Ghirah Pemuda
Di antara episode kehidupan Abdullah Said yang menarik untuk diingat adalah saat dia mengerahkan sahabat-sahabat seperjuangannya untuk mengganyang judi di Makassar. Kala itu marak perjudian dalam bentuk Lotto yang sangat besar daya rusaknya kepada masyarakat. Banyak yang kecanduan.
Atas hal yang merusak itu, penolakan sudah banyak disampaikan, terutama oleh kalangan pendakwah. Abdullah Said dan para muballigh di Makassar termasuk yang aktif menyampaikan urgensi penutupan judi itu. Tapi, tak ada tanggapan.
Kemudian Abdullah Said menggelar pertemuan untuk merencanakan pengganyangan judi. Diadakanlah rapat, di sebuah masjid milik Muhammadiyah, pada Rabu malam, 27 Agustus 1969. Koordinatornya adalah Abdullah Said.
Pada Kamis malam, 28 Agustus 1969, kader-kader yang telah digembleng plus pemuda-pemuda Muhammadiyah menyerbu arena judi Lotto. Meski aksi pengganyangan tidak berjalan persis seperti yang direncanakan, namun hasilnya cukup memadai. Mereka berhasil mengobrak-abrik tempat penjualan kupon. Hal yang lebih penting, judi Lotto akhirnya dihentikan oleh pemerintah (Salbu, 2012: 43).
Setelah itu, beberapa orang yang terlibat aksi ditahan. Sementara, Abdullah Said menghindar ke luar daerah. Sahabat-sahabatnya yang ditahan, berharap agar Abdullah Said meneruskan perjuangan. Mereka ingin, Abdullah Said jangan sampai menyerahkan diri.
Abdullah Said pun meninggalkan Kota Makassar. Dia pergi berpindah-pindah tempat, dengan berbagai cerita yang tak mudah dilupakan. Termasuk, Abdullah Said sampai ke Pare-Pare yang penuh kenangan.
Selama di Pare-Pare, Abdullah Said tinggal di sebuah kamar hotel tua yang tidak terpakai lagi. Kesehariannya, terkurung di kamar yang di sekitarnya banyak tumpukan ranjang tua penuh debu dan sarang laba-laba. Tentu keadaan ini cukup menyiksa, bukan karena sumpeknya kamar tetapi karena Abdullah Said tidak punya kesempatan lagi untuk berceramah di depan umum. Padahal, berceramah adalah suatu hal yang telah lazim dikerjakannya bahkan sejak usia yang sangat belia.
Meski terkurung, terasa juga ada ketenangan yang diberikan Allah. Setiap malam dia bisa khusyuk melaksanakan shalat lail. Terasa, ada inspirasi dan hikmah.
Kondisi di atas tidak disia-siakan. Abdullah Said memanfaatkan waktu yang diliputi ancaman itu untuk menulis. Dia mencoba berkonsentrasi, mengaktifkan memorinya guna mengingat-ingat buku dan tulisan-tulisan yang pernah dipelajarinya.
Di kamar itu Abdullah Said hanya ditemani Tafsir Al-Furqan karya A. Hassan dan beberapa edisi Majalah Kiblat yang memuat tulisan bersambung Mohammad Natsir tentang Fiqhud Dakwah.
Serangkaian perenungan di “ruang tak nyaman” itu berbuah kebaikan. Hasilnya, lima buku (ukuran kuarto) penuh dengan tulisan Abdullah Said tentang “Metode Dakwah yang Efektif” (Salbu, 2012: 48).
Pengalaman Rohani
Kegiatan menulis terus berlangsung sampai akhirnya keberadaan tempat Abdullah Said itu terdeteksi. Empat bulan setelah menghindar dari Makassar, pada 24 Desember 1969, dia akan ditangkap.
Abdullah Said lolos dengan cara menjatuhkan diri dari ketinggian empat meter lewat jendela. Lalu dia meninggalkan tempat itu.
Ada yang menarik. Sebelum kejadian itu, Abdullah Said mendengar suara yang jelas (saat itu, dirinya dalam keadaan antara tidur dan tidak). Dia ingat betul, seperti ada yang membacakan bagian ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an Surat Yusuf ayat 10. Bunyinya, “Laa taqtuluu yuusufa” yang artinya “Janganlah engkau membunuh Yusuf”.
Abdullah Said berusaha menakwilkan mimpi itu sebagai informasi ghaib yang menyampaikan bahwa belum waktunya dia meninggal atas upaya pembunuhan yang direncanakan orang. Jadi, meski sangat kaget ketika akan ditangkap dia yakin sekali bahwa Allah masih memberinya kesempatan berbuat untuk Islam.
Untuk itu Abdullah Said bertekad, kalau memang Allah masih memberinya umur panjang maka di manapun berada dia akan habiskan usianya untuk hanya mengurus Islam. Dia tidak akan mengurus yang lain, yang tidak ada hubungannya dengan Islam (Salbu, 2012: 48).
Baca sambungan di halaman 4: Kisah Majalah Hidayatullah