Wafat di Usia Hampir Seabad, KH Ali Yafie Diterima Banyak Kalangan; Oleh M. Anwar Djaelani, peminat biografi ulama
PWMU.CO – Prof KH Ali Yafie berpulang ke Rahmatullah Sabtu (25/2/2023) pukul 22.13 WIB. Sangat banyak yang berduka dan mendoakan ulama yang santun namun kritis itu.
Prof Din Syamsuddin termasuk yang merasa kehilangan. Din lalu mengenang: “Sebagai Sekretaris MUI waktu itu saya menyaksikan Almarhum adalah seorang ulama yang fakih, mempunyai wawasan pengetahuan keislaman yang luas.”
Tak hanya itu, almarhum “Memiliki sikap teguh dalam prinsip: istikamah dan amanah,” kata Din (baca KH Prof Ali Yafie Wafat Din Syamsuddin Almarhum Teguh dalam Pendirian).
Almarhum yang dikenal sebagai ulama ahli fikih itu adalah mujahid dakwah teladan. Wafat pada usia 97 tahun, jejak dakwahnya sangat panjang. Antara lain, KH Ali Yafie pernah sebagai Ketua Umum MUI (1990-2000) dan pernah pula sebagai Rais Aam PB-NU (1991-1992).
Pembelajar dan Pendidik
Ali Yafie dianugerahi umur panjang dan insyaallah berkah. Almarhum lahir di Donggala, Sulawesi Tengah, pada 1 September 1926. Itu artinya, di tahun yang sama dengan berdirinya NU, 1926.
Muhammad Ali, adalah nama lahir Ali Yafie. Dia anak ketiga dari lima bersaudara. Sang ayah bernama Syaikh Muhammad al-Yafie dan sang ibu bernama Imacayya. Sang ibu wafat saat Ali Yafie berumur 10 tahun.
Ali Yafie berasal dari keluarga yang taat pada agama. Sang ayah, Syaikh Muhammad Yafie, seorang pendidik. Oleh ayahnya, Ali Yafie dididik soal keagamaan termasuk dengan memasukkannya ke pesantren.
Ali Yafie memperoleh pendidikan pertamanya pada Sekolah Dasar umum. Lalu, dilanjutkan dengan pendidikan di Madrasah Asadiyah yang terkenal di Sengkang, Sulawesi Selatan.
Ali Yafie belajar ke banyak guru. Di antara guru-gurunya: Syaikh Ali Mathar (Rappang), Syaikh Haji Ibrahim (Sidraf), Syaikh Mahmud Abdul Jawad (Bone), Syaikh As’ad Sengkang, Syaikh Ahmad Bone (Ujung Pandang), Syaikh Abdurrahman Firdaus (Jampue Pinrang), Syaikh Muhammad Firdaus (Hijaz, Arab Saudi).
Hasil didikan orangtuanya, untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya, membekas kuat. Kemudian, hal yang sama, menjadi sikap Ali Yafie saat mendidik anak-anaknya dan santri-santrinya di Pondok Pesantren Darul Dakwah Al-Irsyad (DDI).
Ali Yafie sukses mengembangkan DDI, organisasi yang fokus pada pendidikan. Saat itu, KH Abdurrahman Abodalle yang memimpin DDI dan Ali Yafie menjadi sekjennya. Pengalaman di DDI berguna saat di kemudian hari Ali Yafie berkiprah di skala nasional.
Sebagai pendidik, Ali Yafie pernah sebagai Dekan di Fakultas Ushuluddin IAIN Ujung Pandang. Juga, Rektor Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta.
Sang Pendakwah
Panjang riwayat organisasi dan amanah yang pernah dipegang Ali Yafie. Di NU, Ali Yafie mulai aktif di Parepare. Pada 1971, beliau hijrah ke Jakarta.
Pada Muktamar NU 1971 di Surabaya, Ali Yafie terpilih menjadi Rais Syuriah. Di Muktamar NU di Semarang 1979 dan Situbondo 1984, Ali Yafie terpilih kembali sebagai Rais Syuriah. Di Muktamar Krapyak Yogyakarta 1989 Ali Yafie terpilih sebagai Wakil Rais Aam.
