PWMU.CO – Fastabiq al-Khairaat, yang yang lazim dibaca fastabiqul khairat, adalah istilah yang popular di kalangan Muhammadiyah. Buktinya, ia jadi semboyan di Pemuda Muhammadiyah dan salam penutup Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.
Umumnya, istilah ini diartikan dengan “berlomba-lomba dalam kebaikan”, yang secara struktur bahasa maupun tafsir, sesungguhnya punya makna lebih. Demikian disampaikan oleh Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, DR Abdul Mu’ti dalam Kajian Ahad Pagi “Pencerah” di halaman Universitas Muhammadiyah Surabaya, (23/4).
(Berita terkait: Ini Kata Muhammadiyah tentang Tuntutan Ringan Jaksa untuk Ahok)
“Berlomba dalam berbuat baik itu sudah bagus. Tapi berbuat baik saja tidak cukup, harus punya keunggulan,” tambah Mu’ti merujuk tantangan zaman kekinian sambil menyatakan makna fastabiqul khairaat itu lebih tepat sebagai “berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik”.
Dalam pandangan Ketua Badan Akreditasi Nasional (BAN) itu, makna fastabiq al-khairaat yang dilakukan oleh Muhammadiyah selama ini, setidaknya terdapat 4 prinsip yang antara satu prinsip dengan prinsip lainnya saling terkait dan tidak bisa dipisahkan.
(Baca juga: Stop Labelisasi Umat Islam Anti-NKRI, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah dalam Tabligh Akbar di Kota Malang)
“Kita bisa berfastabiqul khairat, jika kita senantiasa berbuat baik, fi’lul khair. Atau dalam bahasa al-Quran ‘amalush shaalihaat’, beramal shaleh,” jelas Mu’ti tentang prinsip yang pertama.
Dengan berseloroh, Mu’ti mencontohkan dalam kekinian ada orang yang menampilkan dirinya dengan foto yang baik. Fotonya baik, tapi amalnya tidak baik. Ada orang yang mengedit gambar fotonya hingga terlihat baik, meski kenyataannya tidak. “Kira-kira yang begini bertahan atau tidak? Tentu tidak,” kata Mu’ti.
(Baca juga: Abdul Mu’ti: Jangan Curigai Muhammadiyah dan Tipe-Tipe Warga Muhammadiyah versi Abdul Mu’ti)
“Tapi kalau kita baik karena kita berbuat baik, maka orang lain akan menilai apa yang dikatakan sama dengan yang dilakukan,” kata Mu’ti. Karena itu, tegasnya, berbuat baik ini memang harus didasari pada kenyataan, bukan lain-lainnya. “Bukan dengan pencitraan, tapi dengan perbuatan.”
Prinsip fastabiqul khairat yang kedua adalah berbuat baik yang banyak. “Prinsip yang kedua, berbuat baiknya itu harus banyak, aktsaru ‘amalaan,” kata Mu’ti. Karena kalau berbuat baiknya hanya sedikit, maka siapa dan apa pun tidak akan bisa eksis, tidak bisa bertahan.
“Karena itu, kata “shalihat” disebutkan dalam bentuk jama’,” kata Mu’ti merujuk pada kata “’amilush shaalihaat” yang terdapat dalam banyak ayat al-Quran.
(Baca juga: 3 Tipe Kepemimpinan Kontemporer Muhammadiyah Versi Dr Abdul Mu’ti)
Lebih daripada itu, tambah Mu’ti, kata shalihaat atau kebaikan-kebaikan ini ternyata bentuknya tidak pernah disebutkan, sehingga tidak harus pakem mengikuti ini dan itu. “Karena bentuknya tidak terikat, silahkan berbuat baik sesuai dengan kreativitas.”
Prinsip fastabiqul khairaat yang ketiga adalah, perbuatan baik yang banyak itu harus dikelola dengan sebaik-baiknya. “Ahsanu ‘amalaan. Harus dikelola dengan sebaik-baiknya, dengan prinsip ihsan,” jelas Mu’ti.
(Baca juga: Berapa Gaji Guru Sekolah Muhammadiyah? “6 Koma”, begitu Kata DR Abd. Mu’ti)
Amal yang baik saja, meski jumlahnya banyak, kata Mu’ti, orang tidak mau datang jika di dalamnya tidak ada keunggulan. “Sehingga surat al-Mulk itu, diantara kita ditanya oleh Allah saat kita sudah wafat nanti adalah liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amalaa,” jelasnya sambil pentingnya Muhammadiyah punya keunggulan-keunggulan dalam setiap amal usaha yang didirikan.
“Yang keempat, yang menurut saya kuncinya, adalah harus melakukan upaya-upaya satu, dua, dan tiga itu dengan kreativitas yang tinggi,” jelas Mu’ti tentang prinsip keempat fastabiqul khairaat. “Istabaqa, artinya menjadi the first. Orang lain belum berpikir, kita sudah melakukan.”
(Baca juga: Abd Mu’ti: Jangan Pertentangkan Perbedaan Muhammadiyah dan NU! dan Abd Mu’ti: Muhammadiyah dan NU adalah Penopang Kemajuan Bangsa)
Mu’ti lantas memberikan contoh tentang perjalanan Muhammadiyah pada tahun 1920-an yang sudah menggagas universitas. “Itulah fastabiqul khairaat,” jelas Mu’ti. “Menggagas rumah sakit pada tahun rong puluh (dua puluh), orang lain belum memikirkan, kita sudah memikirkan dan kita sudah melakukan.”
“Dengan cara inilah, alhamdulillah Muhammadiyah bisa bertahan dan terus berkembang,” urai Mu’ti. Tapi, prinsip fastabiqul khairaat yang dilakukan oleh Muhammadiyah ini memang punya kelemahan. “Tapi pilihan-pilihan seperti ini terkadang menjadi pilihan yang sunyi, yang kadang-kadang tidak dianggap telah melakukan heroisme dan kepahlawanan.”
“Tapi inilah cara yang dilakukan oleh Muhammadiyah,” tegas Mu’ti di hadapan 2.000-an jamaah yang hadir dengan menekankan fastabiqul khairaat sebagai spirit dalam ber-Muhammadiyah. (abqaraya)