PWMU.CO – Kontroversi Tak Libur Sekolah di Bulan Puasa Zaman Menteri P dan K Daoed Joesoef. Pada tahun 1978 pada zaman Orde Baru di bawah Pemerintah Presiden Soeharto, muncul kebijakan kontroversial bagi umat Islam, yakni sekolah masuk saat puasa Ramadhan. Kebijakan ini menuai protes keras dari kalangan Islam, karena sebelumnya, selama bulan suci Ramadhan, sekolah diliburkan secara penuh.
Untuk memperoleh gambaran bagaimana kontroversi itu terjadi, redaksi menurunkan tulisan ini, yang dikutip dari buku karya Lukman Hakiem berjudul Biografi Mohammad Natsir: Kepribadian, Pemikiran, dan Perjuangan yang diterbitkan Pustaka Al-Kautsar (Jakarta: September 2019). Pemuatan tulisan ini sudah atas izin penulis.
Tidak lama sesudah diangkat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K), Dr Daoed Joesoef, menerbitkan Keputusan Nomor 0211/U/1978 tertanggal 5 Juli 1978 tentang Sistem Tahun Ajaran Sekolah.Salah satu pasal yang segera menimbulkan kontroversi ialah Pasal 6 yang berbunyi:
- Pada dasarnya bulan Puasa adalah waktu belajar.
- Untuk memberikan kesempatan beribadah puasa dan berhari raya Idul Fitri, ditetapkan hari libur selama 10 (sepuluh) hari kerja yang diatur sebagai berikut:
a. 3 (tiga) hari kerja pada permulaan bulan Puasa;
b. 7 (tujuh) hari kerja di sekitar hari raya Idul Fitri.
Di depan sidang paripurna DPR RI, 30 Januari 1979, Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Keuangan, Prof Dr Ali Wardhana, mengemukakan alasan mengapa sekolah-sekolah tidak diliburkan penuh pada bulanRamadhan, yaitu:
- Bulan Ramadhan selalu maju 11 hari setiap tahun, sehingga kalau bulan Ramadhan dijadikan libur besar, setiap tahun akan terjadi perubah jumlah hari-hari sekolah efektif, dan pelaksanaan kalender pendidikan akan terganggu.
- Penyeragaman hari libur bagi lembaga-lembaga pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi dimaksudkan agar hari libur bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan mutupengetahuan dan kemampuan guru serta tenaga pendidikan lainnya.
- Di negara-negara Islam seperti Tunisia, Irak, Aljazair, dan Mesir, sekolah sekolah tidak diliburkan pada bulan Ramadhan. Kebiasaan libur besar pada bulan Ramadhan berasal dari Pemerintah Hindia-Belanda dulu yang tentunya mempunyai alasan-alasannya sendiri.
- Di samping itu dapat dikemukakan juga alasan dari sudut agama, yaitu ayat-ayat pertama al-Qur’an surat al-Alaq yang diturunkan pada bulan Ramadhan, di mana ayat pertama itu berbunyi, “Bacalah!” yang dapat diartikan menuntut ilmu. Maka wajarlah kalau kita tidak meliburkan sekolah-sekolah pada bulan Ramadhan.
- Agama Islam menganjurkan kaum Muslimin memperbanyak ibadah pada bulan Ramadhan. Jelas kalau kita mendorong siswa-siswa untuk belajar menuntut ilmu, hal ini merupakan ibadah pada bulan Ramadhan.
Pada kesempatan lain, Daoed Joesoef menjelaskan bahwa kebijakan libur sekolah pada bulan Ramadhan di zaman Belanda hanya diperuntukkan bagi Sekolah Ongko Loro (Sekolah Rakyat Dua Tahun), dan “Tujuannyamungkin untuk membodohkan rakyat Indonesia,” ujar Daoed Joesoef sembari menambahkan, dirinya yang bersekolah di Holland Inlandse School (HIS) tidak libur pada bulan puasa.
Reaksi Tokoh Islam
Masih di harian Pelita pada hari yang sama, keterangan Daoed Joesoef dibantah oleh anggota Fraksi PP DPR-RI, KH Abdul Aziz Halim. “HIS zaman Belanda dulu libur pada bulan Puasa. Saya adalah tamatan HIS, dan menurut hemat saya Pemerintah Belanda meliburkan HIS dan Sekolah Ongko Loro pada bulan Puasa bukan bermaksud memperbodoh anak-anak kita. Maksudnya adalah menghormati bulan Puasa dan memberikan kesempatan kepada pelajar-pelajar untuk beribadah sebaik-baiknya dalam ulan suci tersebut,” kata Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Ummat Islam (PB PUI) itu.
Menteri Agama (1962-1967), KH Saifuddin Zuhri, menulis artikel khusus menanggapi keterangan Daoed Joesoef. Menurutnya, selama 34 tahun merdeka (1945-1979) kita telah mempunyai Menteri Pendidikan yang begitu banyak jumlahnya. Mereka itu dalam kebijakan pendidikan sekolah-sekolah negeri pada bulan nasional antara lain meliburkan Ramadhan. “Tentulah mereka tidak hendak membuat rakyat menjadi bodoh,” sindir tokoh NU itu.
Bekas Duta Besar RI di Saudi Arabia, H Aminuddin Azis membenarkan bahwa di Saudi Arabia, sekolah tidak libur pada bulan Ramadhan, karena liburan di Saudi ditentukan berdasarkan peredaran musim, yaitu bila tibamusim panas, maka semua sekolah diliburkan. Musim panas di Saudi Arabia dan negara-negara Arab lainnya berlangsung tiga bulan. “Pada bulan-bulan itulah, sekolah diliburkan. Indonesia tidak bisa dipersamakandengan negara-negara Arab dalam menentukan masalah liburan sekolah. karena kondisi iklimnya berbeda,” katanya membantah Daoed Joesoef.
Reaksi dan kritik terhadap kebijakan Menteri Daoed Joesoef datang dari berbagai organisasi kemasyarakatan seperti Muhammadiyah, NU Jami’iyatul Washliyah, Badan Kerja Sama Pondok Pesantren (BKSPP) Jawa Barat, PB HMI, dan PB PII; tokoh-tokoh umat Islam, dan anggota DPR RI. Semua reaksi dan kritik itu ditampung dan disuarakan oleh Pimpinan MUI.
Keputusan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) III MUI, 15-17 Oktober 1978 berbunyi: “Mengusulkan kepada Pemerintah agar bulan Ramadhan tetap dijadikan libur sekolah.” Dalam pernyataan tanggal 1 Mei 1979, MUI mensinyalir masalah libur sekolah pada bulan Ramadhan tidaklah berdiri sendiri, tetapi ada kaitannya dengan usaha-usaha pihak tertentu untuk menyekulerkan Negara Pancasila.
Ancam Sekolah yang Libur
Jangankan mundur dari kebijakannya, Menteri Daoed Joesoef malah menebar ancaman kepada sekolah-sekolah swasta yang tetap meliburkan sekolahnya pada bulan Ramadhan. Daoed Joesoef mengancam akarmencabut subsidi untuk sekolah-sekolah tersebut. Sekolah-sekolah yang menyatakan akan tetap libur pada bulan Ramadhan antara lain Muhammadiyah, Perguruan Asy-Syafiiyyah Jakarta, Lembaga Pendidik Ma’arif NU, dan Bahrul Ulum Tambakberas Jombang.
Sehubungan dengan ancaman Menteri Daoed Joesoef itu, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) melalui Ikatan Masjid Indonesia (IKMI) mengundang para pengurus masjid untuk membahas ancaman tersebut. Pertemuan di Masjid Al-Ghuraba, Rawamangun, Jakarta Timur itu berhasil menghimpun dana yang kemudiandiserahkan kepada Muhammadiyah sebagai tanda solidaritas dan dorongan agar Muhammadiyah hidup mandiri, tanpa menggantungkan diri kepada bantuan Pemerintah.
Dalam pada itu, Natsir menyesalkan ucapan Menteri Joesoef bahwa tidak diliburkannya sekolah-sekolah pada bulan Puasa bukan masalah agama, melainkan demi kepentingan nasional. Natsir mengingatkan bahwa jiwa kebangsaan seorang Muslim Indonesia sama sekali tidak akan berkurang hanya karena dia memperhatikan kepentingan agamanya. Natsir bertanya, apakah yang menjadi ukuran nasionalisnya seseorang bila kaum Muslimin yang sudah berjuang selama ini dinyatakan tidak memperhatikan kepentingan nasional.
Menurut Natsir, dengan pernyataannya di dalam soal libur sekolah pada bulan Ramadhan, Menteri Daoed Joesoef telah mengaitkan dua soal yang saling dipertentangkan, yaitu soal agama dan soal kepentingannasional. “Bagi kita, umat Islam, tidak ada pemisahan antara kepentingan agama dengan kepentingan nasional,” tegas Natsir. (*)
Kontroversi Tak Libur Sekolah di Bulan Puasa Zaman Menteri P dan K Daoed Yoesoef; Editor Mohammad Nurfatoni