Menyikapi Gempa di Turkiye; Oleh M. Arfan Mu’ammar; Dosen Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya.
PWMU.CO – Seringkali ketika kita mendengar sebuah musibah yang menimpa saudara, teman, atau musibah yang menimpa sebuah kota atau negara, lantas buru-buru kita menyimpulkan bahwa itu adalah azab dari Allah SWT. Apalagi jika musibah itu mengenai sebuah daerah yang menjadi pusat kemaksiatan, maka tuduhan musibah sebagai azab akan cepat menyebar ke telinga semua orang.
Akan tetapi, jika musibah itu menimpa pada daerah yang banyak di dalamnya umat Islam, banyak di dalamnya orang-orang shaleh yang mengerjakan amal kebaikan, apakah kita akan mengatakan hal yang sama? Lalu bagaimana kita menyikapi musibah yang datang silih berganti ini, khususnya peristiwa gempa dahsyat yang terjadi di Turkiye Senin 6 Februari 2023 lalu?
Sebuah musibah yang menimpa saudara, teman, atau musibah yang menimpa sebuah kota atau negara atau bahkan menimpa diri kita sendiri, dapat kita maknai menjadi sebuah: azab, ibtila’, indzar dan ibrah. Kita harus bijak dalam menentukan atau menjustifikasi terkait musibah yang terjadi tersebut, apakah ia sebuah azab, ataukah ibtila’ ataukah indzar atau ibrah. Mari kita bahas satu persatu.
Kapan Musibah sebagai Azab?
Kapan musibah itu disebut sebagai sebuah azab? Tentu ketika seseorang itu sedang berbuat maksiat kepada Allah SWT, lalu tiba-tiba datang gempa yang dahsyat sehingga menyebabkan ia meninggalkan dunia, maka ia meninggal dalam su’ul khatimah, karena sedang bermaksiat.
Tetapi azab yang berupa bencana tadi bisa saja mengenai orang-orang yang shaleh dan baik, yang sedang mengerjakan kebaikan, maka Allah SWT sudah mengingatkan kita agar berhati-hati dari azab itu: Peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah Mahakeras hukuman-Nya (al-Anfal 25).
“Musibah yang menimpa orang-orang beriman adalah sebuah cara bagaimana Allah SWT meninggikan derajat mereka.”
Lantas apakah ketika kita sudah beriman, orang-orang di sekitar kita juga sudah beramal shaleh, apakah dapat membuat jaminan bahwa musibah tidak menimpa kita? Tentu saja tidak, sebagaimana firman Allah SWT: Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan (hanya dengan) berkata, “Kami telah beriman, sedangkan mereka tidak diuji? (al-Ankabut 2) Allah SWT juga berfirman: Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan, dan diguncang (dengan berbagai cobaan) sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, “Kapankah datang pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat (al-Baqarah 214).
Justru musibah yang menimpa orang-orang beriman adalah sebuah cara bagaimana Allah SWT meninggikan derajat mereka, saat itulah musibah disebut sebagai sebuah ibtila’ atau ujian. Ketika orang-orang beriman mendapatkan musibah, kemudian mereka bersabar, maka Allah SWT akan memberikan pahala kepada mereka tanpa batas: sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa perhitungan (az-Zumar 10).
Kalau bagi orang-orang yang tidak beriman, nikmat itu menguntungkan, sedangkan musibah itu merugikan. Akan tetapi, itu tidak berlaku untuk orang-orang beriman. Bagi orang-orang beriman, musibah ataupun nikmat keduanya sama-sama menguntungkan, sebagaimana sabda Rasulullah saw: Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya (HR Muslim, No 2999).
Penjelasan di atas merupakan sebuah musibah yang langsung mengenai kita atau sebenarnya untuk orang lain, tetapi karena kita berada di kota tersebut, maka kita terkena imbasnya. Lalu bagaimana jika musibah itu terjadi jauh di luar sana, seperti yang terjadi di Turkiye?
Musibah sebagai Peringatan
Jika ada sebuah musibah yang tidak langsung tertuju pada kita, maka itu bisa dikategorikan sebagai sebuah indzar atau peringatan. Indzar juga bisa dimaknai sebagai suatu musibah yang akan menimpa kita, kalau kita tidak melaksanakan sesuatu yang diperintahkan. Allah SWT berfirman: Jika mereka berpaling maka katakanlah: Aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum ‘Aad dan Tsamud (Fussilat 13).
Hampir sama dengan indzar, ibrah juga tidak langsung mengenai kita atau sesuatu musibah yang sudah terjadi di masa lalu seperti banjir bandangnya kaum saba’ (Saba 15-16), banjir besar yang menimpah kaum Nuh (al-Ankabut 14), dan petir yang menimpa kaum ‘Aad dan Tsamud (Fussilat 13).
Namun untuk ibrah ini, penekanannya agar kita sebagai umat manusia mengambil pelajaran dari kejadian yang sudah terjadi tersebut. peristiwa itu sengaja diabadikan oleh Allah SWT dalam al-Qur’an agar umat saat ini dan umat yang akan datang mampu mengambil ibrah atau pelajaran dari peristiwa tersebut.
Begitu juga dengan peristiwa yang terjadi saat ini, yang tidak langsung kita rasakan, tetapi dirasakan oleh saudara-saudara kita di Turkiye, mungkin itu adalah ibtila’ bagi mereka yang tertimpa. Tetapi bagi kita, hal itu adalah ibrah agar kita bisa mengambil pelajaran dari musibah itu.
“Dapat disimpulkan bahwa ketika musibah itu menimpa kita secara langsung, maka musibah itu bisa dikategorikan azab atau ibtilah (ujian).”
Ketika ibrah itu kita lakukan, maka tentu pelibatan akal menjadi sebuah keniscayaan, sehingga kemudian lahirlah teknologi atau alat peringatan dini terjadinya tsunami, sehingga alat tersebut bisa memperingatkan sekian menit sebelum terjadi tsunami, supaya orang-orang di sekitar menyelamatkan diri dengan naik ke tempat yang lebih tinggi. Memang manusia tidak bisa mencegah tsunami, tetapi setidaknya meminimalisasi korban akibat tsunami.
Begitu juga dengan musibah gempa. Dengan adanya gempa, akhirnya manusia melakukan riset, bagaimana membangun sebuah bangunan yang tahan gempa, manusia akan merancang pondasi yang khusus dapat menahan gempa, agar bangunan tidak roboh, maka berdirilah rumah-rumah anti gempa dan gedung-gedung anti gempa.
Dari empat kategori di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ketika musibah itu menimpa kita secara langsung, maka musibah itu bisa dikategorikan azab atau ibtilah (ujian). Azab bagi mereka pelaku maksiat dan juga bisa mengena orang-orang beriman karena meninggalkan amar makruf nahi munkar, sedangkan musibah berkategori sebagai ujian, diberikan kepada orang-orang mukmin untuk menaikkan derajat.
Namun, jika musibah itu tidak langsung mengenai kita atau terjadi pada masa lalu, maka musibah itu sebagai indzar (peringatan) atau ibrah (pelajaran). Sehingga kita sebagai orang beriman dapat dengan bijak mengategorikan sebuah musibah yang terjadi, apakah itu azab, ibtila’, inzar atau ibrah.
Yang jelas, terkait gempa di Turkiye, karena musibah itu tidak langsung mengenai kita, maka musibah itu bisa menjadi indzar (peringatan) atau ibrah (pelajaran) bagi kita, khususnya warga Indonesia, karena Indonesia juga merupakan negara yang rawan ditimpa oleh gempa. Wallahu a’lam bi ashawab. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni