Kasih Sayang Allah di Balik Perintah Puasa; Kajian oleh Dr Syamsudin MAg, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
PWMU.CO – Memulai kajian ini, kita kutip ayat yang sangat populer saat ini, yakni al-Baqarah 183.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Dalam bahasa Arab kata ( يا ) dikenal sebagai harf nida’ atau kata seru. Kata seru dalam al-qur’an memiliki spirit cinta. Cinta Allah kepada para hamba-Nya. Kata ( ( ايّ dikenal sebagai harf littanbih atau kata peringatan. Kata peringatan dalam al-Qur’an juga memiliki spirit cinta. Cinta Allah kepada para hamba-Nya. Sementara ( ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا ) berisi kesaksian dari Allah, dari Pecinta kepada yang dicinta. Justru karena Allah cinta kepada para hamba.
Itulah sebabnya diturunkan kitab suci dan diturunkan para nabi. Sehingga naluri beragama manusia menemukan bentuknya yang shahih dan sempurna. Membimbing yang lahir dalam keadaan suci, untuk kembali kepada Sang Maha Suci dalam keadaan suci.
“Diriwayatkan bahwa nabi Muhammad SAW, sempat menjalankan puasa Ramadhan 8 kali. Yaitu 6 kali dengan usia bulan 29 hari, dan dua kali dengan usia bulan 30 hari.”
Dalam alladzi amanu ada kesaksian bahwa mereka yang dicintai memiliki kepercayaan kepada-Nya. Dalam hal ini, al-Hasan berkata, jika anda mendengar ayat al-Qur’an yang dimulai dengan rangkaian kata yaa ayyuhalladzina amanu, maka camkan dengan sungguh-sungguh, karena selepasnya pasti ada perintah yang harus dikerjakan, atau larangan yang harus dijauhi.
Imam Ja’far ash-Shadiq mengatakan, bahwa kewajiban agama yang dimulai dengan yaa ayyuhalladzina amanu mengandung kelezatan khas, yang dengannya kepayahan serta kepenatan ibadah menjadi lenyap, (Ruhul Bayan, I/289)
( كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ ) Puasa Ramadhan diwajibkan pada tahun ke-15 kenabian, atau tiga tahun selepas hijrah. Diriwayatkan bahwa nabi Muhammad SAW, sempat menjalankan puasa Ramadhan 8 kali. Yaitu 6 kali dengan usia bulan 29 hari, dan dua kali dengan usia bulan 30 hari.
Tak Sekadar Merehatkan Aktivitas Fisik
Para fuqaha mendefinisikan puasa sebagai aktivitas menahan diri dari semua pembatal-pembatalnya, yang pada umumnya merupakan idaman manusia. Dari terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari. Dengan niat ikhlas berbadah kepada Allah. Sementar itu ulama ahlus sara’ir menindaklanjuti definisi ini lebih dalam lagi, lebih tepatnya lebih batiniy. Karena kewajiban puasa meliputi aspek lahiriah dan batiniah.
Hadis Nabi SAW, sumuu li ru’yatihi wa afitru liru’yatih, adalah perintah untuk memulai puasa sebab melihat hilal bulan Ramadhan, dan mengakhirinya sebab melihat hilal bulan Syawal. Lebih dari itu puasa juga perintah untuk fokus kepada al-Haq sejak permulaan hingga pungkasannya.
“Puasa hati, adalah menahan diri dari cinta dunia, flexing, dan pamer harta.”
Dalam pandangan ahlus sara’ir puasa tidak sekadar merehatkan aktivitas badaniah, tapi juga merehatkan aktivitas sifatiah yang meliputi puasa mulut, mata, telinga, jiwa, hati, ruh, dan sir. Puasa mulut, adalah menahan diri dari omongan dusta, cabul, asusila, dan menggunjing sesama. Puasa mata, adalah menahan diri dari melihat objek-objek yang melalaikan seseorang dari dzikir kepada Allah.
Puasa telinga, adalah menahan diri dari al-manahiy wal malahiy, yaitusuara-suara yang dilarang yang meninabobokkan seseorang sehingga absen dari amal shalih. Puasa jiwa adalah menahan diri dari angan-angan, tamak, dan syahwat. Puasa hati, adalah menahan diri dari cinta dunia, flexing, dan pamer harta. Puasa roh, adalah menahan diri berharap dari kenikmatan akhirat. Puasa sir, menahan diri dari fokus kepada selain Allah.
Puasa sebelum Islam
( كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ ) berdasarkan penggal ayat ini harus dipercaia bahwa umat-umat zaman silam juga diwajibkan puasa. Sejak Nabi Adam dan seterusnya. Adapun bentuk dan sifatnya tidak ada keterangan yang pasti. Ada keterangan bahwa puasa sejak zaman Nabi Adam hingga Nabi Musa adalah ayyamul bidh atau hari-hari di mana rembulan bersinar terang.
Sementara pada zaman Nabi Musa dan seterusnya hanya pada hari Asyura. Tasybih atau keserupaan puasa antara umat Muhammad dengan umat-umat sebelumnya hanya terletak pada kewajibannya, bukan pada sifat dan tata caranya. Hikmah dari penyebutan umat zaman silam pada ayat puasa adalah melenyapkan perasaan berat dalam pelaksanaannya.
Benar bahwa ibadah puasa adalah berat dan payah, tapi kalau disadari ternyata umat zaman silam juga terkena kewajiban yang sama, maka akan muncul perasaan ringan dan terhibur dalam pelaksanaannya, (Tafsir ash-Shawi, I/116).
“Mereka menjadikan rohaniwan dan pemimpin agama mereka sebagai tuhan-tuhan. Bukan mereka memuja rohaniwan dan pemimpin agama, melainkan menerima perubahan syariat yang dilakukan oleh rohaniwan dan pemimpin agama.”
Dalam Shafwat at-Tafasir, Ali Ash-Shabuni menjelaskan, diriwayatkan dari al-Hasan, bahwa Allah SWT, telah mewajibkan puasa Ramadhan kepada umat Yahudi dan Nasrani. Umat Yahudi mengabaikan kewajiban ini, menggantinya dengan puasa satu hari sepanjang tahun. Yaitu pada hari Asyura. Hari yang mereka yakini sebagai hari tenggelamnya Fir’aun di Laut Merah.
Sementara umat Nasrani beda lagi. Mereka melaksanakan puasa Ramadhan dengan sebaik-baiknya. Pada suatu saat pelaksanaannya berada pada musim panas yang membakar, sehingga pelaksanaannya ditunda pada musim yang tidak melelahkan dengan kompensasi ditambah 10 hari, jadilah 40 hari. Kemudian ganti raja, ditambah tujuh hari lagi. Kemudian ganti raja, ditambah tiga hari lagi. Sehingga genap 50 hari.
Inilah di antara maksud firman Allah SWT, ittakhaduu ahbarahum wa ruhbaanahum arbab, mereka menjadikan rohaniwan dan pemimpin agama mereka sebagai tuhan-tuhan. Bukan mereka memuja rohaniwan dan pemimpin agama, melainkan menerima perubahan syariat yang dilakukan oleh rohaniwan dan pemimpin agama. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni