Perppu Cipta Kerja: Teori Kuda dan Burung Gereja oleh Mukhaer Pakkanna, Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta.
PWMU.CO– Jumat sore (27/1), saya diajak menjadi narasumber dalam sebuah diskusi Perppu Cipta Kerja. Topik yang saya ketengahkan: Perppu 2/2022: Solusi atau Ilusi?
Mengapa solusi? Karena bisa jadi Perppu ini diklaim menjadi pijakan dalam proses konsolidasi ekonomi untuk menyerap sebanyak-banyaknya lapangan kerja melalui aktivitas ekosistem investasi dan perdagangan.
Ada 10 isu utama dan 1118 halaman dalam dokumen Perppu ini. Sangat lengkap dan isinya mirip dengan UU Cipta Kerja yang dianggap cacat hukum oleh Mahkamah Konstitusi.
Di sisi lain Perppu ini, bisa dianggap sebagai ilusi. Karena fakta-fakta dan indikator ekonomi yang acap dilaporkan pemerintah, justru terkesan semu alias palsu. Terkesan tidak inklusif. Artinya, kinerja ekonomi kurang berdampak bagi mayoritas rakyat.
Alih-alih indikator ekonomi yang dilaporkan baik, ternyata hanya dinikmati elite ekonomi dan politik.
Buktinya tingkat kemiskinan dan ketimpangan makin terdongkrak, cadangan devisa negara malas beranjak naik, kurs rupiah selalu terdepresiasi.
Publik bertanya, ke mana hasil ekspor nikel yang surplus Rp 4.524 triliun pada tahun 2022? Ke mana hasil ekspor batubara dan CPO yang terus menanjak harganya di pasar internasional?
Publik mulai curiga. Jangan-jangan, hasil devisa ekspor “bergentayangan” diparkir di luar negeri, di negeri surga pajak.
Harap diingat, ada contradictio in terminis dalam peluncuran Perppu ini. Di satu sisi, dilaporkan pemerintah, ekonomi Indonesia memiliki imunitas dan resiliensi yang baik, karena konsumsi rumah tangga masih menndukung.
Di lain pihak, ekonomi Indonesia dilaporkan terancam resesi (kegentingan mendesak), karena tensi eskalasi geopolitik global, perang Rusia-Ukraina, peningkatan suku bunga global, inflasi terkerek tinggi, hingga pada soal ketidapastian iklim yang telah mamantik harga pangan dan energi dunia terus mendaki.
Karena Perppu dianggap kewenangan atau subjektivitas presiden, maka Perppu ini dilansir tanpa partisipasi publik. Yang dikhawatirkan, justru Perppu ini memberi karpet merah pada investor tapi abai pada peningkatan kualitas kesejahteraan rakyat.
Tahun lalu saja, investasi hanya mampu menyerap 97.000 orang di tengah laju investasi asing meroket 54 persen.
Saya berharap, kebijakan ekonomi Indonesia tidak seperti yang dianalogikan Jhon K. Galbraith tentang teori kuda dan burung gereja.
Dia menulis, berikan seekor kuda itu makanan yang banyak, supaya remah-remahnya jatuh ke jalan dan dimakan burung gereja. Inilah solusi di tengah ilusi.
Editor Sugeng Purwanto