Granada, Mata Air dan Air Mata Peradaban oleh Syamsul Arifin, Guru Besar Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang. (Bagian I-Bersambung).
PWMU.CO– Setelah melaksanakan teaching mobility di Minho University, Braga, Portugal atas sponsor Erasmus+ pada 24-29 April 2023, saya berkunjung ke Madrid dan Granada, Spanyol. Berikut catatan dan refleksi perjalanan itu.
Ahad, 30 April 2023, pukul 18.15, Bandar Udara Adolfo Suárez Barajas-Madrid. Pesawat AirEuropa yang saya tumpangi dari Bandar Udara Internasional Francisco Sa Carneiro, Porto mendarat sesuai dengan jadwal yang tertera di boarding pass.
Pada tanggal yang sama, Islam masuk dan menaklukan Andalusia, nama kawasan di sebagian Semenanjung Iberia (Spanyol dan Portugal). Itu terjadi pada tahun 711 atau 1.312 tahun yang lalu.
Setelah dari Istanbul, lalu ke Braga di Portugal, saya melanjutkan perjalanan ke Madrid, ibu kota Spanyol. Beberapa kawan menyarankan agar saya mampir ke beberapa negara lainnya yang bisa dimasuki dengan visa schengen seperti Prancis dan Jerman. Alasannya mumpung di Eropa. Saya tidak melakukannya. Di samping bersandar pada alasan supporting budget, juga keterbatasan waktu.
Pada setiap kegiatan di luar negeri, lima tahun terakhir ini, saya menggunakan waktu liburan Idul Fitri yang lumayan panjang. Tahun 2018 saya ke Sydney, Melbourne, dan 2019 ke Perth, dua tahun sebelum tsunami Covid-19.
Seharusnya pada 2020, saya ke Australia lagi. Tetapi karena ancaman Covid-19, locus penelitian tahun ketiga, 2020, itu terpaksa dialihkan ke Indonesia. Selama tiga tahun itu, saya mendapatkan hibah kompetitif untuk skema penelitian Kerja Sama Luar Negeri (KLN) dari Kementerian Pendidikan.
Beberapa tahun sebelumnya, saya juga mendapatkan dana Collaborative Research dari Kementerian Agama. Berkat kedua skema penelitian itu, saya sering berkomunikasi dengan Abdullah Saeed, profesor studi Islam di Melbourne University.
Saya tidak mungkin menggunakan waktu selain liburan Idul Fitri. Bepergian hanya dua hari di dalam negeri, meja kerja saya sudah ditumpuki oleh berbagai dokumen.
Kegiatan saya mulai 21 April hingga 4 Mei 2023, disponsori Erasmus+, juga menggunakan waktu liburan Idul Fitri.
Atas pertimbangan setidaknya dua alasan di atas, mampir di Madrid, ibu kota Spanyol, merupakan pilihan yang realistis. ”Sekalian ke Kordoba dan Sevilla saja,” saran salah seorang kawan.”Mumpung di Spanyol,” sambung kawan saya yang pernah berkunjung ke tiga kota itu. Kawan saya tentu mempertimbangkan adanya jejak Islam di tiga tempat yang menjadi bagian Andalusia.
Saya menentukan pilihan ke Granada setelah meminta pertimbangan dari Faiza Husnayeni, putri almarhum Buya Yunahar Ilyas, yang sudah tinggal di Granada selama tiga tahun.
Mbak Faiza adalah dosen di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang studi doktoral bidang ekonomi di Universidad de Granada atas beasiswa penuh dari UMY.
”Granada itu ikoniknya. Pak Syamsul cukup ke Alhambra saja, tidak perlu ke Kordoba dan Sevila. Waktu Pak Syamsul tidak cukup,” saran Mbak Faiza via telpon yang dihubungi sebelum keberangkatan saya ke Braga untuk melaksanakan teaching mobility.
Duta Besar Indonesia untuk Spanyol dan World Tourism Organization (WTO) salah satu organ PBB yang menangani masalah pariwisata, Muhammad Najib, memprovokasi saya.
