Puasa dan Tarawih yang Sia-Sia, Oleh Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.
PWMU.CO – Kajian ini berdasarkan hadits sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ـ صلى الله عليه وسلم ـ “ رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الْجُوعُ, وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلاَّ السَّهَرُ ”. رواه احمد و ابن ماجه
Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah Shallahu alaihi wa Sallam bersabda: “Berapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan puasanya kecuali lapar (dan dahaga) dan berapa banyak orang yang shalat (Tarawih atau shalat malam) tidak mendapatkan bagian dari ibadahnya kecuali begadang saja.” (HR Ahmad dan Ibnu Majah).
Istimewanya Ramadhan
Ramadhan merupakan bulan yang istimewa. Hal ini sudah banyak dikupas dalam berbagai banyak kesempatan oleh para dai. Itulah sebabnya Ramadhan menjadi bulan yang senantiasa dinanti kedatangannya oleh segenap kaum Muslimin. Karena di dalamnya banyak sekali kelebihan-kelebihan yang sangat luar biasa dibanding dengan bulan lainnya. Di antaranya pahala-pahala amal meningkat secara drastis, juga pintu ampunan terbuka lebih lebar dari bulan lainnya.
Begitu istimewanya bulan Ramadhan ini sehingga menjadikan setiap Mukmin berbahagia menyambutnya. Tentu bukan sekadar bahagia karena ada perubahan kebiasaan masyarakat terutama di sore hari, akan tetapi ada aktivitas ritual yang harus dijalaninya baik di siang hari yaitu berupa puasa dan malam hari berupa qiyamu lail berjamaah atau sering juga disebut sebagai shalat tarawih.
Lebih-lebih bulan ini hadir di antara sebelas bulan lainnya, sehingga hal ini menjadi momentum bagi setiap mukmin untuk menyambutnya dengan sebaik-baiknya. Kesadaran akan pentingnya mengisi di bulan ini dengan aktivitas kebaikan merupakan wujud kesadaran spiritualnya akan pemenuhan kebutuhannya.
Puasa yang Sia-Sia
Pada bulan Ramadhan kaum Mukminin diperintahkan oleh Allah untuk berpuasa. Dalam kaitan ini Allah seolah memaksa kepada setiap hamba yang mengaku beriman untuk berpuasa, dan tentu bagi mereka yang tidak beriman dengan baik akan kelihatan, karena mereka tidak akan berpuasa atau berpuasa hanya sekedar untuk gugur kewajibannya saja.
Itulah yang disinyalir dalam hadits di atas, betapa banyak orang yang berpuasa tetapi ia tidak mendapatkan dampak apa-apa dari puasanya kecuali hanya merasa lapar dan dahaga.
Dengan puasa secara fisik, seharusnya diiringi dengan puasa secara psikis yakni perlu ada introspeksi diri secara totalitas terhadap diri ini. Puasa bicara bagi kita yang sering banyak berbicara, untuk lebih memilih kata-kata yang bermanfaat yang lahir dari rasa iman dan bukan karena nafsu, nafsu merasa pinter dan merasa serba tahu agar diakui orang lain dan lain sebagainya.
Puasa memiliki pengertian menahan segala bentuk gejolak nafsu yang serba ingin dan ingin, ingin diakui orang lain sebagai orang yang pandai. Ingin dimuliakan orang lain, ingin dihormati dan keinginan rendah lainnya ala kepentingan duniawi.
Puasa bertujuan mengembalikan jiwa ini pada posisi keimanannya sebagai kekuatan pendorong semua aktivitasnya, dan bukan menjadikan nafsu sebagai pendorongnya. Puasa bermaksud mengembalikan setiap jiwa beriman kembali ke posisinya semula yang fitrah, yang hanya tunduk kepada Allah, bahkan kepentingan pribadinya hanya dalam rangka menggapai ridha Allah dan bukan ridha manusia dengan segala target kemuliaan diri dan secara otomatis menganggap rendah kepada lainnya.
Puasa demikianlah yang bukan termasuk puasa yang sia-sia, akan tetapi ada perubahan secara drastis pada orang yang berpuasa itu. Sehingga puasanya bukan sekedar puasa secara formalitas belaka yang kemudian tidak berdampak apa-apa pada sikap dan sifat hidupnya. Maka puasa ibarat laku kontemplasi bagi setiap mukmin untuk kemudian dapat menemukan jati dirinya dalam posisi kehidupannya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tarawih yang Sia-Sia
Rasulullah, dalam hadits yang masyhur, memberikan reward yang luar biasa kepada pelaku Tarawih yang berlandaskan keimanan dan keikhlasan yaitu diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Demikian pula bagi yang berpuasa karena keimanan dan keikhlasan akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.
Tarawih merupakan shalat yang secara bahasa dapat berarti sambil bersantai-santai. Hal ini dalam rangka memberikan pelatihan atau kegiatan camp bagi kaum mukminin untuk memiliki kebiasaan ini.
Oleh karenanya pelaksanaan shalat Tarawih itu dilaksanakan setelah shalat Isya dan berikutnya memiliki waktu rentang yang lebih panjang pada malam hari. Sehingga memang tidak perlu kemudian menjadi aktivitas yang terburu-buru dalam pelaksanaannya.
Shalat secara umum akan melahirkan ketenangan dalam jiwa pelakunya, dengan ketenangan jiwa diharapkan semua problem hidup akan dapat diselesaikan dengan baik. Jiwa yang jernih adalah jiwa yang memiliki ketergantungan kepada Yang Maha Bijaksana, tiada persoalan yang pelik selama setiap jiwa bersandar atau tawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal.
Perpaduan tempaan antara shalat dan puasa menjadikan jiwa setiap hamba menjadi jiwa yang kuat dalam menghadapi segala cobaan dan bahkan cobaan itu sendiri serasa bukan lagi cobaan yang mengguncangkan jiwa. Sikap sabar dan tawakal dengan selalu berikhtiar lahir dan batin menjadikan jiwa pelaku shalat dan puasa menjadi jiwa yang tenang atau muthmainnah.
Shalat Terawih yang demikian ini yang bukan termasuk sia-sia atau hanya mendapatkan rasa capek semata, akan tetapi shalat itu menjadi hidangan yang lezat dan membahagiakan jiwanya.
Sebagaimana puasa juga merupakan hidangan yang lezat sekalipun harus memaksa badan atau nafsu untuk mengekangnya. Dan justru di situlah letak kelezatannya puasa untuk mengubah diri menjadi jiwa yang sejati. Wallahu a’lam bishshawab. (*)
Puasa dan Tarawih yang Sia-Sia adalah versi online Buletin Jumat Hanif Edisi 12 Tahun XXVII, 24 Maret 2023