Qoriah Disawer, Penghinaan pada Al-Quran; Oleh Bana Fatahillah Lc; Direktur Ponpes At-Taqwa Depok Tingkat SMP.
PWMU.CO – Kejadian Nadia Hawasyi, Qoriah yang disawer dalam sebuah acara di Pandeglang, Jawa Barat, sangatlah memprihatinkan. Sejumlah ulama telah mengecam perbuatan ini. “Ini cara yang salah dan tak menghormati majelis. Perbuatan haram dan melanggar nilai-nilai kesopanan,” ungkap Cholil Nafis, Ketua MUI di akun Twitternya (@cholilnafis), Kamis, (5/1/2022).
Selain bertentangan dengan nilai masyarakat, ini adalah penghinaan atas al-Quran. Dalam KBBI menyawer artinya meminta uang kepada penonton, atau penonton memberi uang kepada pemain (pada pertunjukan keliling seperti kuda kepang, topeng dan sebagainya).
Pertanyannya, apakah pembacaan Al-Quran sama seperti pertunjukan itu semua yang perlu disorak-soraikan atau dikipas-kipas dengan uang? Jawabannya tentu tidak. Ia adalab kalam Agung. Pemiliknya meminta saat Kalam-Nya dibaca, semua mendengar, memperhatikan dan menyimaknya.
Simak dan Perhatikan Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah perkataan terbaik (ahsan al-hadīts). Allah meminta siapapun untuk menyimak dan memperhatikannya (fastami’ū lahu wa anshitū).
Allah Swt berfirman: “Jika dibacakan al-Qur’an, dengarkanlah (dengan saksama) dan diamlah agar kamu dirahmati” (al-A’raf: 204)
Ada tiga poin penting terkait ayat ini. Pertama, perintah mendengarkan al-Quran berlaku bukan hanya dalam shalat, sebagaimana banyak pendapat mufasir. Menurut Syekh Thantawi dalam tafsir Al-Wasith, perintah ini berlaku kapanpun al-Qur’an dibacakan, baik dalam shalat ataupun di luar.
Kedua, sebagaimana kata Imam Sa’diy, perintah menyimak al-Qur’an berlaku untuk siapapun yang mendengarnya. Ia tidak diperuntukan golongan khusus. Manusia, jin, Muslim, non-Muslim, bahkan siapapun itu diperintahkan untuk mendengarkannya.
Ketiga, lafal yang digunakan oleh Allah bukan sebatas mendengar (sami’a) tapi menyimak (istama’a). Imam Sa’diy mengatakan istama’a adalah mendengar, menghadirkan hati, dan mentadabburi apa yang didengarnya. Begitupun kata “al-inshaat” (wa anshitū) tidak bisa diartikan sebatas diam. Al-Inshāt adalah meninggalkan pembicaraan atau kesibukan apapun kala menyimak sesuatu. Sebab bisa saja seseorang diam, namun masih sibuk dengan kegiatan lainnya.
Perintah ini sangat tegas dan mendalam. Umat muslim perlu meperhatikan dan mengamalkan. Al-Quran itu dibaca, didengar, dan diperhatikan. Bukan diabaikan, dipermainkan apalagi disorak-soraikan.
Keagungan Al-Qur’an
Keagungan al-Quran digambarkan dengan sebuah permisalan yang harus direnungkan. Yaitu, apabila al-Qur’an diterima oleh gunung, maka sungguh ia akan tunduk terpecah belah karena takut kepada Allah.
“Sekiranya Kamu turunkan al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah” (al-Hasyr: 21)
Menurut Imam Alusi ayat ini merupakan perumpamaan atas tingginya kedudukan al-Qur’an dan betapa kuat pengaruhnya. Maksud dari ayat ini ialah hendak mencela manusia atas hatinya yang keras dan sedikitnya kekhusyu’an ketika membaca atau dibacakan al-Qur’an.
Jika gunung yang keras saja bisa tunduk dan terpecah karena keagungan al-Qur’an, maka bagaimana dengan manusia yang diberikan akal dan hati? Apakah ketika dibacakan al-Qur’an ia tetap berpaling dan tidak merasakan kebesarannya?
“Berpikirlah!” Begitu kata Allah seraya mengingatkan hamba-Nya. Sebagaimana penggalan akhir ayat di atas. “Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia agar mereka berpikir.”
Jin dan Ahli Kitab Terdiam dan Menangis
Tidak hanya manusia, jin pun ikut menyimak dan memperhatikan al-Qur’an. Allah berfirman:
“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Telah diwahyukan kepadaku bahwa sekumpulan jin telah mendengarkan (al-Qur’an yang kubaca).” Lalu, mereka berkata, “Kami telah mendengarkan bacaan yang menakjubkan” (Jin: 1)
Bahkan Nabi SAW pernah memberi pujian kepada Jin karena memiliki respek baik ketika beliau membacakan al-Qur’an.
