PWMU.CO – Istilah bayani, burhani, dan irfani sering terdengar dalam pengajian Muhammadiyah. Pahamkah Anda dengan istilah itu?
Mengutip tulisan muhammadiyah.or.id, orang yang mengenalkan istilah itu adalah Muhammad Abid al-Jabiri lewat bukunya Bunyah al-’Aql al-’Arabi.
Al-Jabiri mencoba merumuskan kerangka teoritik dari tiga masalah umat sekaligus. Pertama, kecenderungan sufistik yang mereduksi segala sesuatu menjadi mistis, yang lepas dari realitas.
Kedua, tendensi filosofis yang mereduksi semuanya harus masuk akal. Ketiga, tendensi hukum yang mereduksi segalanya harus selaras dengan teks.
Dia menawarkan metode epistemologi bayani, irfani dan burhani untuk merekonstruksi cara berpikir orang Arab. Ketiga pendekatan tersebut berjalan parallel. Tidak berjalan sendiri-sendiri. Ketiganya dipakai bersama menjadi sintesa agar lebih fungsional.
Pada tahun 2000 dalam Putusan Tarjih di Jakarta, Majelis Tarjih meminjam istilah bayani, burhani, dan irfani dari al-Jabiri sebagai pendekatan dalam Manhaj Tarjih Muhammmadiyah.
Tapi istilah sama, secara konsep maupun substansi terdapat perbedaan antara al-Jabiri dan Manhaj Tarjih.
Bayani
Bayani adalah pengetahuan Islam yang bertitik tolak dari nas sebagai sumber pengetahuan. Metode berpikir bayani digunakan memecahkan masalah-masalah terkait ibadah mahdah (khusus). Karena asas hukum syariah tentang ibadah menegaskan bahwa ibadah itu pada asasnya tidak dapat dilaksanakan kecuali yang disyariatkan.
Burhani
Burhani adalah pengetahuan yang berbasis pada akal (al-‘aql) dan empirisme (al-tajribah). Pendekatan burhani memberikan dinamika pemikiran tarjih. Khususnya ibadah ghaira mahdlah (ibadah umum).
Berbagai permasalahan sosial dan kemanusiaan yang timbul tidak hanya didekati dari sudut nash syariah, tetapi juga didekati dengan menggunakan ilmu pengetahuan yang relevan.
Metode burhani menempatkan hukum kausalitas sebagai unsur terpenting. Misalnya, ijtihad penentuan awal bulan Qamariah, khususnya bulan-bulan terkait ibadah, seperti Ramadan, Syawal atau Zulhijah. Ijtihad Muhammadiyah boleh menggunakan kemajuan ilmu falak, sehingga tidak lagi rukyat.
Irfani
Irfani adalah pengetahuan yang bertitik tolak pada al-‘ilm al-hudluri. Metode ini dikembangkan para sufi dan filsuf. Pendekatan irfani berdasarkan kepada upaya meningkatkan kepekaan nurani dan ketajaman intuisi batin.
Dasar ontologis irfani yaitu wahdatul wujud. Paham wahdatul wujud ini mengenalkan bahwa realitas itu hanya ada satu yang ditempati Allah semata, dan benda-benda. Selain Allah hanyalah bayangan, yang hakikatnya bukan wujud. Para sufi bahkan menyebut alam, yakni segala sesuatu selain Allah, sebagai tajalli (penampakan-diri) Tuhan.
Pandangan ini diyakini oleh Ibnu Arabi, Abdul Karim al-Jili, Hamzah Fansuri, dan sejumlah sufi lainnya.
Konsekuensi aksiologis dari paham wahdatul wujud akan melahirkan sikap anti dunia dan menganggap kehidupan ini kotor. Sementara konsekuensi epistemologisnya adalah sulit mengembangkan sains dan teknologi. Pasalnya, sistem epistemologi yang mereka pakai dalam memperoleh pengetahuan adalah dengan ahwal dan maqamat untuk sampai ma’rifatullah.
Manhaj Tarjih
Dalam paham Muhammadiyah, realitas itu ganda (tsunaiyatil wujud) sehingga konsekuensi epistemologinya adalah dapat mengembangkan dan memperoleh pengetahuan dari wahyu dan alam.
Pada level aksiologisnya, melahirkan sikap bahwa dunia merupakan panggung kehidupan untuk mencapai prestasi terbaik di akhirat. Sehingga mereka harus memaksimalkan potensi akalnya bukan hanya untuk menciptakan kemasalahatan di dunia tetapi juga untuk keselamatan di akhirat.
Di dalam sejarah Islam sekurangnya ada dua ilmuwan yang mencoba mengintegrasikan ketiga epistemologi tersebut. Tokoh pertama adalah Suhrawardi yang mencoba mengintegrasikan metode burhani yang mengandalkan kekuatan rasio dengan metode irfani yang mengandalkan kekuatan hati. Metode Suhrawardi ini kemudian disebut dengan iluminasi (isyraq).
Tokoh kedua adalah Mulla Sadra yang mencoba mengintegrasikan pemahaman wahyu, akal dan instuisi. Metode Mulla Sadra ini oleh para sarjana dikenal dengan sebutan teologi transendental (hikmah al-muta’alliyah).
Akan tetapi kekurangan dari kedua filosof ini adalah mereka hanya berusaha menggapai kebenaran yang tidak dicapai dengan rasional, bukan menjadikan ketiga epistemologi Islam tersebut sebagai pendekatan dalam menggali hukum.
Karenanya, Manhaj Tarjih mencoba merumuskan metode sintesis yakni dengan mengintegrasikan pendekatan bayani, burhani, dan irfani dalam ijtihadnya.
Editor Sugeng Purwanto