Guru PPPK, Muhammadiyah, dan Paolo Maldini; Catatan Samsul Hidayat, Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah Barat, Magetan.
PWMU.CO – Program Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) membuat senang dan galau Muhammadiyah. Bagi guru yang ingin memperbaiki nasib, diterima sebagai guru berstatus aparatur sipil negara (ASN), PPPK menjadi harapan buat diri dan keluarganya.
Namun, bagi lembaga Muhammadiyah, hal ini sangat memprihatinkan, bahkan tragis. Pemerintah dengan mudah telah ‘merampok’ guru terbaik yang dimiliki Persyarikatan. Padahal para guru tersebut dibina dan diopeni dari nol. Termasuk sudah ditolong dan dinaikkan derajatnya.
Tidak Cukup Niat Ibadah
Fakta memang menunjukkan bahwa guru sekolah Muhammadiyah ‘relatif lebih baik’ dibanding lainnya. Mereka sudah terbiasa kerja inovatif, kreatif, dan diberi tantangan. Kebiasaan selalu berpikir kreatif dan inovatif itu menjadikan lembaga pendidikan Muhammadiyah mampu bersaing dengan lembaga lain, termasuk milik pemerintah.
Apakah ada yang salah jika guru sekolah Muhammadiyah ikut program PPPK? Jawaban untuk pertanyaan ini bisa ya atau tidak, bergantung sudut pandangnya. Jika Persyarikatan menahannya, apakah Muhammadiyah mampu membayar mereka, sehingga para guru tidak ada niat keluar dari sekolah Muhammadiyah.
Dari sisi guru, sebagai manusia juga kepala rumah tangga, mereka pun ingin hidup layak seperti lainnya. Masalah ekonomi keluarga, anak sakit, keinginan healing bersama keluarga tidak bisa diselesakan cukup dengan slogan jadi guru sekolah Muhammadiyah harus ‘niat ibadah’. Namun permasalahan juga tidak semudah itu, maukah orang tua atau masyarakat membayar infak komite yang ‘berlebih’ agar dapat menyokong gaji guru agar layak?
Sekolah Swasta Aset Bangsa
Jika guru sekolah Muhammadiyah memang tidak dizinkan keluar, maka harus ada langkah konkretnya. Menurut penulis, ada beberapa cara yang masuk akal dan rasional untuk ditempuh. Pertama, sekolah Muhammadiyah harus berani menggaji layak. Konsekuensinya memang para orangtua dan masyarakat juga membayar infak komite layak (baca: mahal).
Orangtua jangan punya pikiran ingin dilayani maksimal, tapi berbiaya murah. Dengan cara ini maka guru Muhammadiyah harus perfect, maksimal, dan sungguh-sungguh ngopeni sekolah. Guru harus terus memberi yang terbaik untuk lembaganya.
Kedua, kader Muhammadiyah di legislatif, organisasi profesi seperti PGRI, IGI, dan lain sebagainya jangan hanya diam. Mereka yang punya kekuasaan harus berani menyuarakan permasalahan PPPK ini kepada pemerintah setempat sesuai levelnya.
Ketiga, Majelis Dikdasmen daerah, wilayah, hingga pusat harus proaktif menyampaikan hal ini kepada pemerintah. Bagaimana caranya? Pimpinan Muhammadiyah setempat agar pandai-pandai melobi pemerintah, agar para guru PPPK dikembalikan ke lembaga awal sebagai guru yang diperbantukan. Bagaimanapun juga sekolah swasta adalah aset bangsa.
The One Man Club
Dengan cara itu, para guru akan berpikir ulang untuk keluar. Mereka akan bangga dan memilih sampai purnatugas di sekolah Muhammadiyah. Sama seperti bangganya John Terry di Chelsea, Paul Scholes di Manchester United, serta Paolo Maldini di AC Milan. Mereka hanya memilih satu klub hingga gantung sepatu sebagai pemain, The One Man Club.
Dalam kondisi apapun, sekolah Muhammadiyah harus tetap optimis. Muhammadiyah sudah berpengalaman mengelola lembaga pendidikan dalam kondisi apapun. Semoga!
Co-Editor Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.