Joki dan Dilema Kebijakan Publikasi Ilmiah; Oleh: M. Arfan Mu’ammar; Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya dan Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Gresik.
PWMU.CO – Sepuluh tahun yang lalu, peringkat publikasi ilmiah di Indonesia masih berada di urutan ke-54 di Asia Tenggara. Tetapi pada tahun 2020, publikasi ilmiah Indonesia naik menjadi peringkat ke-21 di Asia Tenggara. Padahal negara tetangga seperti Malaysia mengalami penurunan dari posisi 23 ke 24 dan Singapore dari 40 ke 41 (Scientific Journal Rangkings [SJR]).
Tapi jika melihat peringkat literasi Indonesia, Indonesia masih berada di nomor urut 62 dari 70 negara (PISA 2019). Mestinya, meningkatnya publikasi ilmiah dibarengi dengan meningkatnya tingkat literasi. Sebab penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Tidak ada penulis buku best seller yang tidak melalui proses membaca yang tekun. Apalagi menulis artikel ilmiah, tentu membutuhkan proses membaca yang tekun dan mendalam. Karena menulis artikel ilmiah merupakan proses akumulasi dan kristalisasi pengetahuan yang telah ia baca dan dalami dalam waktu yang tidak singkat.
“Rendahnya dana riset tentu berdampak pada rendahnya tingkat publikasi, tetapi mengapa ini justru berlaku terbalik?”
Tapi kenapa peningkatan publikasi di Indonesia tidak dibarengi dengan peningkatan peringkat literasi? Sebuah ironi.
Selain itu, pendanaan riset di Indonesia tergolong minim sekali, jika dibanding negara lain, padahal dari riset itu akan menghasilkan Research Paper atau publikasi ilmiah. Berdasarkan data United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (Unesco) dan World Bank 2019, anggaran dana riset Indonesia masih di angka 0,08 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini masih jauh di bawah Kamboja (0,12 persen) dan Filipina (0,14 persen).
Rendahnya dana riset tentu berdampak pada rendahnya tingkat publikasi, tetapi mengapa ini justru berlaku terbalik? Kembali menjadi sebuah ironi.
Dari data sederhana itu saja, sebenarnya sudah bisa disinyalir adanya praktek perjokian dalam publikasi ilmiah di Indonesia. Praktik perjokian, berakibat pada dosen ataupun mahasiswa tidak melalui proses riset mendalam, juga tanpa melalui proses membaca yang intens. Mereka hanya tinggal terima jadi hasil publikasi ilmiah, tinggal transfer sejumlah dana yang dibutuhkan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa publikasi di Indonesia bukan merupakan representasi dari proses riset yang serius atau proses pembacaan literasi yang mendalam. Publikasi di Indonesia hanya sebuah pemenuhan syarat butuh dan syarat lulus yang telah ditentukan kebijakannya oleh pemerintah.
Dampak Kebijakan Pemerintah
Diakui atau tidak, pemicu meningkatnya publikasi di Indonesia adalah kebijakan. Bukan kesadaran riset dan kesadaran berliterasi. Sudah sejak lima tahun yang lalu, banyak kampus menerapkan publikasi ilmiah sebagai syarat kelulusan, baik di tingkat S1, S2 dan S3. Hal itu merujuk pada Surat Edaran dari Kemenristek Dikti Nomor: B/323/B.B1/SE/2019 tentang Publikasi Karya Ilmiah Program Sarjana, Magister dan Doktor. Tingkat publikasinya tentu menyesuaikan jenjang pendidikan. Untuk jenjang S1 cukup jurnal nasional terakrediasi, S2 jurnal internasional tidak bereputasi, sedang S3 publikasi di jurnal internasional bereputasi.
Anda bisa bayangkan, berapa juta mahasiswa yang lulus dalam setahun? Maka sebanyak itu pula publikasi ilmiah baru yang terbit. Tentu terlepas dari konteks kualitas artikel ilmiah mereka. Kesempatan tersebut dimanfaatkan dengan baik oleh pengelola jurnal ilmiah. Sehingga muncul ragam tarif dalam publikasi, mau reguler atau fast track.
Jika fast track dengan minor revision atau bahkan nihil revisi, maka penulis harus membayar sejumlah uang. Tetapi jika masuk di reguler, penulis akan melalui proses review yang cukup berbelit dan lama. Bagi mahasiswa yang ingin cepat lulus, tentu jalur fast track menjadi pilihan favorit, walaupun harus merogoh kocek yang dalam.
