itu seorang Muhammadiyah. Saya tahu betul mereka, karena ada yang satu kamar, satu angkatan dan sebagainya. Persoalan ilmu di Muhammadiyah masih belum serius-serius sehingga di PTM Muhammadiyah belum melahirkan sesuatu yang spesifik dari sisi keilmuan,” kata Gus Pur. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.