Darurat Kekerasan di Dunia Pendidikan; Oleh: Ir Hudiyo Firmanto MSc PhD, dosen Universitas Surabaya (Ubaya) dan pemerhati masalah sosial-kemasyarakatan
PWMU.CO – Kekerasan di dunia pendidikan di Indonesia kembali terjadi. Ahad lalu, (5/2/2023) mahasiswa Politeknik (Poltek) Pelayaran Surabaya meninggal dunia di asramanya (https://jatimnow.com). Penyebabnya diduga akibat tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seniornya. Polisi pun turun tangan.
Ini adalah kabar yang menyedihkan. Kita bisa membayangkan, harapan orang tua ketika menyekolahkan buah hatinya ke Poltek Pelayaran. Tentu mereka berharap anaknya lulus. Mendapatkan keahlian dan pekerjaan untuk kehidupannya. Sedihnya, harapan itu berujung kepada hilangnya nyawa putranya.
Kasus kekerasan di perguruan tinggi kedinasan seperti poltek pelayaran sudah sering terjadi. Sebelumnya, pada tahun 2021, mahasiswa Politeknik Ilmu Pelayaran Semarang juga mengalami hal yang sama, meninggal karena dikeroyok oleh seniornya (https://news.detik.com/). Tidak hanya di pendidikan pelayaran, kematian mahasiswa akibat kekerasan seniornya juga terjadi di Akademi Teknik dan Keselamatan Penerbangan (ATKP), Makassar pada tahun 2019 (https://www.bbc.com). Deretan contoh ini pasti akan bertambah kalau kita mencarinya dari berbagai situs berita.
Umumnya kekerasan dilakukan oleh senior kepada juniornya di asrama kampus. Hubungan junior dan senior di perguruan tinggi kedinasan sepertinya mengadopsi budaya pendidikan militer. Dengan budaya seperti ini, maka senior merasa berhak untuk membina para yuniornya. Pihak kampus tampaknya juga melakukan pembiaran dan merestui mahasiswa untuk terlibat di dalam pengasuhan pada juniornya.
Kondisi ini juga berlangsung di asrama yang minim pengawasan dari pihak kampus. Alih-alih terjadi proses pendidikan, yang berlangsung justru dominasi senior ke yunior secara berlebihan dan mengarah ke perundungan (bullying) disertai tindak kekerasan. Interaksi senior dan yunior seperti ini berlangsung sepanjang hari di luar perkuliahan karena umumnya mahasiswa tinggal di asrama.
Peristiwa pembunuhan orang yang tidak berdosa adalah peristiwa yang luar biasa. Allah mengatakan bahwa membunuh satu jiwa yang tidak berdosa sama dengan membunuh seluruh manusia. “Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya,” (al-Qur’an, Surat al-Maidah ayat 32). Terlebih lagi ini terjadi di dunia pendidikan.
Anda mungkin mengira bahwa kekerasan atau perundungan siswa yunior oleh seniornya hanya terjadi di sekolah-sekolah kedinasan yang menerapkan gaya semi militer. Anda keliru. Budaya dominasi senior atas yuniornya terjadi hampir di semua jenis dan jenjang pendidikan. Di perguruan tinggi negeri umum, dominasi dan intimidasi senior terhadap yunior terus terjadi, terutama kepada mahasiswa baru. Hukuman-hukuman verbal, bahkan juga hukuman fisik sering diberikan oleh mahasiswa senior kepada mahasiswa baru.
Di kebanyakan perguruan-perguruan tinggi umum, baik negeri atau juga swasta, terdapat tradisi yang sewarna di dalam memperlakukan mahasiswa baru, meskipun teknisnya berbeda. Nuansanya penuh dominasi senior kepada yunior. Suasana ini sangat mudah berkembang kepada perundungan. Praktik ini telah berlangsung sejak era orde baru sampai jaman milenial saat ini.
Kekerasan di Pesantren dan FK
Tidak hanya di pendidikan tinggi kedinasan dan pendidikan umum, kasus kekerasan yang mengakibatkan siswa meninggal juga terjadi di pesantren. Di lembaga belajar agama yang mestinya penuh dengan nilai-nilai kasih sayang, sebagaimana Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin, kasus perundungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa juga terjadi. Mirisnya, korban dan pelakunya masih jauh dari usia dewasa. Di Sragen, santri berusia lima belas tahun, meninggal usai dianiaya oleh kakak kelasnya yang berusia enam belas tahun (https://www.detik.com).
