Tiga Esensi Ibadah Kurban. Liputan kontributor PWMU.CO Kabupaten Situbondo Pandu Anom Nayaka.
PWMU.CO – Takmir Masjid Al-Manar Panji Permai Situbondo Jawa Timur menggelar shalat Idul Adha di Lapangan Zakunar Panji Permai, Situbondo, Rabu (28/6/2023).
Imam dan khatibnya adalah Ustadz Teguh Wibowo dari Bondowoso. Dalam khotbahnya Teguh Wibowo menyampaikan, pengorbanan adalah salah satu sifat dan puncak dalam keislaman seseorang.
“Belum dikatakan dia ber-Islam dengan baik, belum dikatakan sempurna keislaman seseorang ketika dia tidak mampu menghadirkan pengorbanan. Baik pengorbanan untuk memperjuangkan syiar agama Allah SWT, maupun pengorbanan yang dapat menjadikan diri kita hamba yang dicintai oleh Allah,” ujarnya.
Menurutnya Nabi Ibrahim telah mencanangkan satu revolusi berkurban yakni dengan mengkorbankan sesuatu. Bahwa pada saat itu ketika nabi Ibrahim hadir, orang dan manusia pada saat itu hendak mengkorbankan manusia lainnya untuk sesembahan. Sesembahan kepada yang mereka yakini sebagai yang berkuasa, sebagai tuhan, dan sebagai dewa.
“Tetapi Nabi Ibrahim atas tuntunan dari Allah menjadikan syariat berkurban dengan menggunakan binatang-binatang ternak. Binatang-binatang yang boleh dikurban sesuai dengan syariatnya dengan prinsip qurban itu adalah karena Allah, bukan karena sssuatu. Berkurban itu karena kita menginginkan bertaqarrub dan sekaligus mendapatkan ridha dari Allah,” jelasnya.
Taqarub
Dia menjelaskan, kurban memiliki 3 esensi. Pertama kurban merupakan sarana taqarub kepada Allah. Taqarub artinya sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sebaik-baik kedekatan kita adalah kedekatan yang menciptakan kita, yang mengatur seluruh urusan kita dan yang menciptakan alam semesta ini.
“Tidak ada yang lebih baik dari pada itu. Oleh karena itu kedekatan dalam wasilah kita menggunakan binatang kurban yang merupakan sesuatu upaya mendekatkan diri kita kepada Allah sedekat-dekatnya. Maka kurban dapat diartikan melakukan penyembelihan binatang kurban dengan waktu dan syarat yang sudah ditentukan,” paparnya.
Maka dari bertaqarub tersebut kita tentunya akan mendapatkan karunia diri dengan ketakwaan. Sebagaimana ibadah haji yang dilakukan oleh saudara kita yang berada di tanah suci Makkah. “Orang yang bertakwa akan melahirkan keikhlasan. Dan mustahil keikhlasan tanpa adanya ketaqwaan kepada Allah,” ungkapnya.
Harta Itu Titipan Allah
Esensi yang kedua, lanjutnya, berkurban sebagai pengingat bahwa harta kita semua, harta yang berada di dalam diri kita adalah titipan dari Allah. Yang berasal dari Allah yang ketika kita belanjakan harta tersebut di jalan Allah, itu merupakan harta yang sebenar-benarnya.
“Ketika harta yang kita gunakan untuk berkurban, tentunya kita sedang melakukan sesuatu yang dapat di katagorikan sebagai bentuk syukur kita terhadap nikmat-nikmat Allah,” terangnya.
Mungkin di antara kita ada yang masih enggan untuk berkurban. Padahal Allah telah mengkaruniakan kepada kita, menitipkan kepada kita harta yang cukup. Bahkan cukup untuk berkurban.
“Diantara mereka ada yang mampu merenovasi rumah berkali-kali sehingga rumahnya terlihat estetik. Ada diantara mereka yang berkali-kali berganti kendaraan yang mewah bahkan menambah inventaris kendaraannya. Bahkan mereka juga ada yang trip atau jalan-jalan keluar negeri berkali-kali,” paparnya.
“Akan tetapi hanya berkurban untuk 1 tahun sekali mereka enggan. Maka rasulullah memberikan ancaman kepada orang tersebut, kepada orang yang kikir terhadap hartanya,” imbuhnya.
Kepedulian Sosial
Esensi ketiga, sambungnya, berkurban adalah untuk membangun sarana dan membangun kepedulian sosial kita kepada sesama umat Islam. Diantara kita, Allah memberikan rezeki yang proporsional sesuai kehendak Allah. Ada yang mampu, ada pula yang ditakdirkan belum mampu. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja mereka masih mendapatkan kesulitan.
“Oleh karena itu melalui media ibadah kurban ini kita sedang dilatih oleh Allah untuk peduli kepada sesama. Untuk mendapatkan jiwa sosial pada diri kita. Oleh karena itu, berkurban tentunya merupakan sesuatu yang dapat mendatangkan kekayaan jiwa kita, utamanya dalam menampilkan kepedulian kita kepada sesama,” tuturnya. (*)
Co-Editor Sugiran. Editor Mohammad Nurfatoni.