Opini oleh Maslahul Falah *)
PWMU.CO – Kuntowijoyo dalam Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi (2008: 449). menulis “Secara historis, Muhammadiyah sesungguhnya terbentuk dari kultur kampung. Kalau dulu saya pernah mengatakan bahwa kelahiran Muhammadiyah mempunyai hubungan erat dengan lingkungan sosio-ekonomi dan kultural masyarakat kota, pernyataan ini benar dalam hal perbedaannya dengan latar belakang NU yang berbasis pada kultur agraris desa.
(Baca: Tiga Tantangan Pesantren dalam Transformasi Budaya Kekinian)
Tapi pernyataan itu segera harus direvisi karena ternyata pada awal ke-20, saat Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta, kehidupan kota yang sesungguhnya lebih dikuasai oleh kaum priyayi. Komunitas Belanda, dan komunitas Cina. Di Yogyakarta ketika itu, tampak sekali bahwa kota dikuasai oleh hegemoni kultural keraton, dengan dominasi politik Belanda kolonial dan dominasi ekonomi golongan Cina.
Di Malioboro ada tempat peribadatan Cina, juga tempat peribadatan Free Masonry dari “Societeit” Belanda, tapi tidak masjid. Masjid Besar yang ada di keraton, sementara itu cenderung berada di bawah pengawasan kultural Kejawen. Kita melihat bahwa Islam ketika itu merupakan fenomena pinggiran, berada di kampung-kampung.”
Kutipan di atas mengkonfirmasi bahwa Gerakan Muhammadiyah juga mampu menembus batas teritorial yang disebut pedesaan. Salah satu warga dan kampung pedesaan yang menerima kehadiran gerakan yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta adalah warga di Desa Bulubrangsi, Kecamatan Laren, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.
(Baca juga: Sekolah Berbasis IT: Kado Istimewa SMP Muhammadiyah Tertua di Laren Lamongan)
Walau sangat berjarak sangat panjang dengan 18 November 1912, baru tahun 1960-an Muhammadiyah secara formal berdiri di kalangan santri Bulubrangsi itu. Keterangan ini didasarkan pada hasil penelitian sebuah tim yang dibentuk oleh Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Bulubrangsi tahun 2009-2010. Hasil ini sempat dibagikan kepada setiap Ranting di Cabang Laren pada Pengajian Pimpinan Cabang Laren di Ranting Bulubrangsi pada tahun 2012.
Hadir dan berdirinya Muhammadiyah ini tidak dapat dilepaskan dari sosok (alm) KH Showab Mabrur—mantan Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah Laren periode awal yang tinggal di Godog Laren. Dalam beberapa penelitian mengenai sejarah gerakan modernis atau lebih khusus Muhammadiyah di Lamongan hampir pasti menyebut nama KH Showab Mabrur ini.
Peran pentingnya dalam Persyarikatan Muhammadiyah direkam apik oleh Fathurrahim Syuhadi dalam Mengenang Perjuangan Sejarah Muhammadiyah Lamongan 1936-2005 (2006). Oleh karena itu, peran penting tokoh dalam jejaring intelektualisme santri dalam mengembangkan Muhammadiyah dan siapa saja simpul-simpul gerakan yang sanggup menggerakkan Muhammadiyah di Bulubrangsi itu, sangat perlu untuk diteliti lebih mendalam dan dikembangkan dengan perspektif sejarah Muhammadiyah masa depan.
(Baca juga: Dua Pola Pendidikan Anak: Sterilisasi dan Imunisasi, Anda Pilih Mana?)
Walau sumber data penelitian sejarah Muhammadiyah Bulubrangsi tersebut terfokus pada metode wawancara terhadap sebagai para perintis dan pelaku sejarah—sebagiannya juga mengambil dari buku hasil penelitian terdahulu—namun dari hasil riset tersebut bisa didapatkan sebuah tiga hal positif saling memengaruhi dalam sebuah gerak langkah Persyarikatan Muhammadiyah. Sehingga, paling tidak ke depannya, aktivis Gerakan Muhammadiyah mampu mengkonstruksi kemajuan dan perkembangan Muhammadiyah di tingkat Ranting didasarkan pada tiga hal tersebut.
Pertama, sejarah awal itu murni perjuangan Gerakan Muhammadiyah yang merupakan kolaborasi elok antartiga pihak, yakni pemegang kekuasaan, santri atau kaum terpelajar, dan pemegang harta yang dermawan. Kontribusi ketiga pihak ini tentunya dalam perspektif masyarakat desa dan atau kaum petani serta dilandasi kemurnian perjuangan. Apalagi setelah Masyumi bubar tahun 1960.
(Baca juga: Persiapkan Potensi Ekonomi Lokal untuk Menghadapi Persaingan Global)
Kedua, menguak peran lembaga pendidikan pesantren. Dari pesantren ini lahir dan mengalir kaum santri atau terpelajar yang tercerahkan. Muhammadiyah juga sangat perlu memproduksi lembaga pesantren sebagai candradimuka para pemimpin Muhammadiyah.
Ketiga, cakupan program dan kegiatan Muhammadiyah yang fokus bidang sosial-ekonomi dan pendidikan. Fokus keagamaan menjadi sebuah keniscayaan dalam Muhammadiyah. Maka dari itu, sosial-ekonomi dan pendidikan sangatlah tepat menjadi bidang garap yang diutamakan.
Bulubrangsi, 8 Mei 2017
*) Maslahul Falah, Wakil Sekretaris PCM Laren, Dosen STAIM Karangasem Paciran