Peran Ganda Wanita: Saat Terpuruk Jangan Lama-Lama; Liputan Eli Syarifah, Kontribuotor PWMU.CO Gresik.
PWMU.CO – Setiap wanita pasti akan mengalami konflik atau stress karena dia menjalani banyak peran. Yakni sebagai seorang ibu yang mengurus anak, suami, dan rumah. Wanita juga banyak yang bekerja mencari nafkah ataupun aktif dalam berbagai organisasi. Untuk itu para wanita sangat rentan secara psikologis.
Pernyataan itu disampaikan oleh Dr Soerjantini Rahaju MA dalam Semarak Seminar Musyda XI Aisyiyah Kabupaten Gresik di Hall Sang Pencerah Universitas Muhammadiyah Gresik (UMG), Ahad (28/1/2023). Dia membawakan tema Modal Psikologis dan Kerentanan Psikologis Perempuan dalam Beragam Peran.
Menurut Koordinator Akademik Program Studi S3 Psikologi Universitas Surabaya (Ubaya) itu, terkadang wanita berada pada posisi yang serba salah. “Misal saat anak sakit ibu yang disalahkan. Akhirnya di sini salah, di sana salah. Ayo coba lagunya diganti ‘di sini senang, di sana senang’,” kata Soerjantini yang disambut tawa oleh peserta seminar.
Dia menerangkan, dalam mengelola stress hendaknya para wanita melakukan tiga hal ini. Pertama, mengubah cara berpikir dengan tidak menyalahkan diri sendiri. Kedua berfokus pada hikmahnya. Ketiga membuat perencanaan perbaikan.
Menurut dia, ancaman psikologis bagi perempuan yang bekerja terjadi apabila perempuan tidak dapat menjalankan peran domestik dengan baik. Sebaik apapun peran publik maka ia akan dianggap gagal.
“Inilah yang dimaksud dengan beban ganda yang dimiliki oleh perempuan, bahwa bila ingin sukses maka perempuan harus dapat sukses menjalankan kedua peran ganda tersebut,” papar Soerjantini.
Dia lalu memaparkan tanda-tanda psikologi kesejahteraan wanita bermasalah seperti murung, lelah berkelanjutan, kehilangan semangat hidup, kehilangan kendali, dan hidup tidak bermakna.
“Untuk itu wanita perlu bangkit dan menata diri kembali dalam menjalankan peran gandanya tersebut. Saat terpuruk jangan lama-lama,” begitu nasihatnya.
Tingkatkan Resiliensi
Menurutnya perlu resiliensi untuk menjalankan berbagai peran dengan tetap mempertahankan kesejahteraan psikologis diri seorang perempuan. Resiliensi kemampuan seseorang dalam mengatasi, melalui, dan kembali kepada kondisi semula setelah mengalami kejadian yang menekan.
Dia menjelaskan ciri-ciri orang yang resilen. Pertama, mampu untuk mengarahkan diri mencari sumber daya yang dibutuhkan saat mengalami kesulitan atau peristiwa yang penuh tekanan.
Kedua, mampu untuk melakukan negosiasi atau interaksi dengan lingkungan untuk meminta agar sumber daya yang dibutuhkannya tersedia.
Lalu bagaimana cara meningkatkan resiliensi? Soerjantini menerangkan faktor internal (diri sendiri) dengan memelihara efikasi diri serta menghindari sifat pencemas dan sifat perfeksionis yang berlebihan.
Sedangkan dari faktor eksternal yakni dengan melibatkan dukungan sosial dalam penyelesaian masalah.
Yang menarik, saat sesi diskusi, seorang peserta bernama Ida Nursanti dari menyampaikan posisinya sebagai ibu yang mengurus rumah tangga juga bekerja. Dia mengaku terkadang lelah dan berada pada titik jenuh, yakni saat sakit dan dia butuh istirahat.
Menanggapi hal itu, Soerjantini menyuruh peserta yang berada di sebelah Ida untuk memeluknya. Peserta pun terharu. “Iya terkadang pelukan dan penghargaan itu yang kita butuhkan,” ungkap Soerjantini. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni