Oleh Ma’mun Murod Al-Barbasy *)
PWMU.CO – Katanya Indonesia negeri Muslim paling moderat, wasathiyah, tapi kok begitu ketakutan menghadapi kelompok Islam non-mainstream yang secara kuantitatif tak seberapa jumlahnya.
Katanya Indonesia negeri Muslim paling toleran, tasamuh di antara negeri-negeri Muslim lainnya, kok akhir-akhir ini (terlebih setelah Ahok kalah di Pilkada) pada kebakaran jenggot dan teriak-teriak kalau Indonesia darurat intoleran.
(Baca: Kontroversi Masjid Raya Daan Mogot: Itukah yang Dimaksud Dhirar?)
Katanya moderat, lho kok menghadapi kelompok-kelompok yang dinilai ekstrim (tentu tergantung parameternya), radikal (kata yang paling saya benci ketika radikal dimengerti secara negatif untuk memojokkan kelompok Islam). Bukankah beragama memang harus radikal.
Begitu juga bukankah dalam ber-Pancasila juga harus radikal) juga dengan cara-cara ekstrim dan vis a vis. Lalu di mana letak perbedaannya dengan kelompok yang dituduhnya ekstrim? Lalu di mana jargon bahwa dakwah itu merangkul bukan memukul seperti diajarkan Kanjeng Sunan Kalijaga?
(Baca: Wacana Pemisahan Agama dan Politik adalah Pelecehan Pancasila)
Katanya Muslim Indonesia berbeda dari Muslim di Timur Tengah. Islam masuk Indonesia melalui akulturasi budaya, sementara Islam masuk ke negara-negara Arab melalui menaklukkan tentara. Karena cara masuknya demikian, Muslim Indonesia begitu lentur. Tapi kenapa sekarang begitu ketakutan kalau-kalau Indonesia akan bernasib seperti Suriah, Irak, dan Afganistan.
Katanya Denny Siregar (dalam status FB-nya) Agus-Silvy didukung FPI, Anies-Sandi didukung PKS dan HTI, dan Ahok didukung kaum moderat. Tapi ternyata Ahok kalah telak di Pilkada Putaran II, berarti kelompok moderat lebih sedikit jumlahnya dong, kalah jumlah dengan FPI, HTI, dan PKS. [*]
*) Ma’mun Murod Al-Barbasy, warga Muslim biasa yang tidak suka jualan NKRI, Pancasila, Kebhinnekatunggalikaan, dan Kemoderatan. Kolom ini ditulis dalam perjalanannya menuju Yogyakarta, 28/04/2017.