Opini oleh: Ma’mun Murod Al-Barbasy,
Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta
PWMU.CO – Selama menjalani kehidupan di dunia yang fana ini, saya mengalami dua masa ketika ungkapan atau jargon “NKRI harga mati” begitu sering diucapkan. Pertama, ketika masa pra dan pasca pembahasan asas tunggal Pancasila antara 1982-1987. Saat itu saya masih usia SD dan SMP dan tinggal nun jauh di kampung, Brebes. Saat itu negara memaksa untuk menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan UU Keormasan 1985, semua ormas Islam dipaksa menerima asas tunggal Pancasial.
(Baca: Indonesia, Negeri Muslim Katanya)
Di saat bersamaan, saat itu pula tengah ramai apa yang disebut sebagai gerakan usrah, gerakan yang tidak mau hormat bendera maupun menyanyikan lagu Indonesia Raya. Saat itu jargon “NKRI harga mati” lantang dan begitu sering saya dengar. Begitu pun posisi Pancasila sebagai bentuk final ideologi bangsa Indonesia juga dikampanyekan secara masif.
Kedua, saat ini, yaitu ketika umat Islam disudutkan secara terus menerus oleh kalangan sekularis-radikal dan kelompok islamophobia sebagai pihak yang patut dipertanyakan nasionalismenya, patut dipertanyakan ke-NKRI-annya. Dan jargon “NKRI harga mati” ini semakin menguat berkumandang menjelang dan pasca Pilkada Jakarta.
Jargon “NKRI harga mati” benar-benar dijadikan dan dimanfaatkan sebagai alat kampanye untuk menyudutkan kelompok Islam yang dipersepsi secara konyol oleh mereka sebagai anti-NKRI dan anti-Pancasila, suatu persepsi yang tentu sangat ahistoris. Bagaimana mungkin umat Islam anti-NKRI dan anti-Pancasila, wong yang berperang merebut kemerdekaan Indonesia dan merumuskan Pancasila sebagai ideologi Negara adalah –mayoritas– umat Islam.
(Baca juga: Din Syamsuddin: Jangan Coba-Coba untuk Keluarkan Faktor Kebesaran Islam dari Indonesia)
Bagi saya, jargon “NKRI harga mati” itu jargon yang absurd alias konyol. Majapahit yang kekuasaannya menusantara hancur berantakan. Sriwijaya sekarang tinggal puing-puing sejarah. Persia yang gagah perkasa hancur tak terkira. Imperium Romawi tinggal kenangan. Daulah Usmaniyah Turki juga tinggal kenangan sejarah. Uni Sovyet terpecah belah setelah sekitar 70 tahun lebih menjadi negara besar. Yugoslavia hancur berantakan. Kalau Tuhan memang mau sebuah bangsa harus hancur berantakan, lalu kita mau apa? Mau melawan sunatullah? Bukan sesuatu yang sulit bagi Allah untuk menghancurkan sebuah Negara.
Namun kalau merujuk pada surat Al-Isra ayat 16, maka Allah menegaskan bahwa Allah tidak akan menghancurkan sebuah negara tanpa sebab. Jadi penghancuran negara oleh Allah tetap berlangsung dalam koridor hukum kausalitas, sebab dan akibat, bukan ujug-ujug.
Waidza aradna annuhlika qaryatan amarna mutrafiha fafasaku fiha fahaqqa alaihal qawlu fadammarnaha tadmira (tadmiiran). “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.
(Baca juga: Wacana Pemisahan Agama dan Politik adalah Pelecehan Pancasila)
Ayat ini semestinya harus dicamkan baik-baik oleh seluruh bangsa Indonesia, terutama elit politik negeri ini. Ayat ini menegaskan bahwa jika Allah menghendaki sebuah bangsa atau negara hancur, maka Allah akan membiarkan bangsa ini, terutama para elitnya, untuk berbuat sesukanya. Lalu Allah mengingatkannya melalui mereka yang “diutus” membawa kebenaran, tetapi mereka (para elit) ini mengabaikan peringatannya.
Mereka tetap saja korup, tetap saja menjual bangsanya dengan harga yang begitu murah, tetap saja menjarah kekayaan negara, tetap saja mempetontonkan nafsu serakahnya, dan bahkan bangga dengan “kemaksiatan horizontal” yang diperbuatnya, maka kehancuran bangsa atau negara Indonesia hanya soal waktu saja.
Bisa dipastikan, ketika elit negeri ini berperilaku seperti digambarkan oleh ayat di atas, maka kehancuran NKRI hanya tinggal soal waktu saja kok. Karenanya tidak penting teriak-teriak “NKRI harga mati” kalau itu hanya sekadar menjadi jargon murahan atau bahkan sekadar “jualan jargon”.
(Baca juga: Pembubaran Pengajian Khalid Basalamah: Benarkah Ceramah yang Mengolok-olok Monopoli Kelompok Ini?)
Tak akan berarti apapun teriak-teriak sampai berbusa-busa bahwa “NKRI harga mati”, sementara di saat bersamaan justru perilaku bangsa ini, terutama elitnya yang ditopang dan mendapat pembenaran dari ahli-ahli agama justru secara nyata mencabik-cabik NKRI dan Pancasila dengan perilaku korup dan amoralnya.
Kalau menilik praktik dan cara pengelolaan negara saat ini yang begitu korup, saya menduga kuat bahwa masifnya kampaye jargon “NKRI harga mati” yang terjadi akhir-akhir ini tidak murni dilandasi oleh niatan tulus untuk memperbaiki negeri ini, tidak murni pula dilandasi oleh realitas adanya ancaman terhadap NKRI dan Pancasila. Tapi sebaliknya, sengaja dihembuskan untuk menjadi tempat perlindungan bagi mereka yang selama ini sejatinya telah secara terang-terangan merongrong dan merusak NKRI dan Pancasila. Persis seperti maling teriak maling.
Supaya kedok dan kebejatannya dalam melakukan pengrusakan terhadap NKRI dan Pancasila ini berlangsung sempurna dan tanpa gangguan, maka jargon “NKRI harga mati” dijadikan sebagai alat politik yang berwajah ideologis untuk menghantam lawan-lawan politik yang akan mengganggu pengrusakan sistematis yang tengah mereka lakukan atas NKRI ini.
Sekali lagi, sangat tidak mutu menjadikan “NKRI harga mati” sebagai jargon di kala dalam realitas praksisnya justru banyak elit negeri ini yang melacurkan NKRI dan Pancasila untuk memenuhi nafsu serakahnya. “NKRI harga mati” itu jargon absurd alias konyol! (*)
Cirendeu, 4 Mei 2017