Hardiknas 2 Mei Itu Ahistoris oleh Muhammad Syaifudin Zuhri, Alumnus Ilmu Sejarah Universitas Negeri Surabaya (1996-2000).
PWMU.CO– Membaca berita https://pwmu.co/146007/05/02/hardiknas-mengapa-ki-hajar-bukan-kiai-dahlan1/ yang ditulis Rektor Umsida, Dr Hidayatulloh MSi, patut kita cermati dan renungi.
Jika hal di atas merupakan kebenaran sejarah rasanya perlu juga warga Muhammadiyah untuk mendukung sekaligus memperjuangkan gagasan Wakil Ketua PWM Jatim Bidang Pendidikan, Pustaka, Informatika, dan Digitalisasi itu.
Saya berkunjung ke rumah KH Ahmad Dahlan dan Langgar Kidoel di Kauman Yogyakarta, Rabu (3/5/2023) pagi. Bertemu Bunda Tinuk, petugas jaga situs ini sejak tahun 2010.
Kunjungan ini refleksi memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hadiknas) dengan meninjau lokasi sekolah pertama milik KH Ahmad Dahlan.
Penelusuran sejarah Hari Pendidikan Nasional yang ditetapkan Presiden Sukarno sejak 1959 harus dinamis butuh penelitian komprehensif berdasarkan metodologi sejarah dengan mencari sumber-sumber yang otentik dan primer. Seperti catatan pelaku selaku sejarah, catatan dari orang yang sezaman, arsip pemerintah kolonial hingga artikel berita masa itu. termasuk dengan memadukan pendekatan ilmu sejarah dan arkeologi.
Di rumah KH Ahmad Dahlan dan Langgar Kidoel masih ada koleksi mebel kuno seperti meja kursi, bufet kayu jadul. Sekat papan kayu pemisah ruangan. Langit-langit dari gedeg. Lantai tegel warna abu-abu. Semua benda di atas perlu juga dites secara micro carbon (arkeologi) untuk mengetahui akurasi usianya.
“Memang tidak banyak benda kuno bersejarah di sini. Ada yang sudah dipindahkan ke museum KH Ahmad Dahlan di kampus UMY. Bangunan asli Langgar Kidoel dulu kan dibumihanguskan warga seperti yang diceritakan dalam film Sang Pencerah,” terang Tinuk.
Menurut Tinuk, benda autentik yang masih ada berupa gentong tempat wudhu KH Ahmad Dahlan. Terbuat dari tanah liat dan gamping dengan kran kecil di bawahnya.
“Tempat wudhu Kiai Dahlan ini mau dipindahkan ke museum, tapi tidak jadi. Rencananya akan ditempatkan di dalam langgar di lantai atas,” jelas Tinuk.
Taman Siswa vs Sekolah Muhammadiyah
Sejarah pendidikan nasional seharusnya tidak statis. Mestinya berjalan seiring perkembangan zaman melewati tiga zona waktu; dulu, kini, dan masa depan.
Bila meminjam istilah sepak bola, kita bisa membandingkan head to head perkembangan sekolah antara Taman Siswa (1922) yang didirikan Ki Hajar Dewantara dan sekolah Muhammadiyah ala KH Ahmad Dahlan.
Sekolah Muhammadiyah pertama adalah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah yang berdiri sejak 1 Desember 1911 masih eksis dan mimikri selama 112 tahun. Sekarang berkembang menjadi 19.951 sekolah mulai TK, SD, SMP, SMA, SMK. Sebanyak 176 perguruan tinggi. Sejumlah 102 Pondok Pesantren.
Sekolah-sekolah Muhammadiyah dari PAUD hingga Perguruan Tinggi terus berkembang secara eksponensial menjadi sekolah terbanyak di Indonesia.
Berdasarkan data di atas sepantutnya Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) diperingati setiap tanggal 1 Desember dan KH Ahmad Dahlan adalah tokoh pendidikan nasional. Dengan demikian Hardiknas 2 Mei semestinya dikoreksi.
Sudut Pandang Sejarah
Salah satu jurus khas akademisi ilmu sejarah langkah pertama mengkaji suatu sejarah wajib memakai kacamata historical mindedness, yakni mengkaji sejarah sesuai konteks zamannya.
Misal dalam mengkaji atau menulis peristiwa sejarah perang Diponegoro dan Perang Padri (Imam Bonjol). Jika ditulis di era kolonial maka perang tersebut dipandang sebagai pemberontakan atau aksi teror, yang harus ditangkap sesuai undang-undang Rust en Orde (Gangguan Keamanan).
Namun sesudah Indonesia merdeka, perang Diponegoro dan perang Imam Bonjol dipandang sebagai patriotisme melawan penjajahan sehingga mereka layak disebut pahlawan dan namanya diabadikan menjadi nama jalan di hampir seluruh tempat di tanah air Indonesia.
Selain faktor historical mindedness , penulisan sejarah juga sangat dipengaruhi sudut pandang penulisnya. Artinya, penulisan sejarah tidak bisa lepas dari unsur subjektivitas dari sang sejarahwan.
Prof Mr Mohammad Yamin SH (24 Agustus 1903-17 Oktober 1962) yang juga sejarawan dan sastrawan ketika menjabat Menteri Sosial dan Kebudayaan Indonesia tahun 1959, bersamaan meninggalnya Ki Hajar Dewantara (2 Mei 1886 – 26 April 1959) mengusulkan ke Presiden Sukarno supaya Ki Hajar Dewantara dianugrahi gelar sebagai Bapak Pendidikan Nasional karena menjabat Menteri Pendidikan dan Pengajaran pertama kali.
Lalu tanggal kelahirannya diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Semboyan ciptaannya ing ngarsa sung tuladha ing madya mbangun karsa tut wuri handayani menjadi slogan Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia.
Koreksi Sejarah
Usulan itu tentu karena pandangan subjektif. Faktor kedekatan dan teman seperjuangan. Ki Hajar Dewantara dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden RI, Sukarno, pada 28 November 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959).
Pengukuhan ini tergesa-gesa.Kurang dari enam bulan setelah meninggalnya Ki Hajar Dewantara langsung ditetapkan sebagai tokoh pendidikan sekaligus pahlawan nasional. Tanpa ada kajian sejarah. Hanya faktor politis. Tanggal 2 Mei yang diperingati itu tak ada peristiwa bersejarah tentang peristiwa pendidikan. Kecuali tanggal kelahiran Ki Hadjar Dewantara. Jadi itu tanggal ahistoris. Tidak ada cantolan sejarah dengan pendidikan nasional.
Karena Hardiknas 2 Mei itu ahistoris maka masyarakat sejarah harus mendesak mengoreksi. Warga Muhammadiyah bisa mengusulkan 1 Desember sebagai ganti Hardiknas sesuai sejarah pendirian sekolah pertama kali oleh KH Ahmad Dahlan.
Merealisasikan ide itu perlu langka strategis dan dukungan banyak pihak, mari kita perjuangkan bersama.
Bila kembali pada konsep historical mindedness, sudah saatnya kita warga Muhammadiyah turut andil dalam upaya meluruskan sejarah pendidikan nasional dengan memunculkan banyak penulis sejarah (sejarawan) di era reformasi.
Editor Sugeng Purwanto