PWMU.CO – Beda Hari Raya seperti Idul Fitri, Idul Adha, Hari Arafah telah berlalu, namun pembahasan tentang perbedaan waktu itu tetap bakal terjadi hingga tahun 2027.
Ketua PDM Kota Malang Dr Abdul Haris MA membahas beda Hari Raya dan Hari Arafah dari sudut pandang Muhammadiyah dalam pengajian Ahad Pagi KH Ahmad Dahlan di Masjid Taqwa Kota Batu, Ahad (23/7/2023).
”Perbedaan itu jika tidak disikapi dengan bijak akan menimbulkan kegaduhan. Ada yang kemudian bersikap antipati terhadap Muhammadiyah hanya karena perbedaan keputusan pemerintah dan Muhammadiyah. Karena perbedaan itu timbul asumsi seolah Muhammadiyah tidak taat pada pemerintah. Benarkah demikian?” kata Abdul Haris.
Menurut dia, dalam pelaksanaan waktu Hari Raya, pemerintah membolehkan ada perbedaan. Karena dibolehkan, maka anggapan bahwa Muhammadiyah tidak taat adalah sesuatu yang salah.
”Kecuali ada larangan kemudian tetap dilakukan, itu baru bisa dikatakan tidak taat,” tegas Abdul Haris di depan ratusan jamaah pengajian.
Dikatakan, pengaruh media massa sangat besar, terutama media sosial. Banyak pihak yang kemudian ikut memberikan statement, padahal bukan kapasitasnya. Itu sangat disayangkan. Maka kroscek berita harus dilakukan. Masyarakat perlu cermat dalam menyaring informasi.
”Masalah fikih, harus dikembalikan pada para fukaha (ahli fikih). Persoalan beda Hari Raya dan Hari Arafah adalah persoalan fikih yang termasuk persoalan ijtihadiah, ikut mana yang kita yakini,” ujarnya.
Selama sudah ada dalil, sambung dia,silakan memilih sesuai dengan keyakinan kita. Hal itu membuka peluang terjadinya perbedaan. Ketika ada perbedaan, maka sikap kita harus membuka diri untuk tidak fanatik pada satu pendapat. Kita harus bertoleransi dan jangan menganggap hal tersebut sebagai hal yang serius.
Beda Hari Raya muncul karena perbedaan metode yang digunakan, yaitu rukyat dan hisab. Hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender Hijriyah.
Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, penampakan bulan sabit yang tampak pertama kali setelah terjadinya ijtimak.
Dengan kata lain, rukyat adalah metode menentukan hilal dengan cara melihat. Sedangkan hisab dengan cara menghitung.
”Apabila bulan sabit muda bisa dilihat pertama tepat setelah fase bulan baru, maka itulah yang disebut dengan hilal. Kriterianya adalah sudah tampak 3 derajat di atas ufuk,” tuturnya.
Pertanyaan yang lazim mengemuka adalah apabila di satu tempat sudah terlihat hilal, apakah tempat lain mengikuti hasil pertama?
Abdul Haris menerangkan, menurut mazhab Hambali, Maliki, dan Syafi’i, tempat lain harus mengikuti tempat pertama terlihatnya hilal. Artinya, rukyatul hilal berlaku global.
”Pendapat lain, berlaku lokal, rukyatul hilal itu sesuai dengan tempat tinggalnya, tidak harus mengikuti tempat lain,” ujarnya.
Persoalan berikutnya, bolehkah kita berbeda dalam hal awal puasa Ramadan, Hari Raya, dan Hari Arafah?
”Jawabannya adalah tidak boleh, kalau mengikuti pendapat pertama. Boleh kalau ikut pendapat kedua. Artinya, beda itu tidak apa-apa. Tidak perlu dipermasalahkan,” jelasnya.
Dikatakan, puasa itu boleh menurut kebijakan negara masing-masing, tidak perlu ada kesepakatan dari negara-negara Islam.
”Muhammadiyah mengambil patokan berdasarkan pendapat kedua, yaitu hilal berlaku lokal, menunggu fatwa Majelis Tarjih,” kata Abdul Haris.
Kemudian, Hari Arafah apakah ketika orang haji melaksanakan wukuf di Arafah ataukah Arafah itu tanggal 9?
”Menurut Muhammadiyah, hari Arafah itu tanggal 9. Karena itu, tidak harus mengikuti Arab Saudi. Pada zaman Nabi sudah terbiasa puasa tanggal 9 Zulhijah padahal belum ada syariat haji. Jadi, Arafah mengacu pada tanggal, bukan bersamaan dengan ibadah wukuf yang dilakukan oleh orang yang berhaji. Wukuf itu mengikuti tanggal yang berlaku di Arab Saudi,” ujarnya.
Syekh ibn ‘Utsaimin, ulama Arab Saudi yang ahli dalam sains fikih pernah ditanya, bagaimana jika terjadi perbedaan dalam menyikapi puasa Arafah, maka jawabnya,”Ikutlah ketentuan di negara masing-masing.”
Majelis ulama di Qatar juga menyampaikan puasa ditentukan oleh ketentuan yang berlaku di negara masing-masing.
Sebagai penutup, Abdul Haris menyampaikan sabda Rasulullah: Berpuasalah kamu saat melihatnya (hilal) dan berifthar (Lebaran) saat melihatnya. (HR Bukhari dan Muslim).
Menurutnya, konteks ‘melihat’ itu adalah cara untuk menentukan waktu, tidak harus melihat secara langsung dengan kedua mata kita. Apalagi teknologi saat ini sudah sangat maju. Tak hanya penentuan waktu shalat, waktu awal puasa Ramadan dua atau tiga tahun ke depan, bahkan seratus tahun ke depan pun penentuan Hari Raya sudah dapat diketahui dengan kemajuan teknologi, itu semua menggunakan metode hisab.
Oleh sebab itu, terkait perbedaan tersebut, tak perlu ada kegalauan. Sikap toleransi dan terbuka dalam menerima perbedaan, itu yang harus dikedepankan.
Penulis Khoen Eka Editor Sugeng Purwanto