PWMU.CO– Digoyang kanan kiri warga Muhammadiyah makin solid disampaikan oleh Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Abdul Mu’ti di acara Silaturahim Idul Fitri 1444 H, Rabu (3/5/2023).
Acara bertempat di Aula Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Jakarta Pusat. Hadir para tokoh PP Muhammadiyah dan Aisyiyah, termasuk Majelis, Lembaga, Ortom tingkat pusat beserta Rektor dan pimpinan Amal Usaha Muhammadiyah di Jabodetabek.
”Izinkan saya pada kesempatan ini, atas nama pribadi dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, mewakili bapak-bapak di Muhammadiyah, mengucapkan taqaballlahu minna wa minkum, minal aidin wal faizin, mohon maaf lahir dan batin,” ucap Abdul Mu’ti membuka acara seperti dilaporkan muhammadiyah.or.id.
Mu’ti mengatakan, halalbihalal ini adalah tradisi yang sudah dipopulerkan oleh Muhammadiyah sejak 1924. Jauh sebelum versi sejarah yang menyatakan halalbihalal pertama kali muncul pada era Presiden Sukarno tahun 1948.
Menurut dia, menyampaikan, silaturahim ini merupakan momen tepat untuk merajut kembali konsolidasi, persatuan, dan ukhuwah di internal Persyarikatan. Apalagi Muhammadiyah mengalami serangkaian cobaan dalam mengamalkan manhaj-nya pada perayaan Ramadhan 1444 H.
”Tahun ini memang dinamis, sepanjang pengalaman saya di Pimpinan Pusat Muhammadiyah, baru tahun ini kita mengalami ketegangan yang lumayan tinggi,” ujar Mu’ti yang guru besar UIN Jakarta.
Ketegangan itu adalah buah dari perdebatan soal ijtihad hisab-rukyat yang akhirnya munculnya penolakan izin shalat Id Muhammadiyah oleh beberapa wali kota hingga pembentukan narasi bahwa Muhammadiyah tidak taat pemerintah.
”Kita diuji kesabarannya, tapi alhamdulillah kita masih sabar menanggapinya, masih on the track dan mengutamakan akhlak dalam menghadapi ikhtilaf,” ujarnya.
Ramadhan tahun ini, kata Mu’ti, turut menguji soliditas warga Muhammadiyah. Ada upaya untuk menggiring opini bahwa metode hisab tidak lebih ilmiah daripada metode rukyat. Digoyang kanan kiri alhamdulillah warga Muhammadiyah makin solid.
”Ada opini yang terus digiring bahwa menggunakan hisab itu tidak ilmiah, bahwa menggunakan teropong itulah yang ilmiah. Ya sejak kapan ilmu itu dibatasi dengan teropong? Kalau (logika) ilmunya teropong, matematika pun jadi tidak ilmiah, karena tidak pakai teropong. Nah ada opini yang terus digiring seperti itu, dan pada posisi inilah konsolidasi pemikiran dan konsolidasi para intelektual Muhammadiyah itu perlu kita perkuat,” kata dia.
Buku Hamka
Di sisi lain, keluarnya buku Buya Hamka berjudul Saya Kembali ke Ru’yah, kata dia, adalah contoh menggoyahkan paham warga Muhammadiyah. Padahal, Buya Hamka sendiri jika dibaca secara utuh dalam beberapa karyanya, termasuk Tafsir Al-Azhar lebih mengutamakan hisab.
”Karena tidak membaca secara utuh, maka lahirlah pemahaman yang tidak utuh,” tandasnya.
Atas berbagai dinamika di atas, Mu’ti bersyukur warga Muhammadiyah semakin solid. Fenomena di atas menurutnya juga perlu dijadikan pemicu bagi Persyarikatan untuk giat melakukan kajian-kajian historis, penguatan manhaj di internal Persyarikatan hingga sosialisasinya ke ruang publik.
”Sekali lagi ini bukan soal Muhammadiyah ngeyel dan yang penting berbeda. Jadi Muhammadiyah tidak ingin menjadi kelompok yang indifferent, yang penting berbeda, tapi ini persoalan manhaj yang menyangkut keyakinan dan bagaimana Muhammadiyah konsisten menghormati perbedaan,” tegasnya.
Pasca Ramadan 1444 H, Mu’ti berharap warga Persyarikatan semakin solid dalam bergerak meneruskan amar makruf nahi munkar dan tajdid.
”Saya berharap setelah acara silaturahim Idul Fitri ini kita kembali dengan new spirit, semangat baru sebagai new human being setelah kembali ke fitrah kita sebagai makhluk Allah yang mulia, fitrah kita sebagai makhluk Allah yang bersih dari segala dosa dan ke depan segala kesalahan di masa lalu tidak kita ulangi karena kita berusaha lebih arif lagi dan lebih baik lagi dengan mengamalkan wa lam yusirru ala ma fa’alu wa hum ya’lamun,” pesan Mu’ti mengutip surat Ali Imran ayat 135.
Editor Sugeng Purwanto