PWMU.CO – Waktu menunjukkan pukul 13.20 waktu Tiongkok, Senin (10/4). Suhu saat itu mencapai 3 derajat celcius. Pria-pria berjas atau bermantel hitam dengan peci putih terlihat berdatangan ke Masjid Besar Barat, yang berada di Kota Linxia—100 km dari Lanzhou, Ibukota Provinsi Gunso, Tiongkok. Ada yang berjalan kaki. Tapi banyak pula yang menggunakan sepeda onthel.
Sepuluh menit lagi shalat Dhuhur akan dimulai. Pria-pria bermantel hitam itu masuk ke masjid. Adzan dikumandangkan tepat pukul 13.30 dengan pengeras suara yang hanya terdengar di dalam masjid. Ruangan masjid sudah hampir penuh. Tidak saja oleh jamaah dewasa, terlihat juga remaja-remaja dengan pakaian yang hampir sama. Bedanya, mereka menggunakan surban dengan kuncir di belakang.
(Berita Terkait: Masjid Besar Barat Linxia: Tempat Dicetaknya Ulama-Ulama Tiongkok dan 7 Terowongan Menuju Linxia, Kota dengan 60 Persen Penduduk Muslim)
Setelah semua jamaah hampir selesai menunaikan shalat sunah 2 rakaat, iqamat dikumandangkan. Masih dengan loud speakar yang nyaris tak terdengar sampai luar masjid. Ada sekitar 8 shaf terbentuk. Lalu shalat jamaah Dhuhur dilaksanakan, seperti pada umumnya.
Usai shalat, dan ini yang agak berbeda dengan di Indonesia, jamaah langsung berdiri. Tidak ada doa setelah shalat jamaah. Mereka mencari sudut lain di dalam masjid untuk menunaikan shalat 2 rakaat. Usai itu mereka mengangkat tangan untuk baru berdoa. Doa munfaridan, sendiri-sendiri.
(Baca juga: Bila Para Lansia Mencari Jodoh Seiman di Masjid Madian Beijing)
Kemudian jamaah dewasa bubar. Yang tersisa hanya jamaah remaja. Mereka berkumpul di dekat imam. Terdengar semacam wejangan singkat dari imam. Setelah itu terdengar doa penutup majelis. Barulah mereka bubar.
Di sini kami bisa merasakan jamaah bersama mereka dengan suhu yang dingin, yaitu 3 derajat celcius. Hal itu yang membuat kami katuken (menggigil) sehingga harus menggunakan jaket tebal, sarung tangan, atau surban yang difungsikan sebagai sal untuk menutup leher atau kepala.
(Baca juga: Pengalaman Terkecoh Mengikuti Jumatan Unik di Masjid Niu Jie Beijing Tiongkok)
Setelah usai shalat berjamaah, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim M Saad Ibrahim menghampiri sang imam, untuk mengenalkan diri dan meminta waktu untuk berdialog. Wajah imam nampak riang. Ia mengajak Saad, dan juga anggota delegasi lainnya, yaitu dari MUI, NU, dan Masjid Cheng Hoo Surabaya untuk masuk kantor. Kami saling mengenalkan diri dan bertukar pikiran. Dari situ kami tahu, jika sang imam itu bernama Nuh Idris dari suku Liem. Dan para remaja itu adalah santri masjid tersebut. (Mohammad Nurfatoni)