Aktivis Kritis
Bang ‘Imad aktivis tulen. Selain yang telah disebut, yaitu pernah aktif di Barisan Hizbullah, dia juga aktivis PII (Pelajar Islam Indonesia), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), dan Masyumi. Di skala internasional, Bang ‘Imad aktif di World Assembly of Muslim Youth (WAMY), The International Islamic Federation of Student Organizations (IIFSO), dan Muslim Students Association (MSA) for US and Canada.
Bang ‘Imad dikenal sebagai aktivis yang berani. Ceramah-ceramahnya selalu lugas, memperjuangkan amar makruf nahi munkar. Itu dilakukannya, meski waktu itu Orde Baru sedang kuat-kuatnya dan cenderung antikritik.
Setidaknya ada dua kisah yang bisa diingat. Pertama, saat Bang ‘Imad menjadi penceramah Maulid Nabi Saw di Masjid Al-Azhar Jakarta, 1971. Bang ‘Imad tahu ada mata-mata pemerintah yang menyelinap di antara hadirin. Panitia juga telah mengingatkannya lantaran khawatir atas keselamatan Bang ‘Imad.
Atas situasi itu, tak tampak rasa takut di diri Bang ‘Imad. Setelah mengutip ayat Al-Qur’an, dia tegas berceramah bahwa umat Islam jangan pernah takut kepada selain Allah apalagi kepada intel. Diserukannya pula agar siapa pun intel yang sedang menyamar mencatat setiap perkataannya.
Kisah lain, di UGM Yogyakarta. Di hadapan ratusan hadirin, Bang ‘Imad menyinggung sejarah Fir’aun. Dia menyebut, sebelum mati penguasa Mesir Kuno itu mendirikan istana di atas bakal kuburannya.
Konteks ceramahnya saat itu, Presiden Soeharto memang sudah membangun kompleks Mausoleum Astana Giribangun di Karanganyar, Jawa Tengah. Walaupun Bang ‘Imad tidak menyebut Soeharto atau presiden, terasa sindirannya kepada penguasa. Apalagi, ditegaskannya bahwa siapa pun pemimpin yang melakukan hal itu sehaluan dengan Fir’aun (https://sindikasi.republika.co.id/berita/qim29h320/kisah-aktivis-muslim-yang-dibuntuti-intel-era-soeharto).
Nasihat Natsir
Bang ‘Imad adalah Doktor Filsafat Teknik Industri dan Engineering Valuation dari Iowa State University, Ames, Iowa, AS. Dia dosen di Departemen Elektro ITB (1962-1980).
Ada sisi mengesankan saat Bang ‘Imad diminta mengajar agama di ITB, pada paro kedua 1960-an. Memang, ketika itu ITB butuh dosen agama Islam. Awalnya, Bang ‘Imad menolak karena tidak punya ijazah apapun di bidang itu. Dia sadar, basis pendidikannya teknik elektro.
Di sisi lain, ayah Bang ‘Imad justru mendorong anaknya untuk menerima kepercayaan itu. Hal-hal itu, lalu membuat Bang ‘Imad menemui Mohammad Natsir (1908-1993) untuk meminta nasihat.
Natsir, seorang ulama-intelektual dan pejuang kemerdekaan, kemudian memberikan wawasan: “Bukankah belajar itu paling efektif dengan mengajar?” Dengan mengajar agama, lanjut Buya Natsir, “Saudara akan lebih mudah memahami agama itu”.
Buya Natsir lalu masuk ke kamarnya. Keluar, beliau membawa buku-buku karangan ulama kontemporer seperti Sayyid Qutb, Abul A’la Al-Maududi, Abdul Qadir Audah, dan lainnya.
“Baca buku-buku ini dan susunlah kuliah yang sistematis, sajikan ke hadapan mahasiswamu. Saya yakin mereka akan senang mendapat kuliah dari Saudara yang bisa berbicara satu bahasa dengan mereka, karena sama-sama orang eksakta,” pesan Natsir.
Sejak September 1968, Bang ‘Imad aktif mengajar agama Islam di ITB di samping mata kuliah lain di jurusan Teknik Elektro (Yanuardi Syukur, https://ibtimes.id/imaduddin-abdulrahim-sosok-puritan-yang-saintifik/).
Buku dan Penjara
Pada 1977-1978, suhu politik memanas menjelang Sidang Umum MPR pada 1978. Banyak tokoh kritis yang menginginkan suksesi kepemimpinan nasional. Akibatnya, tak sedikit yang ditangkap penguasa. Di antara tokoh vokal yang ditahan adalah Ismail Sunny, Bung Tomo, Mahbub Djunaidi, dan Bang ‘Imad.
Pada 23 Mei 1978. malam hari, Bang ‘Imad ditangkap di rumahnya. Dia baru saja selesai mengisi kajian di Masjid Salman ITB.
Dia dibawa dari Bandung ke Jakarta, ditahan di Penjara Nirbaya (di sekitar TMII). Di saat mendekam di balik jeruji besi ini, sebagian proses penerbitan buku Kuliah Tauhid karyanya, berlangsung. Mari ikuti sedikit kisahnya yang terselip di Kata Pengantar buku tersebut.
Kita lihat buku Kuliah Tauhid (cetakan ketiga untuk edisi kedua, terbit 1993). Di buku itu ada beberapa Kata Pengantar.
Dari Kata Pengantar bertahun 1977, disebutkan bahwa naskah di buku ini sebenarnya merupakan isi kuliah subuh selama bulan Ramadhan 1397 Hijriah atau 1977 di Masjid Salman ITB.
Dalam bentuk ketikan, oleh istri Bang ‘Imad naskah buku itu lalu diselundupkan kepada suaminya yang sedang ditahan di Penjara Nirbaya. Caranya, diselundupkan bersama kiriman makanan.
Naskah lalu dikoreksi Bang ‘Imad. Dengan aktivitas itu, Bang ‘Imad punya tambahan kesibukan sehingga masa tahanan selama 14 bulan tidak terasa terlalu panjang dan sia-sia.
Begitulah, buku Kuliah Tauhid punya jejak bahwa sebagian diselesaikan di dalam penjara. Tentu, meski tidak sehebat karya-karya semisal Majmu Fatawa, Tafsir Fii Zilalil Qur’an, dan Tafsir Al-Azhar, tulisan Bang ‘Imad tetap patut kita apresiasi. Kita tahu, tiga karya yang disebut itu berturut-turut diselesaikan Ibnu Taimiyah, Sayyid Qutb, dan Hamka saat mereka terkungkung di dalam penjara.
Baca sambungan di halaman 2: Sekilas Isi Buku