PWMU.CO – Dalam kehidupan sehari-hari, toleransi menjadi pembicaraan hangat di kalangan warga Muhammadiyah. Sebagai seorang Muslim, tentu kita harus tahu batas-batas toleransi, mana yang membutuhkan toleransi dan sebaliknya. Demikian ringkasan ceramah Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Dr M. Saad Ibrahim dalam pengajian Ahad Pagi di Masjid Al-Manar Universitas Muhammadiyah (Unmuh) Ponorogo, hari ini (27/3).
(Baca: Ketika 4 Ketua Sarapan Bersama)
Dalam tausiyahnya, Saad menerangkan struktur dalil dan pemahaman Islam yang terkait dengan masalah intoleransi dan toleransi ini. ”Islam itu berjenjang sesuai dengan tingkat dan pemahaman dalilnya,” paparnya mengawali taushiyah. Dalam kajian ushul fiqih, tingkatan ini terbagi dalam 4 struktur.
Tingkat pertama, kata Saad, yaitu qath’iyyul wurud yang sekaligus qath’iyyud dalalah. Qath’iyyatul wurud adalah posisi dalil yang periwayatannya melalui jalur mutawatir. Selain al-Quran, contoh kasus ini adalah hadits Nabi yang periwayatannya melalui jalur (sanad) yang banyak, yang dalam bahasa ilmu hadits disebut mutawatir.
Adapun qath’iyyatud dalalah adalah sebuah dalil, baik al-Quran maupun hadits Nabi, yang maknanya jelas tanpa memerlukan ta’wil lagi. “Pada bagian ini tidak berlaku toleransi bagi pandangan yang berbeda,” terang Saad.
Tingkat yang kedua adalah qath’iyyul wurud dhanniyyud dalalah, sebuah nash yang periwayatannya mutawatir, tapi teks tersebut membuka “peluang” pemaknaan yang banyak. Contoh mudahnya adalah dalil i’tidal. Dalil hadits tentang hal itu diriwayatkan oleh banyak sahabat, yang otomatis mutawatir. Tapi bagaimana posisi tangan ketika i’tidal, ternyata ada berbagai pemaknaan. Ada yang mengatakan tangan harus bersedekap, tapi ada yang berpendapat harus lurus ke bawah.
Tingkat yang ketiga adalah dhanniyyud wurud qath’iyyud dalalah, serta terakhir dhanniyyud wurud dhanniyyud dalalah. ”Untuk 2, 3, dan 4, berlaku toleransi kepada yang lain, yang berbeda. Apalagi untuk perkara yang tidak ada dasarnya secara langsung dari nash (al-Quran), tentu lebih berlaku lagi sikap toleransi,” urainya. Dalam bahasa tarjih, meski tarjih telah memutuskan hukum sebuah tindakan atau kasus yang bukan qath’iyyatul wurud-qathiyyatud dalalah, selalu berprinsip “ma’a ‘adami ra’yi ghayrihi”, tidak menafikan pendapat lain yang berbeda (aan)