Di Grobogan, Jawa Tengah, seorang santri MTs berusia empat belas tahun, meninggal di pondok akibat berkelahi dengan temannya yang berusia tiga belas tahun (https://www.detik.com). Bahkan yang tragis, di Pasuruan, bulan Januari lalu, seorang santri berusia tiga belas tahun, tewas dibakar oleh seniornya yang berusia enam belas tahun.
Jika kita beranggapan mungkin itu terjadi di pesantren-pesantren kecil, di daerah, dengan pengelolaan yang tidak maju, maka anggapan itu juga keliru. Tahun lalu, seorang santri meninggal akibat dianiaya oleh seniornya di salah satu pondok pesantren di Jawa Timur yang terkenal, menghasilkan alumni-alumni yang hebat, kaliber internasional. Ini adalah bukti bahwa pengalaman dan nama besar lembaga tidak juga bisa mencegah kejadian yang menyedihkan ini.
Kita juga bisa menduga bahwa praktik-praktik seperti itu terjadi karena lemahnya nalar, rendahnya derajat intelektual. Mungkin pandangan itu betul, tetapi Anda pasti kaget kalau ternyata praktik perundungan mahasiswa junior oleh senior juga terjadi di pendidikan kedokteran (https://www.viva.co.id). Lebih tepatnya Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Beranikah kita mengatakan bahwa mahasiswa-mahasiswa PPDS itu lemah nalar atau rendah intelektualitasnya? Mereka adalah para dokter, yang sudah berpraktik sebelum melanjutkan studi di PPDS. Profesi yang sangat mulia, dengan status sosial yang maha tinggi, tetapi masih menjalankan tradisi yang terbelakang.
Langkah Mendasar
Kisah-kisah di atas menunjukkan bahwa keadaan darurat kekerasan telah terjadi di dunia pendidikan kita, di berbagai lini. Seharusnya, orang merasa aman berada di lingkungan belajar, tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Ancaman perundungan, kekerasan, bahkan potensi hilangnya nyawa dihadapi oleh peserta didik di berbagai jenis dan jenjang pendidikan. Biasanya kasus-kasus yang terjadi, akan selesai di pengadilan, dengan menghukum pelaku kekerasan.
Pihak lembaga akan sibuk memberikan alibi, seolah-olah kesalahan hanya terjadi pada pelaku, bukan pada institusi. Upaya pertahanan diri seperti ini biasanya menghilangkan usaha untuk melakukan langkah yang mendasar dan menyeluruh untuk mencegah pengulangan kejadian. Terbukti, di beberapa lembaga, kasus semacam ini berulang lagi.
Kejadian yang terus berulang menunjukkan ketidakseriusan pihak-pihak yang berwenang untuk menghentikan masalah ini. Untuk menimbulkan efek jera, selain tindakan hukum kepada para pelakunya, sangsi juga harus diberikan kepada pihak kampus yang bertanggungjawab terhadap proses pendidikan, keamanan, dan keselamatan warganya.
Pemerintah sebagai regulator, apakah itu Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Kementerian Agama (yang membina lembaga pendidikan berbasis keagamaan), atau Kementerian lain yang juga mengelola perguruan tinggi kedinasan, terkesan tidak menunjukkan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap masalah ini. Setidaknya, belum terdengar langkah yang terencana secara khusus untuk menghentikan praktik-praktik kekerasan di lembaga pendidikan.
Apa sebabnya, mengapa itu bisa terjadi, tentu bisa dianalisis dari berbagai sudut pandang, apakah dari sisi sosiologis, aspek psikologis, nilai-nilai pendidikan, atau mungkin unsur-unsur manajemen pendidikan. Banyak pakar yang bisa menganalisisnya. Yang jelas, di dunia pendidikan Indonesia, telah terjadi darurat kekerasan. Pemerintah, sebagai regulator, adalah pihak yang mempunyai kuasa, sehingga mampu mencegah kejahatan dengan tangannya, dengan kebijakannya.
Seyogyanya segera diambil langkah yang mendasar, mengurai akar permasalahan, dan menghentikan praktik kekerasan di dunia pendidikan secara berkelanjutan. Semua pembiaran yang dilakukan terhadap ketidakberesan, akan menjadi bagian dari keikutsertaan. Semoga segera ada tindakan untuk menghentikan praktik-praktik kekerasan di dunia pendidikan kita. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni