Krismu, Krisnu, dan Krislam oleh Dhimam Abror Djuraid, wartawan senior.
PWMU.CO– Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, mengambil jalan dakwah yang berbeda. Muhammadiyah dikenal dengan gerakan tajdid, pembaruan dan pemurnian, dengan misi utama membersihkan tauhid dari penyakit TBC, takhayul, bid’ah, dan churafat.
Sementara NU sebagai gerakan Islam tradisionalis, mengambil jalan yang lebih akomodatif terhadap praktik ibadah yang bercampur dengan tradisi.
Karena misi utamanya pemurnian akidah maka gerak dakwah Muhammadiyah sering bersinggungan dengan praktik sinkretisme Islam yang banyak dipengaruhi oleh tradisi Hindu dan Budha. Praktik ini secara umum disebut sebagai syirik, menyekutukan Tuhan. Dalam kadar yang lebih lunak disebut sebagai bid’ah, sebuah praktik ibadah yang tidak mempunyai contoh langsung dari Rasulullah.
Dalam tradisi NU banyak praktik peribadatan yang dalam standar Muhammadiyah dikategorikan sebagai bid’ah dan syirik. Praktik yang umum dalam tradisi Jawa, seperti ziarah kubur dan slametan, merupakan praktik yang umum dalam tradisi NU. Praktik ini secara serampangan sering disebut sebagai syirik. Hal ini sering menimbulkan ketegangan antara Muhammadiyah dan NU.
Dalam hal relasi dengan agama lain Muhammadiyah juga lebih tegas karena prinsip kemurnian tauhid. Salah satu praktik yang sampai sekarang masih menjadi perdebatan adalah ucapan selamat Natal kepada kaum kristiani. Secara umum Muhammadiyah lebih cenderung mengharamkan ucapan selamat Natal, sementara NU lebih luwes dan akomodatif terhadap praktik ini.
Beberapa waktu belakangan ini sedang viral istilah Krismuha sebagai akronim dari Kristen-Muhammadiyah. Istilah ini provokatif karena bisa menggoyang asas paling dasar dari misi dakwah Muhammadiyah sebagai gerakan tauhid.
Krismuha mengesankan adanya varian baru yang merupakan bauran dari praktik sinkretis Kristen dan Muhammadiyah.
Ternyata tidak. Krismuha bukan varian teologis, tapi sekadar varian sosiologis, yang menggambarkan munculnya kooperasi antara penganut Kristen dan aktivis Muhammadiyah dalam hal pendidikan di sekolah dan kampus.
Istilah Krismuha sebenarnya sudah cukup lama beredar. Mahasiswa-mahasiswi pemeluk Kristen yang kuliah di perguruan tinggi Muhammadiyah, sejak dulu juga kerap dijuluki sebagai Krismuha. Belakangan viral bersamaan dengan penerbitan buku berjudul sama oleh Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Prof. Abdul Mu’ti.
Buku ini bukan menggambarkan fenomena sinkretisme atau pencampuran agama antara Kristen dengan Islam, melainkan mengungkap fenomena sosial mengenai toleransi di daerah-daerah terpencil di Indonesia, seperti di Ende Nusa Tenggara Timur (NTT), Serui (Papua), dan Kalimantan Barat. Toleransi itu terjadi pada tataran pendidikan formal, bukan pada praktik teologis dan peribadatan.
Istilah Krismuha menggambarkan adanya interaksi antara siswa-siswa Muslim dan Kristen dalam lingkungan pendidikan di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Interaksi itu berdasarkan pada sikap saling menghargai, tanpa ada muatan dakwah terselubung, misalnya mengajak mereka masuk Islam, atau memasukkan kurikulum pendidikan Islam bagi siswa Kristen.
Para siswa Kristen itu tidak pernah menghilangkan identitas iman mereka, dan tetap menjadi penganut Kristen taat meskipun bersekolah di Muhammadiyah.
Melalui Krismuha Muhammadiyah ingin membangun generasi Indonesia yang lebih toleran, inklusif, dan terbiasa hidup bersama dalam perbedaan. Bagi Abdul Mu’ti, istilah Krismuha merupakan varian sosiologis yang menggambarkan pluralitas sosial Indonesia, di mana umat Kristen atau Katolik itu bisa hidup damai dengan Muhammadiyah.
Sebutan Krsimuha lebih bernuansa guyon khas Ali Mu’ti ketimbang nuansa teologis yang serius. Di internal Muhammadiyah sendiri muncul varian-varian pemikiran yang beragam, termasuk munculnya pemikiran konservatif dan pemikiran liberal.
Pemikir-pemikir liberal di Muhammadiyah berada di sekitar almarhum Syafi’i Ma’arif dan Dawam Raharjo yang dikenal dengan pemikiran-pemikiran yang progresif dan liberal. Dawam mengkritik stagnasi pemikiran Islam yang menyebabkan ketertinggalan peradaban Islam dari peradaban Barat.
Dalam buku Kritik Nalar Islamisme dan Kebangkitan Islam (2012) Dawam mengritik pemikiran Islam yang tidak berkembang karena gagal mengadopsi ide-ide pembaruan yang bersumber pada pemikiran Barat. Dawam mengusulkan agar pemikir Islam meninggalkan ortodoksi yang kolot dan mengadopsi pemikiran Barat untuk mengejar ketertinggalan negara-negara Islam dari negara Barat.
Syafi’i Ma’arif (1935-2022) juga menjadi poros utama pemikiran liberal Islam di kalangan anak-anak muda Muhammadiyah yang progresif. Saat Syafi’i Ma’arif menjadi ketua umum PP Muhammadiyah 1998-2005 kebebasan berpikir, berpendapat, serta kritik dari warga Muhammadiyah, khususnya anak-anak muda, diberi ruang seluas-luasnya. Maka muncul gerakan anak muda yang melakukan kajian-kajian intensif yang melakukan kritik terhadap pemikiran Muhammadiyah yang dianggap jumud.
Salah satunya adalah Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM). Anak-anak muda ini muncul dengan tiga pilar gerakan utama di bidang hermeneutika, ilmu sosial, dan new social movement.
JIMM menempatkan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam kritis, yang responsif terhadap persoalan Islam kontemporer terutama soal inklusivitas dan pluralisme. Poros anak-anak muda liberal ini cenderung lebih akomodatif terhadap eksistensi agama lain terutama Kristen. Banyak yang gerah oleh gerakan JIMM ini. Muncul sindiran dengan menyebut jaringan ini sebagai Krismu alias Kristen-Muhammadiyah.
Di lingkungan NU juga muncul varian liberal yang dikenal sebagai Krisnu atau Kristen-NU. Poros gerakan ini bertumpu pada pemikiran KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang dikenal sebagai kampiun pemikiran liberal Islam.
Gagasan pribumisasi Islam oleh Gus Dur merupakan hasil dari pemikiran liberal yang muncul dalam NU. Salah satu gagasan kontroversial Gus Dur adalah mengubah salam Islam Assalamu alaikum menjadi salam pribumi seperti ’Selamat pagi’ atau ’Selamat siang’. Praktik lain yang dianggap kontroversial adalah keterlibatan Banser NU menjadi penjaga keamanan gereja dalam ibadah Natal.
Sama dengan di Muhammadiyah, pemikiran liberal di NU juga menimbulkan friksi internal. Ulama karismatik NU KH As’ad Samsul Arifin menolak pemikiran liberal Gus Dur dan menyatakan mufaraqah, berpisah dari kepemimpinan Gus Dur karena menganggap Gus Dur tidak sah sebagai imam shalat.
Varian Krismu dan Krisnu ini kemudian disebut sebagai Krislam alias Kristen-Islam. Sebutan ini sebenarnya bernuansa joke, tapi juga ada nuansa pejoratif yang agak merendahkan. Orang-orang liberal Islam itu dianggap beragama secara longgar, dan tidak berpegang kepada tauhid. Karenanya disebut sebagai Krislam.
Editor Sugeng Purwanto