Ditemui di kediamannya di Húmera, Calle, Monte Alto 44, Madrid, sambil menikmati suguhan makan malam, Pak Dubes memprovokasi begini. ”Diperpanjang saja kunjungannya ke Madrid. Dua hari itu tidak cukup. Pak Syamsul juga perlu ke Kordoba dan Sevilla.”
Tidak cukup provokasi secara verbal, Pak Dubes memperlihatkan video saat berkunjung ke Kordoba. Selain terdapat Masjid Kordoba yang sudah beralih gereja, video Pak Dubes yang juga bisa dinikmati via Youtube, juga menampilkan taman Istana Kordoba yang berhias lampu di malam hari. Terlihat indah.
”Kunjungan berikutnya saja Pak Dubes,”kata saya mengelak dari provokasi Pak Dubes. ”Mudah-mudahan dapat sponsor lagi, Pak Dubes,” sambung saya.
Dengan menyebut sponsor, saya tidak sedang basa-basi. Perjalanan saya ke beberapa negara seperti ke Oslo (Norway) sebanyak tiga kali, Salerno dan Roma (Italia), Athena (Yunani), Turki, Beijing, India, Australia sebanyak lima kali, Provo di Salt Lake City AS, bahkan haji yang pertama pada 1996, karena sponsor dari pemerintah maupun lembaga tertentu di dalam negeri maupun luar negeri.
Perjalanan saya ke India antara lain untuk mengikuti pelatihan Peace on Mind (POM) di Mount Aboue, Ahmadabed, hampir sebulan, disponsori oleh The Asia Foundation. Tentu supporting dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) tidak boleh dilupakan.
Mbak Faiza betul. Granada adalah ikonik. Berada di Granada hanya dengan waktu selama dua hari terbilang singkat. Di Alhambra saja, setidaknya membutuhkan waktu empat jam. Memang lumayan lama bila dibandingkan dengan kunjungan ke Istana Kordoba yang hanya butuh waktu setengah jam menurut cerita dari Pak Dubes.
Alhambra adalah daya tarik paling utama di Granada. Berkunjung ke Granada, tetapi melewatkan Alhambra, adalah kesia-siaan, lebih-lebih bagi pengunjung muslim.
Granada dengan Istana Alhambra atau Palacio de la Alhambra dalam ungkapan Spanyol adalah penanda penting perjalanan peradaban manusia yang merentang jauh ke belakang hingga pada zaman Nabi Muhammad.
Islam yang pada mulanya terbatas di kalangan keluarga Nabi di Mekkah, lalu meluas hingga Madinah setelah hijrah pada 622 M. 89 tahun kemudian pasca hijrah, yaitu pada 711, Islam merangsek masuk ke kawasan Eropa setelah berjaya di beberapa kawasan di Afrika Utara. Islam lalu menjadi fenomena mondial, mendunia.
Tidak hanya populasi Islam yang bertambah. Islam juga merupakan jembatan peradaban kemajuan pada abad pertengahan yang mencerahkan Barat. Abad pertengahan adalah the dark age bagi Barat. Sebaliknya, the golden age Islam bagi Islam.
Keterbelakangan Barat terlihat bahkan untuk hal sepele dalam kehidupan sehari-hari. Abdurrahman Ali al-Hajji dan Raghin as-Sirjani dalam bukunya yang mengupas Andalusia pada zaman Islam, mencontohkan kebiasaan buruk masyarakat pra-Islam di Andalusia yang jarang mandi justru khawatir ditimpa penyakit.
Kebiasaan buruk ini justru mendapatkan pembenaran dari Kristen abad pertengahan. Praktik buruk lainnya adalah persekusi terhadap pemeluk agama lain seperti dialami penganut Yahudi. Granada, terutama Alhambra adalah mata air peradaban. Pada mulanya demikian.
Mengunjungi dan menelusuri bangunan dan tamam di Alhambra seluas 14 hektare, dimulai dari Istana Nasrid, lalu Alcazaba, dan terakhir Generalife. Kendati sudah memakan waktu empat jam, lebih tepat disebut sebagai eksplorasi atau observasi awal.
Tetapi bagi Mbak Faiza, durasi selama itu merupakan kemajuan bila dibandingkan dengan kunjungan yang pertama. Kami (saya, istri, dan anak) beruntung ditemani Mbak Faiza. Dia betul-betul menjadi kawan yang mudah akrab dengan istri dan anak saya. Sebagaimana lazimnya ibu muda kekinian, Mbak Faiza cekatan mengoptimalkan fungsi handphone untuk merekam pernik-pernik bangunan dan pergerakan kami.
Waktu berkunjung hanya empat jam memang belum memadai untuk menghayati esensi dan eksistensi peradaban. Saya teringat konsep tiga ranah atau domain kebudayaan yang saling mengait: mentifact, sociofact, dan artifact.
Diperlukan kajian yang serius untuk mengetahui rangkaian ketiga ranah itu hingga kemudian Alhambra tercipta dan bagaimana pula sistem sosial di dalamnya beserta interaksinya dengan dunia luar. Itu di luar otoritas akademik saya.
Cukuplah dilihat artifact-nya saja, berupa Istana Alhambra yang dikunjungi jutaan orang manca negara pada setiap tahunnya, sekali lagi, menjadi penanda wujud peradaban Islam setidaknya di Granada, salah satu kawasan Andalusia, selama 254 tahun yang dimulai 1238 hingga 1492.
Melihat secara kasat mata Alhambra, kendati sebentar, empat jam, dan hanya superfisial, setidaknya telah mengonfirmasi berbagai narasi entah verbal maupun tulisan ihwal kejayaan Islam di Andalusia, Spanyol.
Beberapa pengunjung merasa terharu lalu menangis setelah berkunjung ke Alhambra. Artifact Alhambra memang terlihat indah dan megah. Tentu Alhambra pada masa kini adalah Alhambra setelah mengalami restorasi dan pengembangan beberapa kali.
Mustahil bangunan abad ke-13 seperti Alhambra bisa bertahan seperti wujud aslinya. Spanyol beruntung memiliki seorang ahli sekaliber Leopoldo Torres Balbas yang diakui sebagai uno de los padres de la restauración monumental en España (salah seorang bapak restorasi di Spanyol).
Di Alhambra,di Palacios Nazaríes atau Istana Nasrid, dipajang foto Leopoldo Torres Balbas beserta deskripsi yang lumayan panjang kontribusinya dalam merestorasi beberapa bangunan dan area Alhambra seperti Patio Del Harem dan Patio De La Acequia DelGeneralife.
Restorasi yang dilakukan pada 1925 oleh Leopoldo Torres Balbas menjadikan Alhambra tetap memiliki aura perabadan Islam berkemajuan. Dengan begitu pula, Alhambra tetap memiliki daya tarik bagi mereka yang ingin menjelajahi peradaban suatu bangsa, tentu termasuk umat Islam tak terkecuali umat Islam di Indonesia yang terus mengenang abad-abad kejayaannya di Andalusia mulai tahun 711.
Pada gilirannya, suatu peradaban tidak bisa mengelak dari siklus. Islam Andalusia tidak terkecuali. Lahir, tumbuh, berkembang, kemudian tidak sedikit suatu peradaban, bahkan yang berusia berabad-abad sekalipun, mengalami senja kala, meredup, lalu menjadi objek arkeologi.
Pada beberapa literatur, hanya dijumpai dua konsep yang digunakan untuk mengulas peradaban tersebut, yaitu kemajuan dan kemunduran.
Konsep kebangkitan kembali, resurgence, tidak digunakan karena memang betul-betul mengalami the end of history, suatu frase yang diperkenalkan oleh Francis Fukuyama. Begitulah Islam di Andalusia. Pun juga Granada yang menjadi bagian dari Andalusia.
Editor Sugeng Purwanto