Yunahar Ilyas, Ulama Teduh Berilmu Luas; Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Terampil Jurnalistik Tampil Simpatik (2023) dan sembilan judul lainnya
PWMU.CO – Seorang ulama terkemuka yang dikenal santun, wafat pada Kamis 2 Januari 2020 pukul 23.47 WIB. Ulama itu, Prof Dr Yunahar Ilyas Lc MA wafat di Yogyakarta. Esoknya, Jumat 3 Januari 2020, ribuan orang turut mengikuti prosesi pemakamannya yang dimulai dari shalat jenazah di Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta.
Kala itu, duka memang menyelimuti berbagai lapisan masyarakat. Lihatlah, sebelum shalat Jumat dimulai, ribuan warga sudah memadati bagian luar pagar hingga halaman parkir Masjid Gedhe. Selain warga Yogyakarta, tidak sedikit warga dari luar daerah yang ikut melepas jenazah.
Di antara warga yang mengikuti prosesi pemakaman ulama dari Muhammadiyah itu, terlihat beberapa tokoh seperti Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dan anggota Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin. Juga, terlihat Sekjen MUI Anwar Abbas dan Mustasyar PWNU DIY Rochmad Wahab.
Siapa ulama, Prof Yunahar Ilyas, yang kepergiannya mengundang duka banyak kalangan itu? Dia lahir di Bukittinggi pada 22 September 1956. Nama belakangnya, dinisbahkan kepada sang ayah yaitu Ilyas. Sementara, sang ibu bernama Syamsidar.
Sang Teladan
Hal yang mudah dikenali pada diri Yunahar adalah sebagai sosok yang sederhana. Dia, orang yang berilmu tinggi. Dia, luwes dalam berinteraksi dengan sesama, sehingga pergaulannya luas.
Dia ulama sekaligus akademisi yang produktif. Sebagai ulama, dia aktif berdakwah. Kelebihannya, dia mampu menjelaskan hukum-hukum Islam dengan baik. Dia pemilik sejumlah karya tulis berupa buku.
Yunahar seorang teladan. Pada dirinya melekat citra, antara lain: Pembelajar dan pendidik, aktivis dan organisatoris, dai cekatan, tangguh dan bijak, serta ulama-penulis.
Pembelajar dan Pendidik
Yunahar tuntas menyelesaikan semua jenjang pendidikan formal. Gelar Sarjana Muda dia peroleh dari Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang pada 1978. Gelar Sarjana didapatnya di Jurusan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol, Padang, pada 1984. Lalu, dia mendapat gelar Lc dari Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Muhammad Ibnu Saud, Riyadh, Arab Saudi.
Adapun gelar Magister Agama dan Doktor diperoleh Yunahar dari Program Pascasarjana IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Masing-masing pada tahun 1996 dan 2004.
Berikut ini, daftar karya tulis Yunahar terkait dengan tugas formalnya sebagai mahasiswa. Sebagai bagian dari ujian agar lulus sebagai Sarjana Muda, dia membuat tulisan berjudul: Irâb al-Jumal fî Sûrah as-Sajdah. Selanjutnya, dia menulis skripsi Manzilah al-Istisyhâd bi Al-Qur’an Al-Karîm baina al-Istisyhâdât an-Nahwiyah”.
Lalu, saat mengambil Magister Agama Islam, dia menulis tesis: Isu-isu Feminisme dalam Tinjauan Tafsir Al-Qur’an, Studi Kritis terhadap Pemikiran Para Mufassir dan Feminis Muslim tentang Perempuan.
Adapun disertasi pada saat meraih Doktor Ilmu Agama Islam, berjudul: Konstruksi Gender dalam Pemikiran Mufassir Indonesia Modern (Hamka dan M. Hasbi ash-Shiddiqy).
Yunahar menekuni profesi dosen. Dia mengajar di program S-1 sampai S-3 di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Lalu, di kampus yang sama, pernah mendapat amanah sebagai Sekretaris dan kemudian Wakil Kepala Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI) dan Dekan Fakultas Agama Islam (FAI).
Dalam perjalanannya, dia dikukuhkan sebagai Guru Besar Ulumul Qur’an di Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Itu, terjadi pada 18 November 2018.
Di luar kampus, Yunahar pernah sebagai Direktur Pondok Pesantren Mahasiswa Budi Mulia. Pondok Pesantren itu ada di bawah Yayasan Salahuddin Yogyakarta.
Aktivis dan Organisatoris
Yunahar suka berorganisasi. Yunahar, tipe aktivis. Saat mahasiswa, dia Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang (1977-1979). Juga, Ketua Umum DPC IMM Kota Padang (1977-1979).
Tak hanya skala Kota Padang, dia juga aktivis di tingkat Sumatera Barat. Yunahar Wakil Ketua DPD IMM Sumatera Barat (1978-1979). Bahkan, saat belajar di luar negeri, Yunahar juga tetap sebagai aktivis. Dia Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Riyadh, Saudi Arabia (1982-1983).
Yunahar juga aktif di organisasi dengan anggota dari berbagai latar belakang. Dia Wakil Ketua Divisi Pembinaan Umat ICMI Orwil Daerah Istimewa Yogyakarta (1991-1995). Dia pun, Ketua Majelis Ulama Indonesia Pusat 2005-2010, 2010-2015, dan Wakil Ketua Umum MUI Pusat (2015-2020).
Adapun di PP Muhammadiyah, berikut ini catatan keorganisasiannya. Yunahar Wakil Ketua Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah (1995-2000). Lalu, Ketua Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah (2000-2005). Kemudian, Ketua PP Muhammadiyah di tiga periode yaitu 2005-2010, 2010-2015, dan 2015-2020.
Khusus di MUI, ini jejak Yunahar. Dia berkhidmat di MUI sejak 2005. Pada 2005-2010 Yunahar mendapat amanah sebagai Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional. Periode berikutnya, 2010-2015, dia sebagai Ketua MUI Bidang Penelitian dan Pengkajian. Adapun, pada periode 2015-2020, dia sebagai Wakil Ketua Umum MUI yang membidangi masalah-masalah keagamaan.
Di samping itu, Yunahar pernah sebagai Wakil Ketua Umum Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI. Atas pengabdiannya, dia dipilih sebagai Tokoh Syariah 2019 oleh Majalah Investor. Kecuali itu, Yunahar juga pernah menjadi Dewan Pengawas Syariah (DPS) di Bank Bukopin Syariah, Mandiri Utama Finance Syariah, serta Asuransi WanaArtha.
Dai Cekatan
Yunahar Ilyas pembicara yang menarik. Ceramah-ceramah dia sangat mengesankan. Ini, karena di setiap ceramahnya selalu ada perspektif baru dan itu menggugah pikiran jamaah. Terasa, di setiap majelis ilmu yang diisinya selalu hidup dan dihadiri banyak jamaah.
Memang, bagi yang mengenalnya, Yunahar piawai dalam bertabligh. Uraiannya mudah dicerna umat. Dia, ramah dan mudah bersahabat. Dia, hati-hati dalam bersikap sehingga terasa sebagai pribadi yang bijaksana.
Yunahar berpengetahuan luas. Ilmunya, terutama di bidang tafsir, mendalam. Terkait itu, dia lalu sering disapa oleh teman-teman dan murid-murid / jamaahnya dengan “Buya Yun”. Sapaan “Buya Yun” melengkapi dua sapaan lainnya yaitu “Pak Yun” dan “Prof. Yun”.
Yunahar aktif memberikan ceramah agama Islam di dalam dan di luar negeri. Dia dikenal rajin memenuhi undangan untuk memberi pengajian, di manapun. “Beliau rutin mengajar tafsir di Gedung PP Muhammadiyah Yogyakarta dan Jakarta serta dikenal ringan hati untuk memberi pengajian ke manapun,” kata Haedar Nashir.
Di hari-hari akhir hidupnya, meski dalam kondisi yang kurang sehat dan tubuh yang semakin lemah, Yunahar beberapa kali masih menyempatkan diri menghadiri rapat pimpinan harian rutin setiap Selasa di Gedung MUI Pusat. Bahkan, saat tubuhnya benar-benar mengurus dan harus selalu didampingi sang istri, Yunahar tetap hadir di Lombok dalam acara Rapat Kerja Nasional MUI Pusat terakhir masa khidmat 2015-2020 di pertengahan Oktober 2019. Hal ini menunjukkan komitmen Almarhum dalam mengabdi untuk umat dan bangsa.
Tak hanya tangguh, Yunahar juga dikenal sering punya pandangan yang diterima banyak pihak. “Beliau adalah orang bijak yang sering bisa melihat celah di saat banyak orang sudah mengalami rasa buntu. Beliau adalah ulama yang mumpuni,” kata Anwar Abbas – Sekjen MUI (https://mui.or.id/berita/27437/mengenang-kiprah-prof-yunahar-ilyas-di-mui-untuk-umat-dan-bangsa/).
Ulama-Penulis
Yunahar rajin menulis. Berikut ini daftar judul buku karya Yunahar. Sebagian berasal dari karya tulis akademik saat menempuh pendidikan tinggi.
Kuliah Aqidah Islam (1992), Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an, Klasik dan Kontemporer (1997); Kuliah Akhlaq (1999); Akhlaq Masyarakat Islam (2002); Kisah Para Rasul (2006); Kesetaraan Gender dalam Pemikiran Para Mufassir (2006); Tipologi Manusia Menurut Al-Qur’an (2007); Cakrawala Al-Qur’an; Tafsir Tematis tentang Berbagai Aspek Kehidupan (2003); Kuliah Ulumul Qur’an; Dialektika Pemikiran Islam; dari Klasik hingga Modern (2015).
Yunahar juga cakap melakukan editing buku. Setidaknya, ada tiga karya buku hasil editing dia: Muhammadiyah dan NU, Reorientasi Wawasan Keislaman; Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis; dan Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an.
Pembacaan Berkesan
Kita buka buku Dialektika Pemikiran Islam; dari Klasik hingga Modern. Buku ini kumpulan tulisan atau makalah yang pernah disampaikan Yunahar di berbagai forum.
Berikut ini, judul tujuh tulisan yang dimaksud: Sejarah Politik pada Zaman Ali ibn Abi Thalib: Studi Kritis tentang Perang Jamal; Dari Politik ke Teologi: Sejarah Pemikiran Khawarij; Tajdid Imam Syafi’i dalam Aqidah; Manhaj Fiqh Syekh Muhammad ibn Abd Al-Wahab; The Admonitions of Seh Bari: Pemikiran Mistik Islam Kejawen Abad ke-16 M; Syekh Yusuf Makssari dan Karyanya an-Nafhah as-Sailaniyah; dan Reaktualisasi Ajaran Islam: Studi atas Pemikiran Hukum Munawir Sjadzali.
Setelah dikaji, berikut ini kesimpulan Yunahar. Pertama, untuk kajian Sejarah Politik pada Zaman Ali ibn Abi Thalib: Studi Kritis tentang Perang Jamal. Kesimpulannya, bahwa Aisyah RA, Talhah RA, dan Zubair Ra tidak memiliki motivasi memberontak terhadap Ali RA. Mereka hanya menuntut pelaksanaan hukuman mati, segera terhadap para pembunuh Usman RASementara, Ali bin Abi Thalib RA punya pandangan lain.
Peperangan, kata Yunahar, tidak bisa dicegah sejak dini karena dialog baru terjadi setelah kedua pihak membawa pasukan masing-masing dalam jumlah besar. Massa yang besar memang sukar dikendalikan, apalagi dalam suasana negara tidak stabil. Lebih-lebih lagi, para pembunuh Usman Ra dan pendukungnya menjadi bagian dari masyarakat tersebut.
Peristiwa ini, tegas Yunahar, bisa menjadi pelajaran bagi tokoh-tokoh yang berbeda pendapat agar menghindari pengerahan massa dalam penyelesaian konflik sesama mereka. Lebih baik dialog dilakukan sedini mungkin tanpa melibatkan massa (2015: 20-21).
Kedua, untuk kajian Dari Politik ke Teologi: Sejarah Pemikiran Khawarij. Ini kesimpulan Yunahar: Bahwa, pemikiran politik dan teologi serta sikap ekstrem Khawarij lahir terutama disebabkan oleh latar belakang sosio-kultural mereka sebagai orang-orang Arab Badawi yang punya watak keras, kasar, dan berani, sehingga mereka tidak gentar mati walaupun untuk hal-hal yang tidak perlu.
Kata Yunahar, sebutan Qurra’ bagi mereka (sebelum dikenal dengan nama Khawarij) tidaklah menunjukkan arti sebagai para penghafal Al-Qur’an. Istilah itu, menunjuk kepada arti bahwa mereka orang-orang desa.
Dari sejarah Khawarij, lanjut Yunahar, kita dapat mengambil pelajaran bahwa persoalan-persoalan sosial-politik kalau dibungkus dengan agama bisa mendatangkan bahaya yang lebih besar, apalagi kalau dilakukan oleh orang-orang yang pemahaman dan penguasaannya terhadap ajaran Islam sangat terbatas bahkan sangat sempit. Wawasan yang sangat sempit dan tertutup dapat melahirkan ekstremitas, tidak hanya pemikiran tapi juga sikap dan tindakan (2015: 42-43).
Ketiga, untuk kajian Tajdid Imam Syafi’i dalam Aqidah. Ini kesimpulan Yunahar: Bahwa Imam As-Syafi’i melakukan tajdid dalam aqidah, dalam arti pemurnian aqidah Islam dari segala sesuatu yang akan mengotorinya terutama dari pendekatan kalam yang bersifat filsafat. Beliau berupaya mengembalikan segala persoalan aqidah kepada dua sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan as-Sunnah berdasarkan pemahaman as-salaf as-shaleh.
