Tragedi Mahkamah Konstitusi M. Din Syamsuddin, Pemrakarsa Jihad Konstitusi
PWMU.CO– Seandainya tuduhan seorang pengacara bahwa Mahkamah Konstitusi mengubah keputusannya sendiri dari apa yang dibacakan pada persidangan dengan apa yang disiarkan di website terbukti, maka itu merupakan tragedi.
Bahkan nestapa penegakan hukum di negeri yang berdasarkan hukum, Indonesia. Benteng teratas dan terakhir penegakan hukum melanggar hukum itu sendiri.
Seperti diberitakan sembilan hakim MK dilaporkan oleh Zico Leonard Djagardo Simanjuntak ke Polda Metro Jaya. Zico menduga ada individu hakim sengaja mengubah substansi putusan sebelum di-publish di website MK.
Zico tak terima karena menjadi penggugat di Putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022 tentang pencopotan hakim Aswanto. Dia melaporkan sembilan hakim konstitusi, satu panitera, dan satu panitera pengganti ke Polda Metro Jaya atas dugaan pemalsuan surat.
Ada dugaan tindak pidana pemalsuan dan menggunakan surat palsu. Antara salinan putusan, risalah sidang, putusan yang dibacakan dalam persidangan terdapat frasa atau substansi yang sengaja diubah. Bunyi awalnya dengan ‘demikian’ kemudian diganti ‘ke depan’.
Saya sendiri sudah lama kehilangan kepercayaan terhadap Mahkamah Konstitusi. Keputusan MK tentang gugatan terhadap hasil Pemilihan Presiden 2019 mengusik rasa keadilan karena bukti-bukti pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif tidak didalami apalagi dalam konteks sifat Pemilu/Pilpres jujur dan adil. Meninggalnya 700-an petugas TPS tidak disentuh dan dijadikan pertimbangan.
Sikap Mahkamah Konstitusi terhadap permohonan judicial review oleh PP Muhammadiyah terhadap tiga undang-undang, UU No. 24/1999 tenteng Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, UU No. 30/2009 tentang Tenaga Kelistrikan, dan UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang merugikan negara dimanipulasi oleh MK.
Dikatakan dimanipulasi karena pendaftaran judicial review ketiga undang-undang tersebut pada tahun 2014 dinyatakan kemudian oleh MK tidak ada. Tidak terdaftar sehingga tidak dibahas. Hal ini bertentangan dengan kenyataan
Pertama, Tim Advokat PP Muhammadiyah waktu itu nyata-nyata dan terbukti di depan mata saya sendiri melakukan pendaftaran di loket MK.
Kedua, Ketua MK waktu itu Prof Dr Arief Hidayat SH MH bahkan menyilakan kami pada hari pendaftaran melakukan konferensi pers di ruang MK. Tapi sekitar setahun kemudian dia menyampaikan kepada saya bahwa pendaftaran gugatan tidak ada.
Kami sudah menyimpan kecurigaan bahwa gugatan PP Muhammadiyah tersebut tidak akan dibahas. Info itu kami peroleh saat PP Muhammadiyah beberapa waktu kemudian beraudiensi kepada Presiden Joko Widodo di Istana Negara jelang Muktamar Muhammadiyah 2015.
Ketika kami menyampaikan perihal gugatan terhadap ketiga undang-undang tersebut, Presiden Joko Widodo yang menerima kami dengan seragam militer mengatakan,”Gugatan terhadap tiga undang-undang tersebut tidak tepat waktu.”
Pernyataan tersebut menimbulkan kecurigaan bahwa pemerintah intervensi terhadap penegakan hukum. Terbukti kemudian MK tidak cukup mandiri dengan tidak memproses gugatan PP Muhammadiyah. Bahkan berbohong dengan mengatakan tidak ada pendaftaran gugatan tersebut.
Kedua fakta di atas, gugatan pengacara tentang pengubahan frasa dalam keputusan dan kesaksian saya sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah 2005-2015, membawa kesimpulan dan dugaan bahwa MK gagal menjadi penegak hukum tertinggi dan terakhir.
Jika ini berlanjut terutama dalam penetapan hal strategis semisal tentang Pemilu dan Pilpres maka akan menimbulkan kerusakan legal struktural, yang potensial membawa malapetaka dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia.
Kendati demikian, saya tidak sepakat jika dilakukan generalisasi terhadap segenap hakim Mahkamah Konstitusi. Karena saya mengetahui ada hakim MK yang berintegritas, yang tidak hubbud dunya wa karahiyyatul maut, cinta dunia dan takut mati. Mereka menyadari ada Hakim Tertinggi. Ahkamul Hakimin di Hari Pembalasan nanti.
Editor Sugeng Purwanto