“Jika mereka tidak mendapatkan dosen muda yang produktif untuk dimintai bantuan, maka mereka akan mencari joki di luar sana.”
Kewajiban publikasi ilmiah bukan hanya untuk mahasiswa, tetapi jauh sebelum itu, pemerintah telah menetapkan kebijakan publikasi bagi dosen yang ingin naik jabatan fungsional, baik dari asisten ahli, lektor, lektor kepala dan guru besar. Selain itu, dalam Beban Kerja Dosen (BKD) setiap semester, dosen juga wajib melakukan publikasi ilmiah, jika tidak maka tunjangan profesi dosen tidak bisa dicairkan.
Bagi dosen muda yang produktif, hal itu tidak menjadi masalah, karena mereka mampu mengerjakannya. Tetapi bagi dosen yang sudah hampir pensiun atau guru besar yang kurang produktif, dalam istilah lain GBHN (Guru Besar Hanya Nama) he-he-he. Maka hal itu menjadi sebuah masalah. Oleh sebab itu, para dosen tersebut akan mencari berbagai cara agar mereka mampu memenuhi syarat itu. Jika tidak, maka mereka tidak bisa naik pangkat ke guru besar dan tunjangan profesinya terancam diberhentikan.
Maka mereka mencari joki untuk menuliskan karya ilmiah mereka atau mereka mendekati dosen muda yang produktif untuk membantu mereka. Bisa jadi, dosen muda yang produktif tersebut tidak berprofesi sebagai ghost writer, tetapi karena tawaran dan imbalan rupiah yang menggiurkan, maka dosen muda tersebut berkenan untuk membantu. Jika mereka tidak mendapatkan dosen muda yang produktif untuk dimintai bantuan, maka mereka akan mencari joki di luar sana.
Ada Kontribusi
Sebenarnya, meminta bantuan untuk melakukan riset atau publikasi ilmiah kepada orang lain bisa dikatakan sah, jika kita juga memiliki kontribusi pemikiran dalam pembuatan artikel atau riset tersebut. Karena kalau kita melihat SBK (Standar Biaya Keluaran) Riset Nomor 112/PMK.02/2020, maka akan didapati dana untuk pengambil data dan dana untuk pengolah data.
Ini menjukkan bahwa riset tidak bisa dilakukan sendiri. Kalau Anda melihat publikasi jurnal ilmiah internasional, maka penulisnya mayoritas lebih dari satu penulis, itu menunjukkan bahwa artikel riset itu memang dikerjakan bersama, setiap penulis punya kontribusi intelektual dalam artikel tersebut. Penulis pertama memiliki kontribusi ilmiah paling tinggi, disusul penulis kedua, ketiga, dan seterusnya.
“Jika dipikir-pikir, kalau pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan tentang kewajiban publikasi ilmiah bagi dosen ataupun mahasiswa, tentu peringkat publikasi Indonesia tidak bisa meningkat.”
Maka sah-sah saja, jika dosen membuat tim riset dan publikasi, yang di dalamnya terdapat dosen dan mahasiswa. Tetapi dosen penggagas tersebut harus juga memiliki kontribusi yang besar, agar namanya dapat ditaruh pada urutan pertama. Kontribusi di sini bukanlah kontribusi dana yang besar, tetapi lebih kepada kontribusi intelektual.
Akan tetapi, ironisnya saat ini bukan itu yang terjadi. Dosen atau mahasiswa membayar sejumlah uang tanpa memberikan kontribusi intelektual apapun, namun namanya ditulis sebagai penulis pertama. Kalau bahasa umumnya wis terimo dadi. Tentu praktik seperti itu yang tidak dibenarkan, dan itu yang dimaksud dengan perjokian ilmiah.
Namun, jika dipikir-pikir, kalau pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan tentang kewajiban publikasi ilmiah bagi dosen ataupun mahasiswa, tentu peringkat publikasi Indonesia tidak bisa meningkat. Tetapi di sisi lain, jika kewajiban publikasi itu diterapkan, konsekuensinya akan semakin menjamurnya praktik perjokian karya ilmiah. Kondisi yang sangat dilematis.
Mestinya, pemerintah tidak hanya sibuk menekan dosen dan mahasiswa untuk publikasi saja, tetapi pemerintah juga harus memikirkan bagaimana budaya literasi dosen dan mahasiswa meningkat. Jika budaya literasi dosen dan mahasiswa meningkat, lambat laun peringkat publikasi juga akan meningkat. Wallahu a’lam bi ashawab. (*)
Joki dan Dilema Kebijakan Publikasi Ilmiah; Editor Mohammad Nurfatoni