Politik Identitas Antara Stabilitas Politik dan Simbol Solidaritas; Oleh Miftahul Ilmi, Redaktur Majalah Matan.
PWMU.CO – Ramainya isu politik identitas—terutama menjelang tahun politik 2024—menjadi perhatian majalah Matan yang terbit di Surabaya. Berikut cuplikan Laporan Utama edisi Februari 2023:
Belakangan ini kerap muncul istilah politik identitas dalam berbagai wacana politik, seperti dalam pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo, seminar, dan artikel politik kontemporer Indonesia. Ada apa? Apalagi di tahun 2023 sekarang ini suhu politik makin hangat. Maklum, mendekati Pemilu 14 Februari 2024. Tak berlebihan tahun ini disebut Tahun Politik.
Dalam proses itu banyak keprihatinan dan kekhawatiran mengemuka. Munculnya kembali politik identitas yang sangat kental seperti jelang Pilkada Gubernur DKI 2017 yang dimenangkan Anies Baswedan. Juga sebelum dan selama Pilpres 2019 yang menghadap-hadapkan duel maut Joko Widodo melawan Prabowo Subianto, Meski gawe politik akbar yang terakhir itu lebih pada afiliasi ketimbang substansi politik.
Tak kurang Ketua Bawaslu Rahmat Bagja memprediksi politik identitas dapat menjadi tren pelanggaran yang semakin marak digunakan dalam pesta demokrasi. Bagja melihat faktor penyebab politik identitas, yaitu adanya pemahaman yang belum tuntas soal menjaga toleransi dan eksistensi tiap identitas dalam ruang politik di NKRI.
“Ada kecerobohan atau kesengajaan individu atau politikus tertentu dalam berkomunikasi yang menyinggung psikologi massa serta terakhir faktor media (mainstream dan media sosial) Prediksi kami yang paling besar ke depan, politik identitas akan dipakai sebagai serangan terhadap parpol atau kepentingan politik tertentu,” terangnya dalam Seminar Nasional Lemhannas RI tentang Tantangan Pemilu 2024 awal tahun ini.
Untuk menekan masifnya politik identitas, Bawaslu tengah siapkan beberapa strategi. Di antaranya, pendekatan kelompok masyarakat, menyiapkan buku ceramah enam agama yang berhubungan pemilu dan menolak politisasi SARA, intellegence media management, dan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP). “Politik identitas dieksploitasi dan dikapitalisasi oleh elit seperti konsultan politik, anggota parpol, tim sukses, elit ormas dengan bentuk penyebaran isu, hoax dan politik identitas. Ini konsen kita bersama,” tegasnya.
Menurutnya pidato politik dapat digunakan partai politik dengan cara menebar isu SARA. Berdasarkan pengalaman pemilu yang sebelumnya, ditemukan kasus penyebaran ujaran kebencian di rumah ibadah, sehingga terjadi polarisasi pada tokoh agama. “Kami berharap masyarakat bisa merayakan perbedaan dan menjadikannya suatu potensi dalam pembangunan demokrasi. Media sosial harus kita anggap pemersatu dalam hal yang positif,” tutupnya.
Tidak Hanya Identitas Agama
Demikian pentingnya telaah ini sampai Presiden Jokowi beberapa kali mengingatkan fenomena ini. Ia tak ingin masyarakat jadi korban politik identitas. “Masalah stabilitas politik dan keamanan menuju pada Pemilu 2024, saya minta betul-betul saudara-saudara bisa menjaga situasi kondusif. Menjaga agar masyarakat kita tidak menjadi korban politik. Namanya politik identitas,” kata Jokowi dalam arahannya pada acara Rakornas Kepala Daerah dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Se-Indonesia, di Sentul, Bogor, Jawa Barat, Selasa (17/1/2023).
Dia menekankan semua pihak harus betul-betul memiliki sensitivitas di tahun politik serta sering turun ke lapangan, sehingga kejadian-kejadian kecil bisa segera diredakan. Dia mengingatkan agar aparat TNI dan Polri tidak terlibat dalam politik praktis, serta meminta kepala dan pimpinan daerah memetakan potensi kerawanan pemilu “Jangan pas kejadian baru kita pontang-panting sibuk ke sana ke sini. Salah siapa ini? Salah siapa ini? Saya titip betul masalah ini,” kata Jokowi pula.
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Haedar Nashir berpandangan, politik identitas sejatinya bukan masalah karena setiap orang atau kelompok terikat identitas mengikuti hukum homo sapiens. Masalah terjadi jika politik identitas berdasarkan SARA disalahgunakan dengan cara dan paham radikal-ekstrem.
Pro dan antipolitik identitas pun, kata Haedar, bahkan menjadi benih pertengkaran baru sesama anak bangsa yang muaranya saling membelah. Maka, Guru Besar Sosiologi UM Yogyakarta itu menegaskan, jika ingin persatuan Indonesia, maka diperlukan sikap moderat dan moderasi dalam bernegara.
Sikap itu dibutuhkan seluruh warga dan golongan. Politik menjadi salah satu pilar pemersatu, bukan malah menjadi penyebab pecah belah. Politik penting diletakkan di atas jiwa kerakyatan. “Yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan sebagaimana nilai sila keempat Pancasila,” ujarnya.
Ia juga mengungkapkan, tidak bisa dipungkiri bahwa fakta sejarah menunjukkan bangsa Indonesia sebagai negara yang majemuk baik dalam aspek agama, suku, ras, maupun golongan. Kemajemukan itu kemudian dibungkus dengan semboyan pemersatu bangsa, Bhinneka Tunggal Ika. “Berbeda-beda tapi satu, serta satu dalam keberbedaan. Dengan jiwa Bhinneka Tunggal Ika itulah bangsa Indonesia memiliki daya hidup untuk tetap bersatu dalam keragaman, meski proses yang dijalani sarat suka dan duka,” kata Haedar, Jumat (28/10/2022).
Terkait kegaduhan politik yang mengancam persatuan, menurut Haedar, tidak ada yang salah dengan pilihan politik. Namun, malah sebaliknya, perbedaan pilihan politik merupakan tanda hidupnya demokrasi dan kebinekaan berbangsa bernegara. Namun, dia mengingatkan, perbedaan politik akan menjadi masalah bila disertai sikap pemutlakan menang-kalah, timbulkan sikap politik yang keras dan ekstrem. Pada titik inilah, politik menjadi virus pemecah dan bukan pemersatu bangsa.
Kokohkan Solidaritas dan Motivasi
Pandangan senada disampaikan Anggota DPR RI Komisi X Prof Zainuddin Maliki yang menilai bahwa dalam politik sebenarnya tidak ada kelompok yang bisa lepas dari pembentukan identitas, karena identitas dibutuhkan untuk mengokohkan solidaritas dan motivasi sebuah gerakan. “Rezim yang tengah memegang kekuasaan, pejuang politik kebangsaan maupun kelompok yang termarjinalisasikan, mereka semua pasti berusaha membangun identitasnya secara spesifik. Mereka ambil simbol dari ras, gender dan yang paling sublim tentu saja adalah simbol-simbol keagamaan,” tandasnya.
Menurut anggota Fraksi PAN ini, identitas itu diformulasi dalam berbagai bentuk seperti warna, jargon, atribut, cara membuka dan menutup pidato hingga pilihan isu, tokoh dan atau pemimpin politiknya. Di negara-negara maju, kelompok yang terpinggirkan seperti gerakan Afro-Amerika menggunakan politik identitas guna memperkuat solidaritas dan melakukan perlawanan terhadap kekuasaan. “Oleh karena itu di negara kita ada yang khawatir jika politik identitas digunakan sebagai alat melakukan perlawanan terhadap mereka yang diuntungkan kekuasaan,” ungkap wakil rakyat dari Dapil Lamongan-Gresik itu.
Lalu bagaimana seharusnya Muhammadiyah menyikapi adanya politik identitas ini? Selengkapnya baca di majalah Matan edisi Februari 2023. Info pemesanan ke nomoe WhatsApp 08813109662 (Oki). (*)
Editor Mohammad Nurfatoni