Haedar Nashir Dorong MPI Bisa Mendinamisasi Hidup di Era Revolusi IT

Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof Dr KH Haedar Nashir MSi hadir sebagai keynote speaker dalam Rakernas MPI di UAD (Nely Izzatul/PWMU.CO)
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof Dr KH Haedar Nashir MSi hadir sebagai keynote speaker dalam Rakernas MPI di UAD (Nely Izzatul/PWMU.CO)

Haedar Nashir Dorong MPI Bisa Mendinamisasi Hidup di Era Revolusi IT. Liputan Nely Izzatul Kontributor PWMU.CO Yogyakarta

PWMU.CO – Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof Dr KH Haedar Nashir MSi hadir sebagai keynote speaker dalam acara Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PP Muhammadiyah.

Acara yang berlangsung di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) kampus 4 selama 3 hari yakni Jumat-Ahad (14-16/7/2023) ini dihadiri 33 dari 35 Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) se-Indonesia.

Dalam paparannya, Haedar mengatakan, saat ini kita berada di era revolusi iptek, di mana ekosistem bahkan sistem sosial kehidupan sudah dipengaruhi oleh munculnya media sosial.

“Saat ini medsos bukan hanya simulakra tapi sudah menjadi realitas nyata. Bahwa di situ ada simulakra iya, tapi melalui medsos itu, pikiran kita, tindakan kita, bahkan knowledge kita mengalami pergeseran yang fundamental,” ucapnya.

Ketika realitas kehidupan sudah dipengaruhi IT dan ekosistem kita sudah merupakan produk dari realitas baru, maka Haedar Nashir mengingatkan agar Muhammadiyah harus bisa hidup di era zaman ini dengan melahirkan karya-karya kemajuan.

“Yakni melahirkan karya-karya kemajuan yang bisa mempengaruhi realitas kehidupan ini, bukan malah dipengaruhi. Selain itu Muhammadiyah juga harus adaptif dalam menjalani realitas baru ini,” tandasnya.

Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini mengatakan, ada 4 prasyarat manusia bisa hidup. Pertama memiliki kemampuan untuk adaptif.

“Jika kita melawan medsos dan revolusi IT tentu tidak bisa. Tapi bagaimana kita tidak larut dalam sistem itu, bahkan kalau bisa kita mempengaruhi dan terus adaptif dengan kehidupan. Nah sementara untuk adaptif saja kita masih belum mampu, karena nalar dan kemampuan kita kadang masih konvensional,” ucapnya.

Dia juga menuturkan, realita sekarang banyak hal yang kalah dengan yang bersifat digital. Termasuk dia mengingatkan bagaimana semestinya Majelis Tabligh lebih sigap masuk ke dunia baru ini.

“Ini problem baru, maka jangan heran kalau sekarang muncul mubaligh era YouTube lebih populer dari pada mubaligh konvensional. Tapi mubaligh konvensional juga tentu masih dibutuhkan. Maka adaptasi antara dua dunia ini memperlakukan proses transformasi yang dinamis,” katanya.

Baca sambungan di halaman 2: Konvesional dan Nonkonvensional

Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof Dr KH Haedar Nashir MSi hadir sebagai keynote speaker dalam Rakernas MPI di UAD (Nely Izzatul/PWMU.CO)

Konvesional dan Nonkonvensional

Syarat kedua, yakni kemampuan mencapai tujuan. Menurut Haedar, Muhammadiyah tujuan utamanya membentuk masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, dan hal ini sudah dilakukan dengan berbagai cara termasuk lewat amal usaha di bidang pendidikan, Rumah Sakit dan lain-lain.

“Di era baru, amal usaha Muhammadiyah (AUM) juga butuh revitalisasi. Jangan-jangan kita butuh AUM di bidang IT. Misalnya bisnis IT atau media online termasuk tabligh online yang didesain ke situ,” ucapnya.

Syarat ketiga, kemampuan untuk berintegrasi.

Menurutnya, Muhammadiyah perlu menggabungkan antara yang konvensional dan nonkonvensional. Apalagi organisasi kita ini besar. Tapi sebagai organisasi besar, jangan sampai Muhammadiyah ada penyakit. Karena kalau ada penyakit maka tidak kan maju.

“Sekarang ini ada pemikiran yang liberal tapi ada juga yang ultra-konservatif. Maka bagaimana tugas kita ini sebagai pemimpin termasuk media membawa pemikiran yang kanan kita tarik ke tengah, begitu juga yang kiri kita tarik ke tengah. Dan saya pikir pemimpin itu harus mampu mengolah ini,” tuturnya.

Keempat kemampuan untuk memelihara pola.

Haedar menandaskan, pola yang sudah dibangun Muhammadiyah harus dirawat, karena sekali lepas kita tidak akan memilikinya lagi. Mungkin ada sebagian kader yang merasa kecewa dengan AUM yang semakin ke sini semakin teknokratis. Konsekuensinya menjadi ada jarak dengan komunitas. Maka di sini kita harus pelihara pola ini.

“Maka MPI harus menjadi organ Muhammadiyah yang bisa mendinamisasi hidup di era revolusi it ini. MPI ini harus.jadi leading sektor terdepan dalam mengubah pola pikir komunal dan personal menjadi pola pikir yang teknokratis, dan berada pada sistem kehidupan sekarang ini, termasuk membantu tabligh dan tarjih agar semakin fungsional di era sekarang ini,” tandasnya. (*)

Editor Mohammad Nurfatoni

Exit mobile version