Antara lain seperti terdapat dalam surat an-Nur ayat 30-31, yang artinya, “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya; karena yang demikian itu lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka.”
(Baca:Keluar Rumah di Masa Iddah dan Bank Air Susu Ibu)
Juga Hadits Riwayat Ahmad, Abu Daud, dan Tirmizi, yang artinya: “Hai Ali, jangan sampai pandangan yang satu mengikuti pandangan lainnya! Kamu hanya boleh pada pandangan pertama, adapun berikutnya tidak boleh.” Dan masih banyak lagi aturan yang intinya melarang setiap yang bukan mahram melakukan hal-hal yang mendekati perzinaan.
Sejauh yang penulis ketahui, belum satu pun kitab fiqih klasik yang membahas prewed ini. Prewed sebagai fenomena industrial baru difatwakan ulama-ulama kontemporer, yang pada pokoknya melarang foto laki-laki dan perempuan sebelum nikah seperti suami istri. Tapi, “Kalau sudah nikah difoto dengan pose suami istri itu tidak apa-apa,” kata Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Cholil Ridwan.
(Baca: Hukum Shalat Perempuan yang Mengalami Keguguran dan Nifas Bedah Caesar)
Sementara Muhammadiyah, kendati belum secara khusus membahasnya, tapi dalam buku “Adabul Mar’ah fil Islam” disebutkan bahwa pergaulan yang dibarengi ikhtilat atau percampuran lelaki-perempuan, dan membuka aurat itu dilarang. Jadi, Illatul hukmi-nya adalah ikhtilat.
Jika dalam prewed terdapat ikhtilat, berarti dilarang. Lalu bagaimana bila difoto terpisah, kemudian hasilnya direkayasa dengan teknologi fotografi, dipadukan seolah-olah mereka difoto bersama? Menurut hemat saya pokok masalahnya bukan hanya saat pengambilan gambar, tapi juga asosiasi orang lain yang melihat hasil rekayasa itu.
Lain halnya bila foto masing-masing diletakkan pada posisi terpisah, atau diambil setelah akad nikah. Maka hal itu tidaklah mengapa. (Nadjib Hamid)