Karena itu sangat tepat, kelemahan partisipasi publik masih “disaring” dengan mekanisme musyawarah. Sebab dalam musyawarah yang terbatas itulah akan dipertimbangkan berbagai hal menyangkut kepemimpinan, termasuk yang sangat personal. Dalam musyawarah itu peraih suara terbanyak bisa curhat soal pribadi, misalnya belum siapnya menanggung kepemimpinan umat dan sebagainya.
Ketiga, sistem kepemimpinan Muhammadiyah bersifat kolektif kolegial. Itu bukan sekedar slogan kosong, tetapi benar-benar diterapkan karena sistemnya dirancang seperti itu. Inilah yang dimaksud oleh kepemimpinan yang berjumlah 9, 11, atau 13. Dalam sistem ini, Ketua hanyalah orang yang diajukan satu langkah di depan.
Apakah semua proses Musyda mulus-mulus semua. Tentu tidak. Beberapa Musyda diramaikan oleh “persaingan” beberapa pihak dan sempat memanaskan suasana. Tetapi prosentasenya kecil dan bisa diselesaikan dengan asas kebersamaan.
Miniatur demokrasi ala Muhammadiyah, yang memadukan partisipasi dan musyawarah serta bersifat kolektif kolegial ini, perlu dipertimbangkan untuk menjadi sistem (pemilihan) kepemimpinan nasional. Bukankah sistem ini sudah teruji beberapa dekade? Semoga!
Mohammad Nurfatoni
Anggota Lembaga Informasi dan Komunikasi (LIK) PW Muhammadiyah Jatim