“(Ingatlah) ketika Kami hadapkan kepadamu (Nabi Muhammad) sekelompok jin yang mendengarkan (bacaan) al-Qur’an. Ketika menghadirinya, mereka berkata, “Diamlah!” Ketika (bacaannya) selesai, mereka kembali kepada kaumnya sebagai pemberi peringatan” (al-Ahqaf: 29)
Menurut Imam al-Qurtubi, ayat ini sejatinya adalah celaan bagi orang-orang Kafir Quraisy kala itu. Jika jin tatkala dibacakan al-Qur’an mau menyimak dan beriman, kenapa kalian tidak demikian.
Pertanyaan yang sama mungkin bisa dilontarkan kepada orang muslim yang enggan mendengar al-Qur’an, bahkan melakukan tindakan menyimpang saat dibacakan al-Quran. “Jika jin saja menyimak dan memperhatikan al-Qur’an, kenapa kalian –yang kedudukannya lebih tinggi dari jin—tidak demikian? Apakah kalian lebih hina dari Jin?”
Tidak hanya orang Muslim, para Ahli Kitab yang jujur dengan kebenaran pun ikut mendengarkan al-Qur’an. Bahkan sebagian dari mereka melinangkan air mata dan tunduk saat mendengarnya. Al-Qur’an mengabadikan hal itu, di antaranya:
“Apabila mereka mendengar sesuatu (al-Qur’an) yang diturunkan kepada Rasul (Nabi Muhammad), engkau melihat mata mereka bercucuran air mata disebabkan kebenaran yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri)” (al-Maidah: 83)
Ayat ini menceritakan kisah ahli kitab yang dibawa oleh Jafar bin Abdul Muthallib dari Habasyah. Saat dibacakan al-Qur’an oleh Nabi, air mata mereka bergelinang lalu mereka beriman.
Tidak hanya ahli kitab, para kafir Quraisy dahulu pun terdiam mendengarkan bahkan terpukau saat al-Qur’an dibacakan. Umar bin Khattab dan Walid bin Mughirah adalah contohnya. Namun bedanya yang satu mengikuti kebenaran setelah mendengar al-Qur’an, adapaun yang satu lagi enggan.
Lihatlah bagaimana al-Qur’an mampu menembus hati orang-orang itu. Poinnya bukan karena dia orang arab lantas bisa tersentuh dengan Aal-Qur’an yang berbahasa Arab. Hal itu benar. Namun yang lebih penting, maukah ia mendengarkan al-Qur’an, membuka hati dan menyaksikan dengan sadar perintah Allah. Sebagaimana dalam surat Qaf ayat 37:
“Sesungguhnya pada yang demikian itu pasti terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya dan dia menyaksikan”
Menangislah, Bukan Bersorak-Sorai
Nabi mengajarkan kita menangis saat membaca al-Qur’an. Bahkan jika tidak bisa menangis, maka pura-puralah menangis (fa in lam tabkuu fatabākau). Tidak hanya saat membaca, saat mendengar pun dianjurkan demikian. Suatu hari, Nabi pernah meminta Ibnu Mas’ud membaca al-Qur’an. Saat sampai di ayat 41 dari Surat an-Nisa air mata Nabi pun jatuh bercucuran.
Allah pun berfirman dalam al-Qur’an: “Sesungguhnya orang-orang yang telah diberi pengetahuan sebelumnya, apabila (al-Qur’an) dibacakan kepada mereka, mereka menyungkurkan wajah (dengan) bersujud…. Mereka menyungkurkan wajah seraya menangis dan ia (al-Qur’an) menambah kekhusyukan mereka” (al-Isra: 107&109)
Imam Nawawi dalam kitabnya al-Tibyan berkata: Di antara penghormatan terhadap al-Qur’an, yaitu menghindari tertawa, bersorak-sorai, dan berbincang-boncang ketika al-Qur’an dibaca, kecuali mendesak.
Tidak ada satupun riwayat baik dari Nabi ataupun pewarisnya yang menyuruh kita untuk bersenang-senang, ribut, atau bahkan –naudzubillah—melakukan sawer saat al-Qur’an dibacakan. Jangan sampai Allah Murka karena ayat-ayat-Nya diabaikan apalagi dipermainkan. Jika tidak ingin mendengarkan, sebaiknya diam!
Qoriah Disawer, Penghinaan pada Al-Quran; Editor Mohammad Nurfatoni