Pak AR Bercerita soal Iblis yang Terbelenggu di Bulan Ramadhan oleh Bahrus Surur-Iyunk, aktivis Muhammadiyah Sumenep.
PWMU.CO– Ikhlas itu indah di bibir susah di hati. Kadang-kadang gambarannya pun tidak konkret. Ikhlas yang paling sederhana adalah segala amal ibadah dan kebaikan itu dilaksanakan lillahi ta’ala.
Lillahi ta’ala itu berarti semua dilakukan semata karena perintah Allah dan RasulNya. Seandainya bukan karena Allah, maka amal ibadah itu tidak akan dilakukan.
Kita menjalankan puasa Ramadhan itu semata-mata karena perintah Allah dan RasulNya. Tidak ada yang lain. Tidak karena ingin dilihat, dihargai, disanjung, dipuji dan diperhatikan oleh orang lain. Karena Allah yang memerintahkan melalui tuntunan RasulNya, maka biarlah Allah saja yang melihatnya dan mengganjarnya.
Selain itu, orang menjalankan amal ibadah karena Allah (lillahi ta’ala) berarti menjalankan dengan penuh totalitas (kaffah). Menjalankan ibadah Ramadhan karena lillahi berarti tidak hanya berpuasa di siang hari dari makan, minum dan berkumpul dengan suami/istri. Tetapi saat malam hari, juga tetap berpuasa dengan menjaga lisan, tidak menggunjing, bisa menahan amarah, tidak berdusta, menyempatkan diri membaca al-Quran, bersedekah, qiyamul-lail dengan bertarawih, dan menjaga dari kemaksiatan.
Jika itu semua dilakukan selama bulan Ramadhan, maka akan menjadi pembiasaan dan akhirnya menjadi karakter. Hingga di sini, Ramadhan akan benar-benar menjadi Madrasah Ruhaniah (Sekolah Ruhaniah) bagi seorang mukmin. Lelah memang. Tapi ubahlah yang lelah itu menjadi lillah. Ubahlah yang capai itu menjadi syifa’ (obat) bagi penyakit hati dan jasmani.
Dalam mempertahankan keikhlasan itulah setan akan selalu menggoda kita dengan segala rayuannya. Lho, bukankah di bulan Ramadhan setan itu dibelenggu, pintu surga dibuka dengan selebar-lebarnya dan pintu neraka ditutup rapat?
Pak AR Bercerita
Menarik apa yang pernah dialami oleh Pak AR Fachruddin. Suatu hari di bulan Ramadhan, Pak AR diminta mengisi ceramah bakda Tarawih di sebuah masjid. Setelah ceramah dibuka kesempatan bertanya.
Seorang anak muda bertanya,”Pak AR, katanya di bulan Ramadhan ini setan-setan dibelenggu dan pintu neraka ditutup. Tapi mengapa sekarang dalam bulan Ramadhan ini masih banyak orang judi, mabuk-mabukan, dan juga pelacuran?”
Jawab Pak AR bercerita,”Itulah kelemahan manusia dengan setan yang dibelenggu saja kalah.”
Kalau boleh ditambahi,”Karena manusia sudah menjadi setan. Bahkan lebih nyetan daripada setan itu sendiri.”
Dalam hal mempertahankan keikhlasan, kita mungkin bisa menyimak kisah Imam Al-Ghazali dalam Mukhtashar Ihya’ Ulum al-din.
Al-Ghazali bercerita tentang seorang alim dari Bani Israil yang rajin beribadah kepada Allah dalam masa yang cukup lama. Hingga suatu hari, datanglah orang-orang kepadanya melaporkan, ”Di sini ada kaum yang menyembah pohon, bukan menyembah Allah.”
Ia marah mendengarnya. Tanpa pikir panjang, ia mengambil kapak dan menyandangnya di atas pundak menuju pohon itu untuk menebangnya. Iblis menyambutnya dalam rupa seorang tua, ”Hendak ke mana engkau?” kata Iblis.
”Aku mau menebang pohon ini,” kata si alim.
Iblis merayunya. ”Apa perlunya engkau dengan pohon itu? Engkau tinggalkan ibadah dengan Tuhanmu, dan meluangkan diri hanya untuk sebatang pohon.”
Si alim itu dengan tegas menjawab,”Sungguh ini juga termasuk dalam ibadahku.”
Terjadilah percekcokan sengit dan perkelahian antara keduanya. Si alim membantingnya dan menduduki dadanya. Setelah dilepaskan si iblis berkata,”Wahai saudaraku, sesungguhnya Allah telah menggugurkan kewajiban ini darimu dan tidak mewajibkan atasmu. Engkau bukan seorang nabi dan tak pula menyembahnya.”
”Tidak, aku harus menebangnya.” Dibanting dan didudukinya lagi si iblis, tapi iblis itu berkata, ”Lepaskan aku dulu, biar aku menjelaskannya.”
Setelah dilepas, iblis dalam rupa orang tua itu berkata, “Engkau ini orang miskin yang tidak punya apa-apa. Mau makan saja engkau harus meminta-minta kepada orang lain. Tidakkah engkau lebih baik jika engkau bisa bersedekah kepada saudara-saudaramu, membantu tetanggamu, serta menjadi kenyang dan tidak bergantung kepada orang lain. Maka, tinggalkan urusan ini dan aku akan menaruh dekat tempat ibadahmu dua dinar setiap malam. Setiap pagi engkau bisa mengambilnya lalu bisa nafkahi diri dan keluargamu, serta bersedekah kepada saudaramu. Insyaallah, itu lebih berguna bagimu dan orang-orang Islam sekelilingmu daripada menebang pohon yang tidak merugikan ataupun bermanfaat buat mereka bila ditebang.”
Si alim setuju dan memintanya berjanji dan bersumpah. Lalu kembalilah si alim itu ke tempat ibadahnya. Keesokan harinya si alim mendapati dua dinar di dekat tempat sujudnya. Ia pun mengambilnya. Demikian pula esok paginya. Namun pada hari ketiga dan berikutnya ia tidak menemukan apa-apa. Ia pun marah, mengambil kapak dan menaruhnya di pundak. Orang tua yang sesungguhnya iblis itu pun menyambutnya, ”Hendak ke manakah engkau?”
”Aku akan menebang pohon itu,” kata si alim. Iblis pun menimpali,”Engkau bohong. Demi Allah engkau tidak akan mampu melakukannya dan tidak ada jalan bagimu menujunya.”
Si alim mencoba melawannya, membanting dan menindih dadanya. Sayang, kali ini, si alim tidak berdaya dan justru dibanting dan ditindih oleh si iblis. Bahkan si orang tua iblis itu justru mengancam membunuhnya. Si alim kaget dan bertanya kepada si iblis mengapa ia bisa kalah?
”Sebelumnya engkau marah karena Allah dan niatmu adalah akhirat, maka Allah menundukkanku di hadapanmu. Kali ini engkau marah karena dirimu sendiri dan karena dunia yang tidak engkau dapati di pagi hari, maka aku berhasil menghajarmu,” jawab iblis bangga.
Semoga kita senantiasa ikhlas dalam beramal dan mendapat kekuatan untuk menjalankan amal kebaikan di bulan Ramadhan. Hanya dengan ridha-Nya kita berharap pertolonganNya. Wallahu a’lamu.
Editor Sugeng Purwanto