PWMU.CO – Pejabat cawe-cawe dalam Pemilu 2024 itu menyalahgunakan wewenang. Karena itu Muhammadiyah meminta para pejabat tidak melakukannya.
Demikian disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, di acara forum media gathering di Aula Masjid At-Tanwir PP Muhammadiyah Jakarta, Kamis (22/6).
”Para pejabat, siapapun itu tidak menyalahgunakan wewenang dengan ikut cawe-cawe dalam Pemilu 2024,” kata Haedar Nashir seperti ditulis muhammadiyah.or.id.
Jadi hal yang dipesankan oleh Muhammadiyah, sambung dia, jangan sampai ada abuse of power, jangan sampai ada penyalahgunaan kekuasaan.
Haedar menyebut pejabat cawe-cawe tidak tepat dilakukan, baik itu pejabat eksekutif, pejabat legislatif, pejabat yudikatif, maupun pejabat di lembaga kenegaraan yang lain.
Menurut dia, harga yang dibayar untuk penyalahgunaan ini cukup mahal bagi kesehatan sebuah negara.
”Pesan Muhammadiyah untuk seluruh pejabat yang punya posisi di dalam pemerintahan, baik di eksekutif dari presiden, gubernur, walikota sampai bupati, maupun di legislatif, ketua MPR, ketua DPR, tentu juga di lembaga-lembaga yudikatif bahkan di Mahkamah Konstitusi agar bagaimana Pemilu ini tidak sekadar luber-jurdil, bermartabat dalam konteks kemandirian tapi juga tidak menimbulkan proses konflik politik yang keras akibat dari tidak bisa menahan posisi dan menahan keterlibatan di dalam proses politik,” tegasnya.
Alih-alih ikut cawe-cawe, para pejabat diharapkan mengawal pemilu secara adil tanpa menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya.
”Maka kami mengimbau pada seluruh institusi pemerintahan dalam eksekutif, legislatif, dan yudikatif termasuk di dalamnya TNI-Polri agar bisa mengawal pemilu itu sebagai wasit dan pemimpin yang adil. Nah itu poin penting kami,” ujarnya.
Calon Presiden
Haedar Nashir menyatakan kriteria calon presiden dan wakil presiden ideal versi Muhammadiyah adalah sosok negarawan yang berdiri di atas semua golongan.
“Secara umum calon presiden itu, siapapun yang nanti jadi presiden dan wakil presiden, dia kepala pimpinan eksekutif dan kepala negara. Dalam konteks kepala negara, dia harus menjadi milik semua golongan. Jadi dari manapun dia dicalonkan dan dia nanti mungkin berkoalisi, tapi dia harus jadi negarawan, mengutamakan kepentingan politik kebangsaan dan kenegarawanan.
”Jangan lagi bahwa kalau dari partai politik pendukungnya, maka hanya mengurus urusan yang jadi pendukungnya. Jadi ini penting ke depan,” tuturnya.
Sebagai seorang pemimpin negara, Haedar menekankan agar calon tersebut berorientasi pada Pancasila, UUD 1945, dan cita-cita kenegaraan. Selain itu, calon tersebut juga harus menjadi tokoh yang mampu menggerakkan kemajuan Indonesia di berbagai sektor.
”Itu harus jadi patokan dan mereka harus menjadi figur dan sekaligus membawa kemajuan Indonesia di tengah persaingan regional dan global yang kemajuan itu bukan saja bersifat pragmatis, ekonomi, politik, demokrasi semata, tapi kemajuan yang bersifat menyeluruh,” urainya.
Dia mengatakan saat ini belum ada kriteria khusus dari Muhammadiyah soal siapa calon yang memenuhi kriteria tersebut. Kata dia siapapun yang berjiwa negarawan dan mengutamakan kepentingan semua golongan layak untuk menjadi seorang pemimpin Indonesia.
”Kita tidak ingin masuk pada kriteria, tapi pesan moral yang besar adalah kata kuncinya harus menjadi negarawan. Boleh dalam kontestasi politik mereka menjadi politisi tapi begitu terpilih, dia harus jadi negarawan. Tapi untuk jadi negarawan kan harus dimulai dari sekarang,” ujarnya.
Editor Sugeng Purwanto