Tajdid yang dilakukan Imam Syafi’i, lanjut Yunahar, masih tetap relevan dilakukan dalam zaman kita sekarang ini karena sampai hari ini aqidah umat Islam belum sepenuhnya bersih dari segala macam unsur kemusyrikan, baik dalam bentuknya yang tradisional maupun yang kontemporer. Semangat Imam Syafi’i yang berusaha setia mengembalikan segala sesuatu kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah sudah seharusnya kita warisi dan kita pelihara terus-menerus (2005: 58).
Keempat, untuk kajian Manhaj Fiqh Syekh Muhammad ibn Abd Al-Wahab. Ini kesimpulan Yunahar: Bahwa Syekh Muhammad Abdul Wahab, dalam bidang fiqh-sebagaimana bidang-bidang yang lain-, selalu berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah. Beliau berangkat dan mengembalikan segala sesuatunya kepada kedua sumber utama ajaran Islam itu. Sekalipun beliau dididik sejak kecil dalam mazhab Hambali dan kemudian menjadi pengikutnya, tetapi beliau tidaklah memiliki sikap fanatik atau ta’ashub dengan mazhab ini dan tidak ada hambatan bagi beliau mengambil pendapat mazhab yang lainnya jika menurutnya sesuai dengan Al-Qur’an dan as-Sunnah (2015: 72-73).
Kelima, untuk kajian The Admonitions of Seh Bari: Pemikiran Mistik Islam Kejawen Abad ke-16 M. Di situ ada dua paragraf penutup. Di paragraf akhir, ini harapan Yunahar, bahwa untuk tema ini perlu penelitian yang lebih mendalam, terkait: 1).Siapa pengarang manuskrip tersebut. 2).Tentang pemilihan nama ajaran manuskrip. 3).Siapa sebenarnya tokoh bernama Seh Bari dalam manuskrip tersebut dan siapa pula murid-muridnya (2015: 92-93).
Keenam, untuk kajian Syekh Yusuf Makassari dan Karyanya an-Nafhah as-Sailaniyah. Ini kesimpulan Yunahar: Bahwa, Syekh Yusuf Al-Makassari bukanlah seorang tokoh sufi yang menjauhkan dirinya dari kehidupan duniawi. Dia terlibat secara langsung dalam dunia politik di Banten, bahkan masuk dalam konflik bersenjata melawan Sultan Haji yang bersekongkol dengan Belanda.
Keterlibatannya secara intensif dalam dunia tasawuf, lanjut Yunahar, tidak menyebabkan Syekh Yusuf Makassari lari dari realitas duniawi. Sikap seimbang yang diperlihatkan Syekh Yusuf Makassari tersebut sesuai dengan ajaran yang menekankan pentingnya keterpaduan antara hakikat dan syariat.
Di samping itu, masih kata Yunahar, Syekh Yusuf Makassari mendasari ajaran tasawufnya dengan pemurnian tauhid kepada Allah dengan menegaskan bahwa Allah itu Maha Esa dan tidak ada satupun makhluk yang menyerupai-Nya. Sedangkan pemikirannya tentang peran dan fungsi Syekh, konsepsi tentang tarekat dan dzikir, tidak ada bedanya dengan ajaran tasawuf lainnya (2015: 114-115).
Ketujuh, untuk kajian Reaktualisasi Ajaran Islam: Studi atas Pemikiran Hukum Munawir Sjadzali. Ada tiga paragraf penutup di tulisan Yunahar. Berikut ini ungkapan Yunahar di paragraf akhir: “Bagaimanapun pengaruhnya, yang pasti gagasan reaktualisasi ajaran Islam yang dilontarkan Munawir (Sjadzali) dapat merangsang aktivitas intelektual di Indonesia, khususnya dalam bidang studi Islam” (2015: 137).
Umat Islam kehilangan besar atas kepergian Yunahar Ilyas pada 2020. Dia ulama berilmu tinggi dan rendah hati. Saat dia wafat, setidaknya dua judul berita berikut ini cukup menggambarkan ketinggian ilmunya dan kemuliaan akhlaknya: “Sosok Ulama Langka Itu Telah Pergi” dan “Ribuan Umat Melepas Sang Ulama Santun”
Kehidupan terus berjalan. Perjuangan tetap harus kita gerakkan. Salah satu pilihan medan perjuangan, adalah melanjutkan dan meningkatkan apa-apa yang telah dikerjakan Sang Kiai Teduh bernama Buya Yunahar Ilyas.
Tetap bersemangatlah! Selalu optimislah dalam berdakwah! Pegang spirit kepejuangan Yunahar Ilyas. Warisi ilmu-ilmu Yunahar Ilyas, antara lain lewat sejumlah buku karyanya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni