Memang, secara etika, peraih suara terbanyak mendapat kesempatan pertama untuk menjadi Ketua, tetapi jika dia tidak bersedia maka secara urut kacang ditawarkan pada urutan di bawahnya. Ketidakbersediaan itu beragam alasannya; ada yang tidak siap memegang tapuk tertinggi kepemimpinan atau ada yang justru sengaja memberi jalan pada koleganya untuk memimpin. Yang juga menarik, tidak mesti Ketua harus dari anggota Pimpinan terpilih. Muktamar tahun 1937 memilih KH Mas Mansur, yang bukan anggota Pimpinan terpilih untuk menjadi Ketua.
Dari uraian di atas, bisa kita temukan keunikan demokrasi ala Muhammadiyah itu. Pertama, unsur partisipasi yang sangat dijunjung demokrasi ternyata sangat terakomodasi. Pemilihan langsung (voting) menjadi bagian tak terpisahkan dari seluruh jenjang Musyawarah. Bahkan, kini sedang disemarakkan voting secara elektronik (evoting) sebagai ciri dakwah Muhammadiyah yang berkemajuan. Partisipasi itu dilaksanakan secara berjenjang dan terstruktur, sehingga akan menghasilkan kepemimpinan yang alamiah dan tidak ujug-ujug.
Kedua, sebagai ormas Islam, tentu, Muhammadiyah tidak mengandalkan partisipasi secara liberal. Karena dalam partisipasi yang berbentuk pemungutuan suara langsung itu, di samping memiliki sisi positif, ada juga kelemahannya. Salah satunya adalah adanya unsur popularitas yang kuat. Sementara popularitas tidak berbanding lurus dengan kapasitas dan kapabilitas. Padahal kepemimpinan berkaitan erat dengan amanah dan tanggungjawab, yang bukan saja di dunia, tetapi juga jauh di masa depan: akherat.
baca sambungan hal 4 …