Di NU, sentuhan Ali Yafie sebagai pendidik ada jejaknya. Bahwa, di NU Ali Yafie dikenal sebagai salah satu yang aktif menginisiasi pendirian Ma’had Aly. Hal yang disebut terakhir terus berkembang sampai sekarang.
Prestasinya di NU kemudian membawa Ali Yafie ke organisasi-organisasi atau lembaga lain. Antara lain, Ali Yafie mendapat amanah di MUI, Ikatan Muslim Indonesia (ICMI), Bank Muamalat, dan Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta. Terasa, KH Ali Yafie diterima di banyak kalangan.
Ali Yafie menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) masa jabatan 1990-2000 menggantikan KH Hasan Basri. Sementara, di ICMI sebagai bagian di Dewan Penasihat.
Teladan dan Inspirasi
Banyak yang bisa kita teladani dari Ali Yafie. Banyak inspirasi yang bisa kita serap dari lelaki teduh itu. Berikut ini, sekadar beberapa di antaranya.
Ali Yafie ulama yang sangat suka membaca. Tentang ini, suka membaca, secara khusus dia jadikan sebagai salah satu nasihat terbaik kepada Ustadz Abdul Somad (UAS) yang datang bersilaturahmi kepadanya.
Alkisah, pada 2021, UAS bersilaturahmi ke KH Ali Yafie. Puluhan tahun silam, kata UAS, dirinya selalu melihat KH Ali Yafie di televisi. UAS salut dengan keteguhan beliau. Hari itu, 9/6/2021, mereka bertemu. Di saat itulah, UAS mendapat beberapa nasihat.
“Membacalah, karena syariat pertama itu bukan shalat tapi membaca; Iqra’. Di akhirat, perintah juga membaca – Iqra’ kitabaka. Baca apa saja, tapi jangan ambil semua,” tutur KH Ali Yafie.
Untuk kita ketahui, sebagai ilustrasi: dalam usia hampir seabad, Ali Yafie masih tekun membaca. Ini luar biasa. Lihatlah, pada 2020 saat Ali Yafie dirawat di Rumah Sakit. Kerabat yang menjenguknya mendapati Ali Yafie, dalam posisi setengah berbaring di ranjang, sedang membaca sebuah kitab yang cukup tebal. Hal lain, pada 2021, dalam usia hampir seabad Ali Yafie masih melahap lima buku sehari.
Mari kembali ke kisah UAS. Berikut ini, inspirasi yang didapat dari Ali Yafie.
“Apa dzikir supaya kuat ingatan Gurutta (Gurutta, sapaan seperti Kiai),” tanya UAS.
“Banyak-banyak baca Alam Nasyrah (Surah al-Insyirah),” jawab KH Ali Yafie.
“Gurutta, beri kami nasihat,” pinta UAS.
“Tertawalah. Kalau masih bisa tertawa, berarti masih lama hidup. Tapi, jangan ketawa sendirian,” respons KH Ali Yafie sambil tertawa lepas (https://www.inews.id/).
Teguh Bersikap
Pada Januari 2020, Ali Yafie dirawat di Rumah Sakit untuk kali kesekian karena usia tua dan berbagai penyakit. Di ruangan yang sama dan hanya dipisahkan oleh gorden, Aisyah Umar sang istri, juga dirawat. Kala itu, pada Ali Yafie tak tampak wajah sedih dan apalagi mengeluh. Sebaliknya, Ali Yafie tampak segar dan berusaha berbagi senyum kepada para penjenguknya.
Senyum, itu salah satu yang mudah diingat pada diri Ali Yafie. Lalu, suka membuat orang lain tersenyum juga termasuk yang mudah diingat pada dirinya.
Tak lama setelah Ali Yafie wafat, menulislah UAS di akun IG-nya. UAS mengisahkan fragmen menarik saat dirinya bertamu ke Ali Yafie, seperti berikut ini.
“Silakan minum teh. Tidak bid’ah, walaupun tidak ada di zaman Rasulullah,” kata KH Ali Yafie sambil tertawa.
Ada peristiwa yang tak mudah dilupakan. Itu terkait pengunduran diri Ali Yafie sebagai Pejabat Sementara Rais Aam PB-NU pada Musyawarah Nasional di Bandar Lampung, 21 Januari 1992. Kala itu, Gus Dur sebagai Ketua Umum PB-NU.
Pemicunya, ketika Ghafar Rachman yang saat itu Sekjen PB-NU menerima bantuan dari Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB). Bantuan senilai Rp 50 juta itu diberikan kepada sebuah madrasah kecil di Tuban, Jawa Timur.
Setelah terlibat konflik dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengenai penerimaan bantuan itu untuk NU, Ali Yafie menarik diri dari PB-NU (https://makassar.tribunnews.com/).
Memang, saat itu terjadi perbedaan pandangan antara Ali Yafie dengan Gus Dur pada soal status SDSB. Di satu sisi bagi Gus Dur boleh saja membeli SDSB karena bukan haram, di sisi lain Ali Yafie menolaknya dengan berkeras itu tetap saja haram (https://algebra.republika.co.id/).
Berani Berpendapat
Pada 1998, Presiden Soeharto berada di titik kritis. Mahasiswa dan rakyat mendesaknya mundur setelah berkuasa 32 tahun. Dia lalu mengundang sepuluh tokoh Islam pada 19 Mei 1998 untuk dimintai pendapat. Ali Yafie, salah satunya.
Di pertemuan itu Soeharto bertanya: “Bagaimana pandangan Kiai tentang persoalan ini?”
Ada kesaksian, Ali Yafie satu-satunya tokoh yang mengemukakan pendapat. Bahwa, kata dia, demonstrasi mahasiswa itu menginginkan Soeharto lengser.
“Bapak Presiden, reformasi itu mempunyai dua makna. Pertama, seperti yang kita bicarakan di sini (perubahan sistem). Yang kedua, reformasi itu artinya ‘Bapak turun’, seperti yang dimaksudkan para mahasiswa di luar sana,” jelas Ali Yafie.
Sejenak ruang pertemuan senyap. ”Iya Kiai, saya paham,” kata Soeharto kemudian.
Kita pun lalu menjadi saksi, dua hari kemudian Soeharto benar-benar lengser. Soeharto mundur setelah puluhan tahun berkuasa (https://tirto.id/).
Cinta dan Doa
KH Ali Yafie adalah pribadi yang terus bergerak dalam dakwah. Kecuali yang telah disebut di atas, sekadar menyebut aktivitasnya yang lain adalah: Beliau pernah sebagai anggota DPR. Juga, pernah sebagai hakim Pengadilan Tinggi Agama Makassar dan Kepala Inspektorat Peradilan Agama. Pun, pernah sebagai Dewan Pengawas Syariah dari Bank Muamalat.
KH Ali Yafie, punya banyak karya tulis, seperti: Menggagas Fikih Sosial: Dari Soal Lingkungan Hidup, Asuransi hingga Ukhuwah (1995); Teologi Sosial; Telaah Kritis Persoalan Agama dan Kemanusiaan (1997); Beragama secara Praktis agar Hidup Lebih Bermakna (2002); Fiqih Perdagangan Bebas (2003); Merintis Fiqih Lingkungan Hidup (2006).
Hal menarik lainnya, KH Ali Yafie satu-satunya ulama dari luar Jawa yang pernah menduduki posisi paling puncak di NU, yakni sebagai Rais Aam. Itu terjadi saat Ali Yafie menggantikan KH Achmad Shiddiq yang wafat pada 1990.
Perjalanan hidup dan pengabdian KH Ali Yafie sebagian didokumentasikan dalam buku “Wacana Baru Fiqih Sosial: 70 Tahun KH Ali Yafie” (1997). Juga, di “KH Ali Yafe: Jati Diri Tempaan Fiqih” (2001). Buku-buku ini, insya Allah sangat bermanfaat sebagai bagian dari usaha “Menyediakan bacaan yang baik”.
Mari menunduk. Mari amini doa UAS: “Selamat jalan Anre Gurutta. Hidupmu inspirasi kami. Al-Fatihah. اللهم اغفر له وارحمه وعافه واعف عنه
Demikianlah, paragraf di atas adalah ekspresi cinta dan doa dari UAS. Insyaallah, hal yang persis sama juga ungkapan cinta dan doa dari umat Islam pada umumnya. (*)
Wafat di Usia Hampir Seabad, KH Ali Yafie Diterima Banyak Kalangan; Editor Mohammad Nurfatoni