Surga Berbeda dengan Dunia
Cerita Hamka tentang percakapan beliau dengan sang istri ditulis Hamka ketika menafsirkan ayat 21 suat at-Thur di atas. Bertemu dengan anak cucu bisa dengan mereka yang sewaktu di dunia pernah bertemu atau belum pernah bertemu. Misalnya ada cucu kita yang lahir setelah kita sudah meninggal. Kita tidak sempat bertemu. Tetapi nanti di akhirat akan dipertemukan. Sungguh bahagia. Memang di surga tempat serba bahagia.
Repotnya, sering cara pandang kita pada surga seperti cara pandang kita dalam kehidupan dunia. Padahal pasti berbeda jauh. Maka muncul pertanyaan yang kadang aneh karena kita menanyakan kehidupan di surga seperti kehidupan dunia.
“Kita tidak tahu bagaimana kehidupan di surga. Dilukiskan dengan singkat: La ainun raat, wa la uzunun samiat, wa la qathra fi qalbi basyar.”
Misalnya kalau laki-laki disediakan bidadari yang cantik apakah suami nanti masih tertarik dengan mantan istrinya di dunia yang tentu kalah jauh dengan kecantikan bidadari. Kalau suami waktu menduda kawin lagi, istri mana yang dipilih, yang lama atau baru? Dan macam-macam pertanyaan remeh temeh lainnya. Yang pasti di surga hanya ada kebahagiaan. Tidak ada duka sedikit pun. Allah Maha Pengatur yang terbaik.
Kita tidak tahu bagaimana kehidupan di surga. Dilukiskan dengan singkat: La ainun raat, wa la uzunun samiat, wa la qathra fi qalbi basyar. “Mata tidak pernah melihat, telinga tidak pernah mendengar. Bahkan tidak pernah terlintas di hati manusia.”
Pertanyaan utama telah terjawab dalam al-Quran. Bisakah suami istri berjumpa di akhirat nanti? Ternyata bisa asalkan sama-sama masuk surga. Karena itu berpesanlah para suami kepada istri: “Tunggulah aku di pintu surga.” Berpesanlah seorang istri kepada suami: “Kakanda, nantikakanlah aku di pintu surga”. Ini untuk memberi semangat agar masing-masing kita selalu menyiapkan bekal akhirat. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni