Tahta untuk Rakyat, Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang Menginspirasi; Kolom oleh Nur Cholis Huda. Tulisan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur 2005-2022 tentang tokor-tokoh Indonesia yang menginspirasi terbit setiap Jumat. Tulisan sebelumnya berjudul: Teladan dari Jenderal Hoegeng, sang Polisi Jujur dan Bung Hatta, Mesin Jahit, dan Rahasia Negara.
PWMU.CO – Sudah menjadi kebisaan, setiap pagi laki-laki itu dengan Jipnya berkeliling kota Yogyakarta. Pagi itu Mbok Bakul Beras yang membutuhkan tumpangan menyetopnya. Jip itu berhenti.
“Naikkan karung-karung itu ya,” perintah Mbok Bakul Beras. Laki-laki itu patuh dan dengan cekatan menaikkan karung-karung berisi beras. Lalu Mbok Bakul Beras duduk di depan berdampingan dengan sopir.
Sampai di tujuan, Pasar Kranggan, mobil berhenti. Sang sopir meloncat turun. Lalu dengan cekatan pula menurunkan karung-karung berisi beras itu. Lalu Mbok Bakul Beras memberi ongkos kepada sopir.
Tetapi dengan senyum sopir itu menolak. Mbok Bakul Beras tersinggung. Marah. “Kurang banyak ya. Memang ongkosnya biasanya segitu.” Sopir itu dengan tetap senyum menuju jipnya. Tidak menghiraukan omelan Mbok Bakul Beras. Lalu pergi dengan Jipnya. Peristiwa itu disaksikan banyak orang pengunjung pasar.
Setelah Jip itu pergi, seorang polisi mendekati Mbok Bakul Beras. “Ibu, tahukah Ibu siapa sopir Jip tadi?”
“Tidak! Sopir ya sopir. Dia bergaya tidak mau terima ongkos. Maunya mungkin minta tambah. Tapi biasanya segitu kok.”
“Tapi apakah Ibu tahu siapa sopir itu?” Polisi itu mengulang pertanyaan. Kalau belum tahu saya beritahu. Sopir tadi adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX.”
“Apa? Sri Sultan?” tanya Mbok Bakul Beras setengah menjerit kaget. Dia gemetar. Lalu berdiri lunglai dan akhirnya pingsan.
Wartawan SK Trimurti menyaksikan kejadian itu. Lalu menulisnya dan dimasukkan dalam bagian buku Tahta untuk Rakyat.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX dikenal Sultan yang merakyat. Meskipun dia seorang Sultan, seorang Raja tetapi kedekatan dengan rakyat selalu dipeliharanya.
Cintanya kepada masyarakat dan bangsanya bisa dilihat dari sikap dan langkahnya sejak masa penjajahan sampai setelah Indonesia merdeka. Ketika Dia dikukuhkan sebagai Sultan, Belanda mengira setelah itu akan mudah disetir dan dikuasai.
Dalam pidato pertama setelah pengukuhan yang dihadiri pembesar Belanda, Sultan menyampaikan dalam bahasa Belanda yang bagus. Tetapi sejak awal pidato sampai akhir tidak ada kata yang menyatakan akan membantu pemerintah Belanda. Sebaliknya dia berjanji akan memerhatikan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Pidato itu tidak memuaskan Belanda. Sultan pada kali lain menegaskan bahwa sekalipun dia bersekolah di sekolah Belanda tetapi dia tetaplah orang Jawa. Maka pikirannya adalah tetap kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia.
Peran pada NKRI
Sultan bersama M. Natsir berjasa besar mengembalikan Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Belanda ingin Indonesia menjadi Negara Persemakmuran. Pada 10 November 1946 diadakan perjanjian Linggarjati.
Salah satu poin dari perjanjian itu ialah RI dan Belanda sepakat membentuk negara bernama Republik Indonesia Serikat (RIS). RIS harus sudah terbentuk sebelum tahun 1949. Ini menjadi syarat Belanda bersedia mengakui keberadaan Indonesia.
Van Mook, wakil Belanda di Indonesia mendekati tokoh-tokoh lokal untuk mendirikan negara bagian. Maka berdirilah banyak negara bagian. Ada Negara Indonesia Timur. Negara Dayak Besar, Banjar, Madura, Jawa Timur, Pasundan, Jawa Tengah, dan lain-lain sampai 16 negara bagian. Hal ini mengandung kerawanan terjadinya perpecahan. Memang itulah yang diinginkan Belanda.
Atas persetujuan Bung Hatta selaku Perdana Menteri RIS, maka M. Natsir bersama Sultan Hamengku Buwono IX melakukan penjajakan kepada rakyat. Hasilnya rakyat sebenarnya ingin bergabung dengan pemerintah pusat. Rakyat ingin negara kesatuan. Bukan negara bagian.
Fakta lapangan yang dihasilkan Moh. Natsir dan Sri Sultan ini disampaikan kepada anggota parlemen dari utusan negara-negara bagian. Dengan pendekatan intensif yang dilakukan M. Natsir maka akhirnya mereka setuju ketika M. Natsir akan menyampaikan pidato penting. Pada 3 April 1950 di depan sidang pleno parlemen RIS, Natsir menyampaikan pidato bertajuk Pembentukan Negara Kesatuan. Kemudian lebih dikenal dengan Mosi Integral Moh. Natsir.
Setelah adanya Mosi Integral Moh. Natsir itu, maka pada HUT RI kelima tahun 1950 Bung Karno selaku Presiden mengumumkan lahirnya NKRI. Dalam pidatonya Bung Karno menyatakan: “Hari ini 17 Agustus 1950 berdirilah kita sudah atas bumi negara kesatuan. Tidak lagi mengenal negara bagian. Tidak mengenal RIS melainkan hanya mengenal satu Republik Indonesia saja, dengan satu daerahnya, satu undang-undang dasarnya dan satu pemerintahannya.” Ada yang mengatakan ini semacam proklamasi Indonesia yang kedua.
Begitulah Sri Sultan. Selalu terlibat aktif dalam perjalanan republik ini. Tidak pernah absen. Selalu hadir dalam semua peristiwa. Selalu ambil bagian dalam momen-momen penting perjalanan negeri ini. Tapi semuanya bukan untuk membesarkan kerajaan atau keraton tetapi untuk republik tercinta. Untuk masyarakat. Tahta Sultan tahta untuk rakyat. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni