PWMU.CO– Buku Buya Hamka beredar mengisi perdebatan tentang penggunaan hisab atau rukyat untuk menentukan awal puasa, 1 Syawal, Hari Arafah dan 10 Dzulhijjah, masih terus menghangat.
Buku Buya Hamka yang menjawab pertanyaan diajukan Hasan Basri Sulthan sebagai ‘dalil’ untuk mematahkan konsolidasi organisasi Muhammadiyah.
Pertanyaan yang diajukan Hasan Basri Sulthan tersebut berkaitan dengan penggunaan metode penentuan 1 Ramadan tahun 1392 H atau 1972 Masehi. Jawaban Buya Hamka tersebut diterbitkan oleh Firma Islamiyah Medan 1972 dengan judul Saya Kembali ke Ru’yah Menjelang 1 Ramadhan 1392 H.
Terkait dengan ramainya jagat maya membahas dokumen jawaban dalam buku Buya Hamka tersebut, ulama Muhammadiyah, Ajengan Wawan Gunawan Abdul Wahid pada Jumat (28/42023) memberikan respon, dokumen seperti itu akan selalu muncul dalam rangka mengganggu konsolidasi organisasi.
Dalam pengamatan anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah ini, sebelum dokumen jawaban Buya Hamka itu, Muhammadiyah juga diganggu dengan menyebarnya photo copy kitab fikih jilid 3 yang dinisbatkan kepada KH Ahmad Dahlan.
Dia menjelaskan, tentang penggunaan metode hisab untuk menentukan awal Ramadan maupun Hari Raya Idul Fitri, bukan hanya Muhammadiyah saja yang menggunakannya, tapi juga tidak sedikit pesantren yang menggunakan metode hisab, termasuk pesantren-pesantren yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU).
”Padahal di lingkungan NU pun tidak sedikit pondok pesantren yang gunakan hisab pada saat umumnya secara organisasi menetapkan penggunaan rukyat,” ungkapnya seperti dimuat muhammadiyah.or.id.
Alumni Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut ini menjelaskan, Muhammadiyah adalah sebuah organisasi yang dalam bidang hukum Islam punya metode penemuan hukum yang disebut manhaj tarjih Muhammadiyah.
”Kepada kerangka epistemologi itulah para ulama Muhammadiyah berpikir, bermusyawarah dan memutuskan perkara bukan kepada tokoh tokoh individual,” katanya.
Termasuk penggunaan metode hisab yang dilakukan oleh Muhammadiyah sejak 1950-an, sambung Wawan Gunawan, itu merupakan keputusan organisasi bukan individu.
”Ketika Muhammadiyah memastikan penggunaan hisab wujudul hilal sejak tahun 1950-an itu keputusan organisasi bukan keputusan pribadi KH Wardan Diponingrat,” tuturnya.
Bukan hanya pada penggunaan metode hisab untuk menentukan waktu-waktu penting ibadah umat Islam, Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid terus melakukan tajdid dalam berbagai bidang.
Sebagai implikasinya akan selalu ada pengembangan pemikiran dalam Muhammadiyah termasuk dalam penggunaan rukyat dan hisab.
Menurutnya jika dahulu, sebagaimana disebutkan HPT Jilid satu, bahwa hisab itu mendampingi rukyat sehingga dinyatakan bahwa untuk memulai puasa dan Idul Fitri dipastikan dengan rukyat dan tidak terlarang gunakan hisab (ash-shaumu wal fithru bir-rukyati wa laa maani’a bilhisaab).
Saat ini kaidah itu berubah menjadi ”Pendapat yang paling kuat untuk menentukan awal bulan itu dengan hisab” (al ashlu fii itsnatisy syahri bil hisaabi).
Di sisi lain, saat ini metode pendekatan yang digunakan oleh Majelis Tarjih juga diperluas dengan bayani, burhani dan irfani. Demikian halnya produk hukumnya. Hasil dari metode pendekatan tersebut telah disusun Fikih Agraria, Fikih Difabel, Fikih Perlindungan Anak, Fikih Kebencanaan.
Sebentar lagi Fikih al-Ma’un dan Fikih Perempuan. Masuk dalam pengembangan pemikiran itu adalah tentang penggunaan rukyat dan hisab.
”Pandangan terbaru ini didasarkan pada temuan Majelis Tarjih bahwa penggunaan rukyat pada zaman Nabi SAW adalah tuntunan yang diberlakukan sementara karena kondisi saat itu menghendakinya.” Imbuhnya.
Ajengan Wawan Gunawan menjelaskan, kondisi para sahabat saat itu yang menerima hukum belum punya kesiapan untuk melakukan perhitungan tanda-tanda munculnya awal bulan, disebabkan masyarakat saat itu yang ummi yang belum terbiasa menulis dan berhitung.
Wawan menjelaskan bahwa al-Quran sebagai cantolan utama, serta hadis dan rujukan Nabi Muhammad SAW, mengajarkan hisab. Jika rukyat tidak diposisikan sebagai tafsir cerdas dan komunikatif Nabi Muhammad SAW atas ayat-ayat hisab dalam al-Quran maka ajaran Nabi Muhammad SAW itu bertentangan dengan al-Quran.
”Karena itu membaca hadis-hadis tentang rukyat tidak boleh dipisahkan dari ayat-ayat perintah melakukan hisab. Dalam bahasa Imam Muhammad bin Idris asy Syafi’i fal ashlu Qura nun wa Sunnatun, sumber hukum utama itu al-Quran dan as-Sunnah,” tandasnya.
Dalam hematnya, sejauh pembacaan terhadap dokumen yang tersedia, tidak dituliskan oleh Buya Hamka bahwa penentuan awal bulan yang dilakukan dengan hisab (wujudul hilal) adalah tindakan yang tidak bijaksana.
Dia menyanggah, perbedaan pendapat itu dikelompokkan sebagai perbuatan tidak bijaksana. Sebab perbedaan pendapat juga mendapatkan payung pelindung dari agama dan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu Wawan mengajak untuk kembali pada, al-Quran, Sunnah dan dalam konteks Indonesia juga kembali pada UUD 1945.
”Pertama, yang penting ketika ada ragam pendapat penyelesaiannya dikembalikan kepada al- Quran dan Sunnah. Kedua, UUD menyantuni setiap perbedaan pendapat sebagai bagian dari hak warga negara,” tandasnya. (*)
Editor Sugeng Purwanto