Permainan yang Dimainkan kolom opini oleh Ikhwanushoffa, Direktur Lazismu Jawa Tengah.
PWMU.CO– Judul di atas dalam maksud positif. Setiap pemimpin pasti mempunyai ”permainan” yang akan ia mainkan dalam menjalankan amanahnya.
Permainan ini yang ke depan menjadi ritme yang akan diikuti seluruh jajarannya hingga ke bawah. Pemimpin yang tidak mempunyai permainan adalah pemimpin yang kehilangan karakter.
Tiap permainan tidak berdiri sendiri, pasti di sisinya ada aturan main (rule of the game). Kalau di Persyarikatan aturan ini sering disebut dengan nomenklatur.
Nomenklatur semacam menjadi kalimatun sawa. Titik sama dari isi kepala kita masing-masing yang berbeda. Kalau ingin punya aturan permainan baru, maka ubahlah nomenklatur atau bikin nomenklatur baru sebagai penganti.
Boleh? Sangat boleh. Ada satu rule of the game Lazismu yang mau saya bahas saat ini, yakni soal Kantor Layanan (KL) Lazismu. Istilah KL pertama terlahir dari Rakornas Sidoarjo 2016. Berturut kemudian hadir Pedoman dan berbagai Panduan Lazismu yang menaruh KL sebagai bagian integral dari Lazismu Perwakilan sebagai Lazismu Pembentuk.
Lazismu Perwakilan seperti hasil Rakornas saat itu juga, pun di Pedoman dan Panduan, paling bawah adalah Lazismu Daerah. Konsekuensi ikutannya adalah audit keuangan oleh KAP hanya berhenti di tingkat daerah.
Sedang keuangan KL terintegrasi di Lazismu Pembentuk. Persoalan baru kemudian muncul. Banyak KL yang keuangan belum mau terintegrasi. Apa yang harus dilakukan? Membiarkan mereka tidak teraudit atau ikut diaudit namun menyelisihi nomenklatur? Dari sanalah karakter seorang leader akan tampak.
Masing-masing pilihan mengandung konsekuensi. Namun hemat kami menjaga kalimatun sawa adalah yang paling bijak. Mengikutkan audit KL yang belum mau integrasi berbarengan dengan Lazismu Pembentuk selain menyelisihi nomenklatur juga membuat proses integrasi KL makin berat.
KL merasa makin terlegitimasi untuk berdiri sendiri. Di sini sebenarnya ada dua pilihan. Pilihan pertama, ubah nomenklatur yakni mandirikan KL sebagai entitas Lazismu Perwakilan. Effort-nya nanti Lazismu Pembentuknya harus melakukan pendampingan audit secara intens. Pertanyaan selanjutnya, mau sampai level mana Lazismu Perwakilannya. Kecamatan? Desa/Kelurahan seperti Persyarikatan Muhammadiyah? Atau bahkan AUM?
Mari kita baca dulu definisi masing-masing di pasal Ketentuan Umum Pedoman Lazismu: ayat 18. Lazismu Pusat adalah Lazismu yang berkedudukan di ibu kota negara.
Ayat 19. Lazismu Wilayah adalah Perwakilan Lazismu Pusat yang berkedudukan di ibu kota provinsi.
Ayat 20. Lazismu Daerah adalah Lazismu Wilayah Pembantu yang berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota.
Ayat 21. Kantor Layanan Lazismu adalah unit pengumpul Ziska yang dibentuk oleh Lazismu di semua tingkatan untuk membantu menghimpun dan mengusulkan penyaluran dana Ziska. Silakan definisi mana yang akan diubah.
Atau pilihan kedua, tetap sesuai nomenklatur yang ada. Effort-nya digunakan untuk kampanye internal di Persyarikatan bagaimana mimpi intergasi keuangan ZIS makin merealita.
Kami berharap Lazismu tidak putus asa. Mengubah nomenklatur gak yakin, mengubah budaya kerja KL juga gak confident. Duh, gak berkarakter.
Lazismu yang saya pahami adalah seperti gerbong-gerbong kereta api yang bergerak satu rel di belakang lokomotifnya yakni Pusat. Bukan sekumpulan pedati yang kumpul di alun-alun lalu terserah siapa yang order lalu jalan sendiri-sendiri. So, permainan apa yang mau dimainkan?
Wallaahu a’lam.
Editor Sugeng Purwanto